Kamila’s Pov
“Harlan!” Teriak Papa pada laki-laki yang tengah menuju pintu keluar. Laki-laki paruh baya itu menoleh ke arah kami, lalu senyumnya merekah.
“Abimanyu!” Balasnya sambil berjalan mendekati Papa lalu memeluknya. “Lama sekali tidak jumpa.” Serunya.
“Bagaimana kabarmu sekarang?” Tanya Papa kemudian.
“Seperti yang kamu lihat saat ini hahaha… aku sering mendengar namamu disebut orang, bisnis yang kamu jalani sudah sangat sukses sekarang.” Puji orang itu.
“Bisa aja, bahkan kamu lebih sukses dariku.” Jawab Papa lalu mereka tertawa bersama. “Oh iya kenalkan dia Kamila, putri bungsuku.” Lanjut Papa memperkenalkanku pada temannya. Aku segera mencium tangan laki-laki paruh baya itu, lalu beralih berjabat tangan dengan wanita yang bersamanya. Bukan terlihat seperti istrinya, lebih cocok jika menjadi anaknya.
“Dia putrimu? Benarkah? Aku tidak tahu kalau kamu memiliki seorang putri.” Seru laki-laki itu.
“Dia adiknya Mike. Aku punya dua anak, satu putra dan satu putri.” Jelas Papa tersenyum. “Lalu dia? Indira putrimu itu kan?” Tanya Papa kembali.
“Iya Om.” Jawab wanita itu.
“Waah sudah besar kamu sekarang, cantik seperti Ibumu. dulu terakhir kali om ketemu sama kamu, kamu masih segini.” Ujar Papa sambil memperagakan tangannya menunjukkan tinggi badan wanita itu dulu. “Lalu dimana Vano? Apa dia tidak ikut bersamamu kesini?” Lanjut papa.
“Ada, dia tadi ada disini. Tapi dia lagi pergi sebentar untuk bertemu seseorang.” Jawab om Harlan. Papaku mengangguk pelan. “Kamu pasti bangga mempunyai putri seperti Kamila, meskipun dia memiliki kekurangan. Emmm… maksudku semua orang pasti memiliki kekurangan, tapi dibalik itu semua pasti lebih banyak kelebihan yang ia miliki. Putrimu juga sangat cantik.” Puji om Harlan.
“Terima kasih Om.” Jawabku singkat.
Wajah laki-laki itu sangat terkejut mendengar ucapanku.
“Kamu bisa bicara?” Pertanyaannya sangat membuatku terkejut, padahal ini adalah kali pertamanya aku bertemu dengannya.
“Maksudnya om?” Aku balik bertanya padanya.
“Emmm… bukankah kamu….” Kalimatnya terputus saat wanita bernama Indira itu memotong kalimatnya.
“Ayah pikir dia tidak bisa bicara? Dia memang membantu mengajar disini, tapi dia bisa bicara Ayah.” Jelas wanita itu sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Bukan berarti tenaga pengajar disini juga tidak bisa bicara ataupun mendengar Harlan. Mila menyukai pekerjaan ini, sebagai orang tua aku harus mendukung anakku.” Jelas Papa.
“Maafkan aku, aku tidak tahu.” Ujarnya terlihat malu.
“Gak pa-pa Om.” Jawabku.
“Apa Kak Vano juga berpikir…” Seru Indira terlihat bingung.
“Iya, bahkan dia yang mengatakannya pada Ayah.” Jelas Om Harlan.
Indira memukul jidatnya. “Astaga, dasar manusia bodoh. Kenapa tidak bertanya padaku terlebih dulu. Aku kira dia sudah mengetahuinya.” Umpatnya.
“Apa yang kalian bicarakan? Kami tidak mengerti.” Sahut Papa kebingungan.
“Oh bukan apa-apa Bi.” Jawab Om Harlan cengengesan.
“Pa, Mila permisi sebentar ya soalnya masih ada urusan belom kelar tadi. Nanti Mila balik lagi, sebentar aja Pa.” aku meminta izin pada Papa saat aku membaca inbox yang masuk di ponselku, dari Deni. Ia sedang menungguku di belakang gedung.
“Yaudah, hati-hati Nak.” Jawab Papa.
“Om, Indi. Saya duluan ya.” Pamitku.
“Oh iya iya silahkan.” Jawab Om Harlan.
Aku segera mempercepat langkahku menuju ke belakang gedung untuk menemui Deni. Entah apa sebenarnya yang ingin ia bicarakan lagi denganku. Aku terpaksa menyetujui permintaannya untuk bertemu karena dia mengancamku akan membuat kerusuhan di sekolah agar aku mau menemuinya. Tentu saja hal itu akan mempermalukanku. Deni adalah laki-laki yang hampir saja menjadi suamiku jika Papaku tetap bodoh ingin menikahkanku dengannya. Laki-laki yang gila harta sepertinya sama sekali tidak pantas menjadi suamiku. Sejak awal aku memang tidak pernah menyukainya, aku selalu menolaknya tapi dia nekad datang pada Papaku lalu mengatakan bahwa ia ingin serius denganku dan ingin menjadikanku istrinya. Entahlah sihir apa yang ia mainkan sehingga dengan mudahnya Papa menyetujuinya. Untunglah, kedoknya cepat terbongkar sehingga Papa membatalkan pertunanganku dengannya. Setahuku saat ini dia sudah menikah walaupun aku tidak tahu, lebih tepatnya tidak ingin tahu wanita bodoh mana yang mau menikah dengannya. Meskipun sudah menikah tapi dia masih saja tetap menggangguku. Saat aku berhasil menemukannya yang sedang berdiri bersandar pada dinding, aku menghentikan langkahku lalu menatapnya tajam.
“Sayang kenapa lama sekali? Aku sangat merindukanmu.” Bualnya lalu memelukku erat. Laki-laki gila, meluk orang tanpa permisi. Aku berusaha melepaskan pelukannya, dengan susah payah akhirnya aku berhasil membebaskan diriku dari dekapannya.
“Jangan kurang ajar ya! Aku bisa meneriaki kamu jika kamu bersikap tidak sopan lagi.” Ucapku ketus.
“Galak amat sih sayang.” Jawabnya membuatku semakin jengkel.
“Ayo cepat katakan ada perlu apa? Aku tidak punya banyak waktu untuk bicara omong kosong bersamamu.” Desakku.
“Aku hanya merindukanmu sayang, meskipun kamu menolakku seperti ini. Aku tahu kamu masih marah karena aku menikah dengan orang lain. Kamu gak usah khawatir, aku hanya mencintai kamu sayang. Aku hanya ingin mendapatkan hartanya, setelah itu aku akan datang pada orang tuamu. Kali ini aku tidak akan berbohong lagi pada mereka, aku akan membuktikan pada mereka bahwa aku tidak lagi menjadi karyawan biasa tapi sudah menjadi pengusaha sukses.” Jelasnya percaya diri.
“Aku tidak butuh hartamu, sejak awal aku memang tidak pernah menyukaimu. Jadi jangan bermimpi bahwa aku akan hidup bersamamu.” Jelasku.
“Oke baiklah. Tapi aku bisa memastikan bahwa kamu tidak akan menikah dengan siapapun kecuali denganku, dengan sendirinya kamu yang akan datang padaku. Lihat saja.” Ujarnya.
“Laki-laki gila.” Umpatku padanya lalu berlalu meninggalkannya.
“Mau kemana sayang? Ingat perkataanku tadi ya sayang. Sampai jumpa nanti.” Teriaknya. Aku sama sekali tidak menghiraukan kalimatnya, aku terus meneruskan langkahku meninggalkan tempat itu.
***
Vano’s Pov
Aku berjalan memasuki rumahku dengan langkah yang lesu namun otakku terasa mendidih, aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa aku akan menyaksikan hal seburuk ini. Apa yang harus aku lakukan, umur pernikahan Adikku masih seumur jagung. Bagaimana aku bisa menghancurkan kebahagian Adikku, tapi aku juga tidak bisa membiarkan laki-laki itu menyakiti hati Adikku terlalu dalam. Laki-laki brengsek. Batinku penuh amarah. Rumahku terlihat gelap, listriknya yang padam atau memang duniaku sudah berubah menjadi gelap. Aku terus saja meneruskan langkahku berjalan menusuri isi rumahku dalam kegelapan. Sesaat kemudian lampunya menyala bersamaan dengan alunan musik yang terdengar romantis.
“Selamat datang…” Seru keluargaku terdengar gembira. Aku hanya diam menatap mereka, apa yang harus aku katakan pada mereka.
“Hentikan musiknya.” Perintah Ibuku, lalu ia berjalan mendekatiku. “Nak, dimana calon menantuku? Mengapa kamu tidak bersamanya? Apa yang terjadi?”
Aku tetap saja memilih diam, tidak tahu harus mengatakan apa pada mereka.
“Apa kamu di tolak?” Tanya Ayahku kemudian.
“Ayah!” Ibuku menatap Ayah tajam. “Ayo Nak kita duduk dulu, lalu kamu ceritakan pada kami apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa wajahmu terlihat kusut seperti ini?” Pinta Ibuku. Aku pun mengikuti langkahnya, lalu duduk di sofa ruang tamu bersama mereka.
“Ayo ceritakan pada kami Kak, bagaimana hasilnya?” Desak Indi. Aku memandangnya lekat, airmataku serasa ingin tumpah namun aku tahan dengan sekuat tenagaku.
“Dia sudah memiliki kekasih.” Jawabku singkat. Mendengar jawabanku, mereka semua terdiam.
“Baru kekasih kan? Bukan suami? Berarti kamu masih memiliki harapan.” Ujar Ayahku.
“Ayahmu benar Nak, siapa yang tahu dengan jodoh. Bisa saja hatinya mampu berpaling padamu jika cintamu memang benar-benar tulus padanya.” Timbal Ibuku.
“Mungkin saja dia dijodohkan orang tuanya, jadi dia terpaksa harus menerimanya.” Sahut Indi.
“Janur kuning belum melengkung, kamu masih punya banyak kesempatan Van.” Kini Deni mulai mengeluarkan suara dan hal itu membuatku sangat mendidih, ingin sekali wajahnya segera aku tonjok habis-habisan.
“Apa dia sudah mengatakan kalau dia menolakmu dan tidak ingin memberimu kesempatan untuk mengenalnya?” Tanya Ayah.
“Bahkan aku belum mengatakannnya, aku hanya melihatnya sedang berpelukan bersama laki-laki lain.” Jelasku sambil menatap Deni tajam.
“Mungkin saja laki-laki itu kakaknya.” Seru Indi.
“Dia bukan kakaknya.” Jelasku singkat.
“Sudahlah Nak kamu tidak perlu khawatir, kamu tahu gadis yang kamu sukai itu adalah anak teman Ayah. Apa perlu Ayah melamarnya untukmu?” Tanya Ayahku sambil merangkul bahuku.
“Ayah benar, ide yang bagus. Ayahnya pasti setuju jika mengetahui kalau Kakak menyukai putrinya.” Timbal Indi.
“Benarkah dia anak teman Ayah?” Aku mencoba memastikan kembali.
“Ya tentu saja.” Jawab Ayah percaya diri.
“Apa ayah mengenal teman Ayah itu dengan sangat baik? Apa dia rekan bisnis Ayah?” Tanyaku menyelidik.
“Dia seorang pengusaha properti, dia teman Ayah sejak kuliah dulu. Ya, kami berteman sangat baik. Bahkan dia mengenal kamu dan juga Adikmu.” Jelas Ayah.
“Ayah banyak tahu tentang bisnis yang teman Ayah geluti sekarang itu?” Tanyaku kembali.
“Ya bisa dibilang begitu.” Jawabnya singkat. “Apa perlu Ayah melamarkan putrinya untukmu?” Ayah mengulang pertanyaannya kembali.
“Tidak perlu yah, aku bisa melakukannya sendiri.” Jawabku tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya aku menemukan caranya, cara bagaimana menghancurkan orang yang telah merusak kebahagiaan Adikku. Termasuk laki-laki brengsek yang saat ini duduk dihadapanku.
“Itu baru namanya anak Ayah.” Puji Ayahku sambil menepuk bahuku. “Oh iya ada yang ingin Ayah beritahukan padamu soal gadis itu. kamu sudah salah menyangka, dia itu tidak….” Belum sempat Ayahku meneruskan kalimatnya aku sudah memotongnya karena aku sedang tidak tertarik mendengar apapun tentang gadis itu.
“Nanti saja membicarakan soal dia, aku sangat lelah sekali. Aku ingin istirahat.” Seruku lalu beranjak dari tempat dudukku.
“Baiklah. Tidurlah yang nyenyak.” Ucap Ayahku tersenyum.