Sejak mendengar semua cerita papa tentang kedua orang tuaku, aku selalu berusaha untuk mengingat kejadian buruk itu. Aku yakin bahwa aku pasti tahu sesuatu dan melihatnya, tidak mungkin aku langsung berinisiatif berada dikolong ranjang tempat tidur tanpa sebab. Tapi aku selalu gagal mengingatnya, mungkin pengaruh karena otakku sudah tua jadi daya ingatnya mulai menurun.
“Heii… kenapa melamun disiang bolong gini sayang?” Tanya Vano mengagetkanku.
“Aahh kamu ngagetin aja. Fokus nyetir sana nanti nabrak.” Seruku.
“Bahkan mobilnya sudah parkir pun kamu masih belum sadar? Apa yang sedang mengganggu pikiranmu? Ayo ceritakan padaku.” Pintanya.
“Tidak ada, ayo kita turun. Katanya mau makan siang.” Ajakku. Tapi Vano menahan tanganku.
“Jangan berbohong, katakan yang sejujurnya sayang. Aku mengenalmu, kamu tidak bisa menyembunyikan sesuatu dariku. Itu terlihat jelas dari matamu.” Jelasnya. Aku memandang Vano dengan lekat. “Mau berbagi cerita dengan calon suamimu?” Tanyanya kembali.
Akupun tersenyum. “Kamu memang tidak bisa membiarkan aku berbohong.” Ujarku. Akupun menceritakan semua hal yang sedang mengganggu pikiranku, disela aku bercerita aku menitikkan airmataku. Siapa yang tidak akan menangis jika tahu orang tuanya meninggal dengan cara seperti itu. Aku juga manusia, hatiku tidak terbuat dari baja sehingga akan kuat. Melihatku yang menangis, Vano menarikku kedalam pelukannya, mengusap lembut rambutku. Vano berusaha menenangkanku.
“Aku mengerti perasaanmu, kamu harus sabar. Aku berjanji padamu, kita akan mencari siapa yang telah melakukan hal itu padamu dan keluargamu dan kita akan menghukumnya.” Ujar Vano. Aku mengganggukkan kepalaku yang masih bersandar di dada bidang miliknya.
“Heii.. lihat! Apa ini sayang? Air mata ini, aku tidak suka melihat bidadariku menangis, itu menyakitiku.” Vano menghapus air mataku dengan jemarinya. “ayo tersenyumlah sayang. Percayalah semuanya akan baik-baik saja.”
“Baiklah karena kamu yang memintanya, aku akan berhenti menangis. tapi berikan aku bajumu.” Pintaku dan sukses membuat Vano bingung.
“Bajuku? Apa yang ingin kamu lakukan dengan bajuku?” Tanyanya kebingungan.
“Aku ingin mengelap ingusku, karena menangis ingusnya jadi meleler.” Jelasku.
“Apaa? Kamu serius?” Tanya Vano kaget. Aku mengganggukkan kepalaku. “Karena aku sangat mencintaimu, maka baiklah ayo lap ingusmu dengan kemejaku.” Ucapnya tersenyum sambil mendekatkan dirinya padaku. Aku tersenyum geli.
“Tidak sayang. Aku hanya bercanda. Berikan saja aku tisu, aku akan mengelapnya dengan tisu.” Pintaku.
“Kamu yakin mau tisu? Gak mau baju aku? Beneran? Ntar nyesal loh kehilangan kesempatan deket-deket sama aku.” Ledek Vano.
“Vanoo!!” Aku memukul lengannya. Vano tertawa dan kemudian memberikan sapu tangannya padaku. Aku bisa melihat dengan jelas bahwa kemeja maroon yang ia kenakan sudah sedikit basah dibagian dadanya. Pastilah itu karena air mataku.
“Gimana? Udah legaan?” Tanyanya kemudian. Aku tersenyum memandangnya. “Ayo kita turun, aku lapar sekali.” Rengeknya manja. Kamipun turun dari mobilnya dan menuju kesebuah restoran disana. Setelah mendapatkan tempat duduk yang terletak di lantai atas, pelayan restorannya pun segera menghampiri kami dan memberikan pilihan menu yang ada disana.
“Mau makan apa?” Tanya Vano padaku.
“Samakan saja dengan yang kamu pesan.” Jawabku.
“Yakin mau disamain? Kalo gak suka gimana?” Tanyanya kembali.
“Aku mau belajar menyukai apa yang calon suamiku makan.” Jawabku tersenyum padanya tanpa melihat daftar menu.
“Jadi gak sabar nunggu sebulan lagi, jadi pengen kita nikahnya besok.” Bisik Vano padaku, aku tersenyum malu padanya. Vanopun menyebutkan menu Pullman cold cut combination, double boiled chicken soup, fried crispy broccoli, dan roasted duck Hongkong style with hoisin and plum sauce.
“Banyak sekali Van? Apa kita akan menghabiskan semuanya?” Tanyaku tidak percaya.
“Aku ingin kamu gemuk hahaha… tidak harus dihabiskan semuanya Mila sayang.” Jawabnya.
“Tapi itukan namanya jadi mubazir Van.” Bantahku.
“Tidak apa, ini juga untukmu sayang.” Ucapnya sambil mengusap lembut puncak kepalaku.
“Pullman cold cut combination itu makanan jenis apa Van?” Aku berkata jujur karena memang sebelumnya aku belum pernah memakan jenis makanan tersebut.
“Oo itu, berisi paduan ubur-ubur, lobster, gurita kecil, dan pork cha siew.” Jelas Vano. Aku mengganggukkan kepalaku, aku penasaran dengan bentuk hidangannya dan ingin segera mencicipi rasanya.
“Saat sudah menikah nanti, jangan memintaku untuk memasaknya ya. Mungkin aku tidak akan pernah berhasil meniru rasanya.” Pintaku tersengir.
“Hahahha… aku tidak akan memintamu untuk memasak sayang. Kamu itu akan menjadi istriku bukan pembantuku.” Ujarnya.
DUAAAARRRR…..
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sangat besar, dan tidak lama terlihat kobaran api di restoran tersebut. Semua orang berlarian untuk keluar dari restoran tersebut. Melihat api yang berkobar membakar sedikit demi sedikit bagian dari restoran tersebut membuatku mematung disana. Aku merasakan bahwa aku pernah dalam bahaya seperti ini. Bukan karena cerita papa, tapi aku seperti menemukan potongan-potongan kecil memori dari masa laluku.
“Ayo Mila kita harus segera pergi dari tempat ini!” Teriak Vano menyadarkanku, melihatku yang masih mematung Vano segera menarik tanganku dan membawaku pergi bersamanya. Aku sama sekali tidak menghiraukan bagaimana cara aku akan keluar dari tempat itu, langkah kakiku mengikuti tarikan dari Vano.
Aku sepertinya ingin bersyukur pada Tuhan, dengan adanya kejadian ini aku mendapatkan kenangan masa laluku kembali. Ingatanku terus terlempar pada kejadian masa lalu, namun saat kenangan buruk itu berhasil memenuhi pikiranku kembali. Ada suatu kejadian yang membuat dadaku sesak. Ingatan dimana saat aku sedang berada di ruang cctv, saat itu aku sedang bersembunyi disana karena aku mendengar suara banyak orang berteriak didalam rumahku. Aku bingung harus berlari kemana, hingga akhirnya mamaku menyuruhku untuk masuk kedalam salah satu ruangan dan bersembunyi disana. Tapi sepertinya aku salah masuk ruangan, tidak-tidak mungkin Tuhan menakdirkanku masuk kedalam ruangan itu agar aku bisa melihat semuanya. Orang-orang yang telah membuat aku terpisah dari orang tua kandungku. Saat itu aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, yang aku tahu aku melihat mereka membawa banyak sekali kertas dan menyuruh papaku untuk mencoretkan pena dikertas itu. Papa yang dalam keadaan kaki dan tangannya terikat serta mulutnya yang ditutup dengan lakban. Mereka memukuli Papaku hingga Papa berdarah. Begitu lama aku menangis sambil menutup mulutku takut mereka akan mendengarku disana, mamaku yang entah datangnya dari mana di dorong oleh seorang laki-laki hingga Mamaku terjatuh ke lantai, pakaiannya sudah penuh dengan robekan. Aku melihat Mamaku menangis.
Saat semua kenangan itu memenuhi kepalaku, aku merasakan dadaku sesak. Entahlah, karena kenangan buruk tersebut atau karena asap dari kebakaran restoran tersebut. Kakiku terasa begitu tidak berdaya lagi, tidak sanggup untuk menopang tubuhku untuk berjalan bahkan berpijak hingga aku terjatuh terduduk di lantai. Airmataku sudah mengalir deras.
“Mereka..laki-laki itu..” Racauku dalam tangisku.
“Apa yang kamu bicarakan Mila? Kita harus segera keluar dari sini. Jika tidak maka kita akan mati konyol disini.” Teriak Vano padaku.
“Pergilah Vano, tinggalkan saja aku disini sendiri. Biarkan aku mati menyusul kedua orang tuaku.” Ucapku lemah. Tanpa menghiraukan perkataanku, Vano langsung menggendongku membawaku keluar dari tempat itu bersamanya.
***
“Mila… kamu gak pa-pa kan sayang?” Tanya Mamaku cemas, pastilah Vano yang memberi kabar pada mereka sehingga mereka datang kemari.
“Terima kasih Van, kamu udah nyelametin Mila.” Ucap Papaku pada Vano.
“Mila.. kenapa kamu diam saja Nak? Katakan sesuatu, Mama makin cemas kalo liat kamu gini? Kita ke rumah sakit ya nak.” Seru Mama. Aku menggelengkan kepalaku.
“Mila pasti masih shock Ma, jangan didesak begitu. InsyaAllah anak kita akan baik-baik saja.” Selah Papa.
“Mila mau pulang Ma. Bawa Mila pulang Ma.” Pintaku lemah.
“Iya sayang iya kita pulang sekarang. Ayo Pa, Vano kita pulang sekarang.” Ajak Mama. Akupun berjalan mengikuti langkah kaki mama menuju ke mobil Papa. Sebelum sampai di mobil Papa, Ayahnya Vano ternyata juga datang menghampiri kami disana.
“Kalian berdua tidak apa-apa kan?” Tanyanya terlihat cemas.
“Alhamdulillah kami baik-baik aja yah.” Jawab Vano.
“Syukurlah. Sekarang mau kemana? Mila mau pulang kan? Ayo Van kita harus ikut mengantarkan mereka pulang ke rumah mereka.” Ujar Om Harlan.
“Iya yah, Vano memang berencana begitu.” Jawab Vano.
“Tidak perlu. Aku tidak ingin kalian ikut bersamaku.” Ucapku.
“Loh kenapa sayang? Vano kan calon suami kamu?” Tanya Mama bingung.
“Aku tahu itu ma.” Jawabku.
“Terus apa masalahnya sekarang Mila?” Tanya Om Harlan kemudian.
“Masalahnya adalah anda Tuan Harlan Adibrata.” Aku menatap tajam pada Om Harlan.
“Apa maksudmu Mila? Ada apa dengan Om Mila? Katakan saja, tidak perlu sungkan. Kamu itu sudah seperti anak om sendiri.” Ungkapnya.
“Benarkah? Aku sangat terharu tuan besar. Tapi tidak lagi setelah anda membuatku menjadi anak yatim piatu.” Air mataku kembali mengalir di wajahku.
“Mila!! Apa yang kamu katakan, tidak baik bicara seperti itu pada orang tua. Ayo minta maaf sama om Harlan.” Bentak papaku.
“Lupakah anda dengan wanita yang bernama Wulan Ningsih?” Pertanyaanku membuatnya terkejut. Tidak ada jawaban darinya, yang ada hanya ia memandangku dengan lekat. “Jangan pernah lupakan nama dan wajah itu.” Lanjutku lalu berlalu meninggalkan mereka.
“Mila.. tunggu Mama nak.” Teriak Mamaku yang aku yakin juga ikut mengejarku.
***
Sesampainya dirumah, aku menceritakan semua yang aku lihat dalam ingatanku kepada Mama dan Papa. Alhasil mereka semua terkejut merasa tidak menyangka bahwa Om Harlan merupakan salah satu dari mereka yang menyebabkan orang tuaku meninggal. Saat mendapatkan sosok Om Harlan disana, dimana sosok itu mendorong Mamaku dengan kasar hingga terjatuh ke lantai. Aku bahkan tidak bisa berpikir dengan jernih, orang yang selama ini aku anggap baik bahkan aku mengaguminya ternyata adalah sosok iblis bagiku. Mama memelukku sangat erat, mencoba menenangkanku sedangkan papa kulihat ia terlihat gelisah. Ia hanya mondar-mandir didepan kami, aku tahu pastilah papa sedang mencoba menahan emosinya.
Keadaan belum terlalu membaik, Vano bersama Om Harlan ternyata menyusul kami ke rumah. Aku tidak tahu apa yang membawa mereka kemari. Mereka sudah berdiri didepan pintu rumah yang masih terbuka lebar.
“Mila.” Panggil Vano. Mendengar suara Vano, Papa langsung bereaksi.
“Mau apa kalian kemari?” Masih dengan nada yang mencoba untuk tenang.
“Ayahku harus menjelaskan semuanya pada kalian. Itulah mengapa aku membawanya kemari.” Jawab Vano.
“Kamu memang berhutang penjelasan pada kami Harlan.” Ujar Papaku geram. Merekapun langsung masuk kedalam rumah, dan mulai mendekatiku dan Mama yang masih duduk di kursi tamu.
“Jangan dekati aku… katakan saja apa yang ingin anda katakan tuan.” Ucapku.
“Saat itu aku terpengaruh oleh temanku, dia juga seorang pembisnis properti, saudara tiri Papamu. Dia begitu menginginkan bisnis Papamu yang sudah sukses…”
“Handoko?” Sela Papa. Om Harlan mengangguk. Papaku mengusap kasar wajahnya kembali menahan emosinya. “Apa yang membuatmu mau bekerja sama dengan dia?”
“Sebelum Ningsih menikah dengan Tama, kami adalah sepasang kekasih. Tapi, Ningsih meninggalkanku dan lebih memilih Tama yang jauh lebih kaya dariku. Karena sakit hati, aku menyetujui bekerja sama dengan Handoko. Kami sepakat akan membagi dua hasil yang kami dapatkan. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik pada harta Tama, tapi mataku digelapkan untuk sesaat sehingga aku menerimanya. Dan yang lebih menggelapkan mataku, saat aku melihat Ningsih malam itu. Aku… aku malah memperkosanya…..”
BUUGGGHH…
Satu pukulan mendarat pada Ayahnya Vano. Papaku sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. “Aku menyesal karena telah berteman denganmu Harlan. Perbuatanmu itu sangat keji, kau tidak hanya memperkosa sahabat baikku. Tapi kau juga menghilangkan nyawanya dan membuat Mila menjadi anak yatim piatu.” Teriak Papa kemudian kembali mengusap wajahnya.
“Tqapi aku berani bersumpah padamu Bi, saat itu kami benar-benar tidak tahu kalau mereka memiliki seorang putri, karena setahuku beberapa tahun mereka menikah tapi mereka belum punya anak. Tapi syukurlah kami tidak tahu saat itu, jika tidak maka aku tidak tahu apa yang terjadi pada Mila saat itu.” Lanjut ayahnya Vano.
“Handoko tidak mengatakannya?” Tanya Papa.
“Dia tidak mengatakan sesuatu tentang seorang putri, dia tidak juga mencoba mencari siapapun dirumah itu. Setelah membuat rumah itu terbakar, kami langsung pergi meninggalkan rumah itu.” Jelasnya.
“Selama ini Vano selalu bangga karena memiliki Ayah seperti ayah. Tapi hari ini, Vano sangat kecewa pada Ayah.” Ungkap Vano.
Aku menangis semakin kencang. “ Tuhan akan menghukum semua perbuatan anda Tuan Harlan.” Aku berlari menuju kamarku. Aku sudah tidak sanggup mendengar semua yang dikatakan Om Harlan. Aku terduduk dilantai, ku letakkan kepalaku ditepi kasur. Tangisku semakin pecah mengingat betapa buruknya nasibku. Disela tangisku, ku rasakan ada tangan yang menyentuh pundakku dari belakang. Saat aku menoleh, ku amati sosok Vano disana. Matanya sudah berkaca menahan sesuatu yang ingin tumpah.
“Van…” Ucapku. Vano langsung menarikku kedalam pelukannya.
“Maafkan aku Mila. Karena Ayahku, kamu harus mengalami semua ini. Maafkan aku Mila.” Ucapnya.
“Kamu gak salah Van.” Balasku. Entah bagaimana aku menghadapi semua ini, aku akan menikah dan mulai mencintai laki-laki yang merupakan anak dari orang yang menjadi penyebab kematian orang tuaku. Memikirkannya saja aku tidak sanggup. Kami sama-sama menangis.
“Lepaskan putriku!” Teriak Papa sambil menarik Vano menjauh dariku.
“Tapi Om..”
“Keluar dari rumahku sekarang dan bawa Ayahmu itu. Aku tidak ingin melihat wajah kalian di rumahku.” Usir Papaku sambil terus menarik Vano keluar kamarku, Mama kembali memelukku sambil menangis.
“Tenangkan dirimu sayang. Semuanya akan baik-baik saja.” Ucap Mama.
***
Vano’s POV
Sudah dua minggu berlalu dari hari kejadian kebakaran restoran itu, dan selama itu juga aku tidak pernah bertemu dengan Mila bahkan mendengar kabarnyapun tidak pernah. Lalu bagaimana dengan rencana pernikahan kami? Batinku. Aku memutuskan untuk menemuinya ke sekolah, tapi mereka yang disana mengatakan bahwa Mila sudah tidak lagi menjadi guru pembantu disana. Jalan satu-satunya adalah aku memang harus menemuinya dirumahnya, walaupun hasilnya akan sama seperti hari sebelumnya. Aku akan di usir dari sana oleh Om Abi. Aku menjalankan mobilku menuju ke rumah Mila, sesampainya disana syukurlah ternyata Om Abi sedang pergi ke kantor. Itu artinya aku bisa leluasa bertemu dengan Mila. saat pintu rumahnya dibukakan oleh mama Mila karena sebelumnya aku yang telah menekan tombol bel rumahnya, aku langsung mengatakan tujuanku datang kesana.
“Assalammualaikum Tante.” Sapa ku sambil mencium tangannya.
“Waalaikumsalam.” Jawab Tante Kayana.
“Milanya ada Tante? Kalo boleh Vano ingin bertemu dengannya.” Pintaku. Tanpa penolakan ataupun makian darinya, Tante Kayana segera masuk kedalam rumahnya.
“Masuklah, tunggu sebentar disini. Aku akan kembali.” Serunya. Aku sangat bahagia, setidaknya ia tidak melarangku untuk bertemu dengan Mila. Tidak begitu lama aku menunggunya, Tante Kayana kembali menemuiku. Aku celingukan mencari sosok Mila dibelakang Tante Kayana tapi tidak ku temukan. Ia malah memberiku sebuah amplop.
“Apa ini tante?” Tanyaku bingung.
“Maaf Van, bukan tante ingin mengusirmu. Tapi sebaiknya kamu pulang karena sebentar lagi papanya Mila akan pulang.” Serunya. “Bacalah surat itu setelah kamu pulang dari sini.” Lanjutnya.
“Vano permisi dulu Tante.” Pamitku. Tante Kayana mengganggukkan kepalanya. Akupun pergi dari rumah itu, sesampainya di rumah aku langsung membuka amplop yang berisi surat itu dan langsung membacanya.
Untuk laki-laki yang aku sayangi…
Aku tidak tahu bagaimana Tuhan ingin menguji cinta kita, bersama dengan tulisan ini aku ingin berpamitan denganmu. Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah berada ditempat yang jauh. Aku pergi bukan untuk meninggalkan cintamu, tapi aku pergi karena aku butuh waktu untuk menerima semua kenyataan ini. Biarkan aku sendiri dulu, aku ingin menata kembali hatiku yang hampir hancur. Aku sudah memaafkan semua kesalahan ayahmu, tapi jika untuk kita bersama aku butuh waktu untuk itu. Jangan salahkan ayahmu atas kepergianku. Jika aku memang tulang rusukmu yang hilang, maka aku akan kembali padamu Van. Jangan cari aku, karena kamu tidak akan bisa menemukanku. Aku akan kembali saat hatiku sudah tertata kembali…
Yang mencintaimu,
Mila.
“Mila..Mila..Mila….bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku Mila?” Rintihku. Aku duduk dilantai kamarku dengan bersandar ditepi kasurku. Aku memejamkan mataku, rasa sedih, emosiku bercampur menjadi satu. Tanpa terasa air mataku mengalir disudut mataku. Begitu lama aku mengurung diriku dikamar dengan keadaan seperti itu hingga tanpa ku sadari akupun mulai terlelap.