“Kata Oni Mama memanggil Mila? Ada apa Ma?” Tanyaku penasaran.
“Iya Mila, Mama sengaja memanggilmu karena ada hal penting yang harus Mama bicarakan padamu.” Jawab Mama Dave.
“Apa itu Ma?” Tanyaku bingung.
“Ini, Si Ryan menyukai mobilmu itu. Jika misalnya dia yang membawa mobilmu tidak masalahkan? Lagian kamu juga kan gak kemana-mana cuma duduk manis di rumah aja kayak putri raja.” Mama Dave terlihat tidak menyukaiku. Memang sejak awal sepertinya.
“Loh kenapa harus mobil Mila? Kenapa gak mobil Dave aja? Kan sama saja, lagian mobil itu pemberian Kakak Mila. Tapi, jika Ryan mau meminjamnya untuk beberapa saat saja, tidak masalah pakai saja Ma.” Ucapku.
“Oh tidak tidak… maksud Mama tidak seperti itu, Ryan tidak pernah ingin membagi barangnya dengan siapapun. Tidak mungkin Ryan harus gantian memakainya.” Rasanya ingin aku lumerin dengan cabe tuh mulut Nenek lampir. Mimpi apa aku bisa memiliki Ibu mertua seperti dia, baru kelihatan belangnya.
“Gak bisa Ma jika mobil itu harus menjadi hak milik Ryan. Mobil itu pemberian Kakak Mila ma.” Bantahku.
“Baiklah. Tidak masalah, kamu itu memang menantu yang pelit. Sudah ku duga sebelumnya, bahwa kamu itu datang kemari hanya untuk menghancurkan keluarga kami.” Apa yang sebenarnya wanita ini coba katakan.
“Baiklah, terserah Mama saja. Pakai saja mobil itu sesuka hati Ryan.” Serahku.
“Nah gitu dong. Tapi Mama punya satu permintaan lagi.” Ucapnya tersenyum.
“Apa lagi yang Mama mau dari Mila?”
“Sejak Nenek meninggal, semua keuangan Dave yang mengendalikannya. Mama mau kamu serahkan semua urusan keuangan pada Mama.” Dasar wanita tidak tahu malu. Umpatku.
“Apa?? Tapi Dave tidak memberikan apapun pada Mila, lalu apa yang bisa Mila serahkan pada Mama?” Bantahku, aku sudah merasa sangat jengkel dengan tingkah laku Mamanya Dave.
"Jangan bohong menantuku sayang. Kamu itu istrinya Dave. Tidak mungkin Dave tidak menyerahkan semua urusan rumah ini padamu." Tuding Mama.
“Ada apa ini ribut-ribut?” Tanya Dave menghampiri kami.
“Dave.. Mamamu sudah gila, dia…” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Dave malah berteriak padaku.
“Mila!! Siapa yang memberimu hak untuk berkata seperti itu pada Mamaku?” Teriaknya, aku sangat terkejut. Mengapa dia begitu marah. Bahkan dia bukan Ibu kandung Dave.
“Dave, jangan marah pada istrimu. Dia benar, Mama memang gila karena Mama sangat menyayanginya. Mama hanya ingin membantunya mengurus keperluan rumah ini. Dia masih muda, Mama hanya khawatir dia akan salah dalam mempergunakan uang kamu Nak.” Pandai sekali Mama Dave bersilat lidah.
“Dave, bagaimana aku tidak merasa jengkel. Mama memintaku untuk memberikan mobil pemberian kakakku pada Ryan, dan mama juga memintaku untuk menyerahkan semua uang kamu padanya. Apa itu masuk akal?” Tanyaku pada Dave.
“Tidak ada masalahnya jika kamu berikan semua itu pada Mama.” Jawab Dave.
“Apa??? Kau… kau juga sama gilanya dengan mereka.” Gerutuku kesal.
“Berikan apa yang Mama minta padamu Mila.” Seru Dave padaku.
“Tidak! Aku tidak akan memberikan apapun Dave. Itu uangmu. Mamamu sudah sangat serakah. Bukankah kamu sudah memberinya uang setiap bulan. Lalu uang simpananmu pun ingin ia minta juga. Untuk apa? Seharusnya jika Mama butuh sesuatu kan tinggal katakan saja ingin apa dan kita akan memenuhinya. Tapi ini semuanya Dave, Mama meminta semuanya. Lalu jika kamu butuh sesuatu kamu harus memohon padanya padahal itu hasil kerja kerasmu. Aku tidak bisa menerimanya Dave.” Tolakku.
“Mila jangan membantah, aku suamimu. Ikuti apa yang suamimu katakan Mila.” Dave kembali memintaku. Aku teringat pada pesan mamaku, cinta tidak cinta. Tapi Dave suamiku, aku akan berdosa jika aku membantahnya. Dengan tatapan yang kesal aku pergi ke kamar Dave dan mengambil semua yang Dave berikan untuk disimpan. Ku berikan semuanya pada Mama Dave, kecuali gelang pemberian Nenek Dave dan perhiasan dari Mamaku tidak berniat aku berikan padanya. Namun, saat itu juga menyadari kehilangan perhiasan pemberian Mamaku.
"Dave, perhiasan pemberian Mamaku kok gak ada?" Ucapku panik.
"Kamu tidak lupa meletakannya kan?" Tanya Dave.
"Aku sangat yakin menyimpannya disini. Tapi ini gak ada, perhiasannya hilang Dave." Keluhku.
"Hanya beberapa perhiasan Mila, apa itu berarti bagimu? Tinggal minta lagi saja pada orang tuamu dan mereka akan menggantinya." Tukas Mama Dave. Aku menganga tidak percaya mendengar ucapannya. Aku mulai berseuzon ria pada Ibu mertuaku.
"Apa mama yang bertanggung jawab atas hal ini?" Tanyaku menyelidik.
"Dave. Lihatlah istrimu menuduh Mama." Adunya pada Dave.
"Mila. Minta maaf pada Mama." Seru Dave.
"Dave. Aku menuduhnya bukan tidak beralasan. Perhiasan itu tidak mungkin bisa berjalan sendiri. Oni saja tidak pernah membersihkan kamar kita. Lalu siapa lagi yang berpotensi masuk kamar kita saat kita tidak ada." Jelasku.
"Itu bisa saja terjadi Mila." Ujar Mama Dave.
"Benarkah? Lalu Mama dimana saat Oni melakukannya. Hal yang sangat tidak mungkin Mama tidak melihatnya, Mama orang yang sangat teliti terhadap pekerjaan asisten rumah tangga Mama. Lalu bagaimana Oni bisa melakukannya saat Mama selalu mengawasinya?" Tanyaku semakin menyudutkan Mama.
"Minta maaflah pada Mama Mila." Seru Dave kembali.
"Dave... " Aku tidak percaya Dave masih menutup mata dan telinga setelah kejadian ini.
"Aku mengatakan minta maaf pada Mama sekarang Mila." Dave menatapku tajam.
"Maafkan Mila Ma." Ucapku pada Mama Dave yang tersenyum penuh kemenangan.
“Anak manis. Mama akan menyimpan dan mengatur semuanya dengan sangat baik. Jangan khawatir.” Ucap Mama Dave tersenyum.
Aku kembali ke kamar Dave dan mengurung diriku disana hingga sore hari. Dave juga sedang pergi keluar untuk memantau daerah perkebunannya. Karena merasa tidak tahan dengan semua yang terjadi, aku kembali mengingat pesan Mamaku. Jika aku merasa tidak kuat, maka segeralah pulang. Aku ingin pulang ke rumah. Aku tidak bisa berada di rumah Dave yang penuh dengan ketamakan akan harta. Aku segera mengemasi barang-barangku, dan hendak membawa koperku keluar dari pintu rumah Dave. Namun, Oni menghalangi langkahku.
“Jangan pergi Nyonya, Tuan muda membutuhkan Nyonya disini.” Cegahnya.
“Dia sama sekali tidak membutuhkanku Oni. Menyingkirlah, jangan halangi jalanku.”
“Tidak Nyonya, Nyonya hanya belum mengenal Tuan muda lebih dalam. Ku mohon Nyonya, dia sangat membutuhkan Nyonya disisinya.” Pintanya dengan wajah yang memelas, membuatku semakin geram padanya.
“Menyingkirlah Oni!” Seruku.
“Baiklah aku tidak akan menghalangi Nyonya untuk pergi, tapi nyonya harus mendengarkan apa yang akan aku ceritakan pada Nyonya” Pinta Oni sambil menarik tanganku masuk kedalam rumah.
“Apa lagi ini Oni? Lepaskan tanganku.”
“Jangan berisik Nyonya.” Perintahnya. Oni mulai menceritakan semua yang ia ketahui sejak ia bekerja di rumah Dave.
“Sekarang Nyonya tahu bukan, bahwa semua ini adalah rencana mereka. Tolong Nyonya jangan pergi, kasihan Tuan muda tidak memiliki siapa-siapa disini kecuali Nyonya.” Cegahnya kembali. Begitu busuknya akal Ibu dan anak itu hingga sudah merencanakan semua ini. Aku meneruskan langkahku menuju luar rumah.
“Nyonya mau kemana?” Tanya Oni cemas.
“Tolong bawakan pakaianku kembali ke kamar Dave. Aku akan menyusul Dave ke perkebunan.” Jawabku.
“Tapi Nyonya tidak tahu jalan.” Ujar Oni.
“Supir dirumah ini tahu bukan? Jadi jangan cemaskan aku Oni. Terima kasih karena telah membantuku.” Ucapku dan aku pun meminta supir Dave untuk mengantarkanku pergi ke perkebunan milik keluarga Dave.
***
“Dave, aku ingin berbicara denganmu.” Seruku padanya yang sedang berbincang dengan beberapa karyawannya.
“Maaf, tunggu sebentar.” Ucap Dave pada mereka. “Mila, aku sedang membahas hal penting dengan mereka. Kita akan bicara nanti setelah aku menyelesaikan pekerjaanku.” Ucapnya padaku.
“Tapi Dave, hal yang ingin aku bicarakan padamu juga penting.” Bantahku.
“Aku mohon mengertilah Mila. Sebentar saja. Setelah itu kita akan bicara.” Pintanya. Akupun menuruti keinginannya dan menunggunya menyelesaikan perbincangannya dengan karyawannya. Setelah selesai, Dave menghampiriku kembali.
“Ada apa Mila? Apa yang sampai membuatmu hingga datang kemari?” Dave menaikkan sebelah alisnya, menunjukkan ekspresi penasarannya.
“Kamu bodoh Dave, kamu itu manusia paling bodoh di dunia.” Ucapku sedikit geram. Dave mengernyitkan dahinya semakin bingung.
“Tunggu. Tunggu. Apa sebenarnya yang kamu coba untuk sampaikan Mila?” Tanyanya.
“Iya, kamu itu bodoh. Kamu begitu mencintai mereka bukan? Menghormati dan menghargai mereka sebagai keluarga. Tapi kamu tidak tahu kan dibalik itu semua mereka sangat membencimu. Dibelakangmu mereka ingin menusukmu. Dan kamu masih ingin membela mereka?” Entahlah aku menghinanya atau aku malah perduli padanya. Dave terdiam mendengar ucapanku. “Kenapa kamu diam? Kamu terkejut dengan apa yang aku katakan? Mereka membencimu Dave, membencimu dan kamu sama sekali tidak mengetahuinya.” Lanjutku.
Dave tersenyum padaku. “Aku tidak tahu bagaimana dan kapan kamu mengetahui hal ini. Aku sudah tahu semua itu Mila.” Ungkapnya.
“APA?” Aku tidak percaya padanya. Dave mengganggukkan kepalanya. “Jadi kamu?”
“Iya. Aku tahu segalanya, bahkan sejak dulu. Tapi aku merasa bahwa dengan kasih sayang yang ku berikan pada mereka, suatu hari nanti mereka akan menyadari bahwa perbuatan mereka itu salah, dan mereka akan menerimaku sebagai keluarga mereka.” Ucap Dave penuh harap.
“Kamu bermimpi di siang bolong Dave.” Decakku.
“Kamu benar. Tapi tidak ada yang bisa menghalangi seseorang untuk bermimpi bukan? Jadi aku tidak salah jika aku memiliki mimpi seperti itu.” Dave kembali tersenyum padaku. “Cinta itu, tidak harus berbalas saat itu juga Mila. Tapi Tuhan tidak pernah tidur, jika cinta yang kita miliki itu tulus, maka suatu saat Tuhan pasti akan mengirimkan kebahagiaan untuk kita.” Lanjutnya membuatku terpaku dengan kebesaran hatinya. Pertama kalinya aku melihat seorang yang disakiti tapi dia malah masih bisa tersenyum dan tetap mencintai orang-orang yang bersikap buruk padanya. Bahkan aku sendiri malu padanya, aku tidak bisa sepertinya.
“Sekarang aku mengerti mengapa kamu menyuruhku untuk memberikan semua yang kita miliki. Maafkan aku Dave sudah salah paham terhadapmu.” Ucapku menyesal.
“Tidak masalah, kamu wajar marah padaku.” Dave kini memegang kedua bahuku. “Aku berjanji padamu Mila, aku akan mengganti semua kerugian yang sudah kamu alami selama bersamaku.”
“Sudahlah, lupakan itu. Aku tidak akan menuntut apapun darimu.” Ucapku.
“Tidak. Ku mohon jangan menolaknya. Itu hakmu.” Pintanya.
“Baiklah, terserah kamu saja.” Aku tersenyum padanya.
“Mau jalan-jalan? Karena kamu sudah bela-belain kemari, jadi aku akan mengajakmu untuk berkeliling perkebunanku. Kamu mau?” Tanyanya tersenyum.
“Menarik juga. Ayo.” Jawabku.
Kami pun berjalan mengelilingi area perkebunan milik Dave, sangat luas dan terasa menyejukkan berada disana. Aku tidak hentinya merasa terpesona dengan keindahan alam disana. Di sela perjalanan kami, aku melihat seorang anak kecil yang sedang mengamati sebuah pohon. Aku menghampiri anak itu.
“Dek.. Kamu kenapa berdiri disini?” Tanyaku. Namun anak itu hanya diam saja. Aku kembali mengulangi pertanyaanku. “Adik kecil yang manis, kamu liatin apa?” Tapi tetap sama seperti sebelumnya, dia tidak menjawab pertanyaanku, yang ada dia hanya menatapku lekat. Aku berpikir mungkin dia takut padaku. Aku menoleh pada Dave, Dave mendekatiku.
“Dave, apa dia takut padaku hingga dia tidak menjawab pertanyaanku?” Tanyaku bingung. Anak itupun kembali menatap keatas pohon.
“Dia tidak bisa mendengar dan berbicara Mila. Sejak ia lahir. Dia adalah anak salah satu pegawai disini.” Jawab Dave. Seakan mengerti apa yang harus aku lakukan setelah mengetahui kondisinya. Aku pun berjongkok kembali dan mencoba berkomunikasi dengannya dalam bahasa isyarat. Syukurlah ternyata dia meresponku, Dave benar anak ini ternyata sama dengan anak-anak didikku sebelumnya. Aku jadi teringat pada mereka. Anak itu mengatakan padaku dalam bahasa isyaratnya bahwa ia sedang melihat layangannya yang menyangkut diatas pohon. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara mendapatkan layangan itu kembali.
“Mila, kamu bisa bahasa isyarat?” Tanya Dave penasaran. Akupun menganggukkan kepalaku.
“Dulu aku pernah menjadi seorang guru pembantu di sebuah SLB.” Jawabku.
“Rupanya, kamu ini seorang guru. Aku baru tahu bahwa profesimu adalah seorang guru.” Ujar Dave menganggukkan kepalanya.
“Tidak. Itu hanya untuk menyalurkan hobiku saja, karena aku menyukai anak-anak. Aku seorang desainer.” Jelasku.
“Waawww.. Desainer, aku tidak menyangka Mila.” Dia terlihat sangat takjub mendengarnya.
“Tidak usah takjub begitu. Bahkan akupun belum pernah mempergunakan ilmu desainerku untuk menciptakan sesuatu hahaha…” Ledekku pada diriku sendiri. “Baiklah lupakan tentangku, sekarang aku ingin kamu membantu adik ini untuk mengambilkan layangannya yang ada di atas pohon ini.” Seruku.
“Apa? Kamu.. kamu menyuruhku untuk memanjat?” Dave terkejut dengan permintaanku.
“Yaiyalah Dave, masak aku yang manjat. Kalo gitu ngapain aku capek-capek ngomong sama kamu kalo ujungnya aku juga yang manjat.” Gerutuku.
“Oke baiklah.” Terlihat sekali bahwa wajahnya seperti terpaksa karena aku menyuruhnya untuk memanjat pohon. “Bahkan waktu kecil saja aku tidak pernah memanjat pohon.” Gerutunya kesal. Aku hanya tertawa melihat kejengkelannya padaku. Setelah mendapatkan layangannya kembali, Dave pun segera turun dan memberikan layangan itu pada anak kecil itu. Terlihat sekali bahwa anak itu sangat gembira. Aku kembali mengajaknya berbincang dengan bahasa isyarat. “sekarang layangannya udah kembali. Kamu bisa main lagi.” Anak itu tersenyum padaku dan mengatakan terima kasih dalam bahasa isyaratnya. Lalu dia mencium pipiku dan juga pipi Dave secara bergantian. Anak itupun langsung berlari pergi meninggalkan kami yang masih berjongkok dihadapannya sebelumnya.
“Pasti akan sangat membahagiakan jika punya anak.” Ucap Dave tersenyum. “Ayo pulang, sepertinya sebentar lagi akan gelap.” Ajaknya. Akupun mengikutinya berjalan menuju ke mobil Jeep miliknya. Diperjalanan kami banyak berbincang.
“Maaf sudah merepotkanmu tadi menyuruhmu memanjat pohon.” Ucapku.
Dave tersenyum melihatku. “Tidak masalah, aku mengerti. Niatmu juga ingin membantu anak itu.” Ujarnya.
“Oh iya tadi disana kamu mengatakan pasti akan sangat bahagia jika punya anak. Apa sekarang kamu ingin punya anak?” Tanyaku. Dave pun tertawa geli mendengar pertanyaanku. “Loh kok ketawa?” Tanyaku.
“Kamu lucu banget makanya aku ketawa. Gimana aku bisa punya anak? Pasangan saja aku belum punya.” Ungkapnya.
“Baiklah, kamu bisa beritahu aku gadis seperti apa yang kamu sukai? Aku akan membantumu menemukannya.” Ucapku. “Sekarang katakan, apa dia orang yang tinggi atau pendek?” Aku mulai mengintrogasinya.
“Sedang saja.” Jawabnya.
“Hitam atau putih?” Lanjutku.
“Seperti kulit orang asia saja.” Jawabnya lagi.
“Rambutnya panjang, pendek, lurus, atau ikal?”
“Panjang dan ikal.” Jawabnya. Aku menganggukkan kepalaku.
“Susah juga ya mencarinya.” Ujarku. Dave pun tertawa.
“Tidak usah dicari, nanti datang sendiri.” Ujarnya percaya diri. “Sekarang giliranmu mengatakan pria seperti apa yang kamu sukai?” Tanyanya.
“Dia memiliki tubuh yang tinggi dariku, matanya coklat, rambutnya tidak panjang, kulitnya sepertimu dan tentunya hatinya juga sepertimu.” Jawabku tanpa ragu saat aku membayangkan wajah Vano dalam ingatanku. Dave hanya diam dia tidak mengatakan apapun lagi.
“Oh iya. Saat aku pergi nanti apa kamu akan melupakanku?” Tanyaku penasaran.
“Sekarang saja aku belum lupa, jadi bagaimana aku bisa melupakanmu?” Jawabnya.
“Kemarin aku sempat terlena dengan kasih sayang Nenekmu, rasanya berat sekali untuk berpisah dengan kalian. Tapi sekarang Nenek juga sudah tenang disana.” Ujarku sedih.
“Kalau begitu jangan pergi. Tetaplah disini.” Ucapnya.
“Tidak bisa Dave, aku harus pergi.” Jawabku.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Karena dia menungguku disana.” Jawabku tersenyum.
“Siapa?”
“Vano. Calon suamiku.” Ucapku. Dave kembali diam dan tetap fokus pada jalan. Hari semakin gelap dan cuaca juga kelihatannya mulai memburuk, angin bertiup sangat kencang, dan hujanpun mulai turun. Karena Mobil Jeep milik Dave tidak memiliki atapnya, aku meminta Dave untuk berhenti disebuah rumah yang terletak dipinggir jalan. Aku takut kami akan basah kuyup jika terus melanjutkan perjalanannya. Jalanan yang kami lewati juga lumayan banyak hutannya.
“Dave, lihat didepan ada sebuah rumah. Kita berhenti saja disana. Kita berteduh disana.” Ajakku. Davepun menghentikan mobilnya. Aku segera berlari keluar mobil menuju rumah itu.
“Ayo Dave!” Ajakku. Aku berlari, tapi ku sadari aku hanya berlari sendirian. Aku menoleh kembali ke arah Dave. Ia masih saja duduk didalam mobilnya. Aku kembali menghampirinya dan mengajaknya untuk ikut denganku. Dia sudah gila ingin mandi hujan.
“Dave! Ayo ikut denganku. Kamu bisa basah jika tetap disini.” Ujarku sambil menarik tangannya untuk ikut bersamaku. Kami pun berlari menuju rumah itu. Kami berdua berteduh didepan rumah itu, dan karena derasnya angin, membuat baju yang kukenakan ikut berterbangan bersama angin. Melihat kesusahanku berusaha menahan bajuku agar tidak berterbangan, Dave mengukungku didinding rumah itu. Melindungi tubuhku dari hembusan angin.
“Terkadang hujan bisa membuat tubuh kita berapi-api.” Ucapnya yang aku tidak mengerti maksudnya.