BAB 16

Dave’s Pov

“Hai Bro.. Sudah lama gak muncul kemana aja?” Tanya Andre temanku.

“Kamu saja yang jarang melihatku.” Ledekku padanya. Hari ini aku dan keempat temanku berjanjian untuk makan malam bersama. Sebelumnya Aku sudah mengatakan pada Mila bahwa aku akan pulang larut malam, karena aku sedang ada janji dengan temanku. Sudah lama sekali kami tidak bercengkrama. Mereka semua juga sudah menikah, sama sepertiku sekarang. Hanya saja mereka menikah benar-benar atas keinginan suka sama suka, bukan menikah dengan cara seperti aku dan Mila.

“Kamu nikah kok gak ngundang-ngundang kita sih Dave.” Protes Arya padaku.

“Iya nih. Gak seru banget Dave masak nikahnya diem-diem.” Sahut Yusuf.

“Gak diem-diem. Kami menikah di kediaman Nenekku, disana diadakan pesta juga. Cuma terjadinya aja secara mendadak. Jadi gak sempat mengundang kalian.” Jelasku.

“Atau jangan-jangan dia sudah ndung duluan ya?” Tanya Mondi penasaran sambil memperagakan bahwa istriku sedang mengandung. Aku memukul kepalanya pelan.

“Jangan asal kalo ngomong. Dia bukan wanita yang seperti itu.” Belaku.

“Terus gimana malam pertama kalian kalau gitu? Bagi cerita dong. Kami aja cerita sama kamu.” Desak Arya yang mulai membicarakan hal yang vulgar.

“Aku bahkan belum menyentuhnya sama sekali.” Jawabku singkat.

“HAH…?? Seriusan? Masak iya udah menikah tapi kamu belum nyentuh dia sama sekali.” Ujar Andre tidak percaya.

“Aku berkata jujur. Jadi aku tidak punya cerita untuk kalian.” Ujarku.

“Kenapa? Apa dia sudah tidak perawan lagi bro? Aaahh… Kalau begitu nasibmu sama sepertiku, saat malam pertama aku baru mengetahui bahwa istriku sudah tidak perawan lagi, tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur, aku kecewa padanya tapi aku juga mencintainya.” Keluh Arya.

“Bahkan dia masih perawan.” Jelasku.

“Benarkah??” Teriak mereka bersamaan. Aku mengganggukkan kepalaku.

“Jaman sekarang rupanya masih ada gadis yang perawan. Contohnya istri kamu. Terus kenapa kamu gak nyentuh dia?” Tanya Yusuf penasaran.

“Dia belum mencintaiku, tidak mungkin aku memaksanya melakukan hal itu. Aku tidak ingin menyakitinya.” Jelasku.

“Lalu bagaimana kalian bisa menikah jika dia tidak mencintaimu?”

“Ceritanya panjang. Tapi tidak masalah, cintaku saja cukup untuk kami berdua.” Jawabku terdengar seperti orang yang sedang gila cinta.

“Aku yakin suatu saat dia akan mencintaimu Dave, percaya saja.” Mondi menepuk bahuku.

“Dave, bawalah ini pulang. Kamu pasti akan membutuhkannya.” Ujar Andre sambil memberikanku sebotol minuman yang berwarna merah.

“Ini apa ndre?” Tanyaku penasaran.

“Itu obat penguat.” Jawab mereka sambil tersenyum menggodaku.

“Ada-ada saja kalian ini. Aku tidak membutuhkan ini.” Seruku.

“Tidak masalah, bawalah pulang. Itu bagianmu, kami masing-masing sudah punya satu. Jika kamu tidak mau memakainya, berikan saja pada orang yang membutuhkan.” Jelas Arya.

“Oke baiklah. Terima kasih.” Aku mengangkat botolnya pada mereka.

“Ayo kita lanjutkan makannya.” Ajak Yusuf. Kamipun kembali melanjutkan makan malam kami bersama, bersenda gurau layaknya masih bujangan.

***

Dadaku terasa sesak, aku berkeringat dingin. Aku mencoba meraih obat yang ada di dalam laci meja di kamarku. Aku pun meminumnya. Aku merebahkan tubuhku di atas kasurku dan menyelimutkan selimutku menutupi tubuhku. Aku mendengar Mila mengetuk pintu kamarku, mungkin karena tidak ada jawaban dariku Mila langsung masuk ke dalam kamarku.

“Dave, makan malamnya sudah siap. Ayo turun kebawah.” Ajaknya.

“Hmm.. kamu saja yang makan. Aku sedang tidak lapar.” Jawabku. Mila mendekatiku dan duduk disampingku.

“Kamu kenapa Dave? Kamu sakit?” Tanyanya.

“Tidak, aku hanya mengantuk.” Jawabku singkat. Namun Mila bukan orang yang mudah dibohongi, ia memegang dahiku dengan punggung tangannya. Mencoba mengeceknya sendiri.

“Ya Allah Dave, badanmu panas sekali. Kamu demam. Tunggu sebentar, aku akan mengompresmu.” Mila pun pergi.

Mila merawatku dengan sangat baik, iya membawakan makan malam untukku ke kamarku. Memaksaku untuk memakannya. Bahkan ia pun menyuapiku, rasanya manis sekali ini pertama kalinya istriku menyuapkan makanan ke mulutku. Setelah itu, ia menyuruhku untuk minum obat. Aku menuruti semua yang ia perintahkan padaku. Aku merasa bahwa ada seseorang yang sangat perduli padaku. Mila kembali mengecek suhu tubuhku.

“Syukurlah, panasnya sudah mulai turun.” Ucapnya lega.

“Terima kasih Mila.” Ucapku tersenyum.

“Kamu itu terlalu capek bekerja, jadinya gini kan. Ayolah Dave, perhatikan kesehatanmu, jangan memaksakan diri seperti ini.” Keluhnya. Entah mengapa aku merasa bahwa aku sedang menjadi suami sesungguhnya, istriku sedang mengomeliku karena kebandelanku. Aku tersengir padanya.

“Aku sedang marah padamu, jangan cengengesan aja.” Gerutunya.

“Baiklah istriku yang bawel. Maafkan aku.” Ucapku.

“Baiklah, sekarang kamu harus istirahat.” Serunya sambil menyelimutiku kembali. Aku menahan tangannya saat ia hendak melangkah pergi.

“Mila..” Panggilku. Mila pun menoleh padaku.

“Iya Dave?” Jawabnya.

“Tidak bisakah kamu tidur disini menemaniku?” Tanyaku tanpa berpikir bahwa ia akan marah padaku karena keinginanku.

“A..aku.. aaku..”

“Please Mila, malam ini saja. Aku ingin tidur bersama istriku disampingku.” Pintaku.

Mila pun tersenyum padaku lalu duduk disebelahku. “Baiklah Dave, aku akan menjagamu disini.” Ujarnya. Aku tersenyum bahagia karena ia tidak menolak keinginanku. Milapun berbaring di sebelahku, aku memiringkan tubuhku agar aku bisa menatap wajah polos istriku yang sudah membuatku cinta mati padanya.

“Dave, jika kamu terus menatapku seperti itu. Lalu kapan kamu akan tidur? Kapan kamu akan sembuh?” Ujarnya.

“Baiklah aku akan tidur. Tapi jangan pergi Mila, please..” Pintaku.

“Aku tidak akan pergi. Tidurlah Dave.” Serunya. Aku pun memejamkan mataku.

***

Pagi-pagi sekali, aku melihat Mila hendak keluar rumah dan dengan langkah yang terburu-buru. Mau kemana ia pagi-pagi begini? Tanyaku dalam hati. Tanpa berpikir lagi, aku langsung saja mengikutinya pergi. Ia pergi ke sebuah restoran. Aku tidak tahu siapa yang ingin ia temui di restoran yang buka 24 jam ini. Terlihat disana Mila celingukan seperti sedang mencari sosok yang ingin ia temui. Tiba-tiba kedatangan seseorang yang memeluknya dari belakang secara tiba-tiba membuat emosiku memuncak, aku hendak menghampiri mereka dan ingin ku hajar laki-laki itu. Tapi belum sempat langkahku sampai mendekati mereka, aku melihat Mila menolehnya lalu memeluknya. Mereka berpelukan disana.

Siapa laki-laki itu? Mungkinkah dia Vano? Batinku. Mila memegang wajahnya dan melihat seluruh bagian tubuh laki-laki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku sedikit mendekat pada mereka, agar aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Katakanlah aku ini seperti seorang penguntit yang lagi menguntit istrinya.

“Aku tidak apa-apa sayang. Kamu terlihat sangat mencemaskanku.” Ucap laki-laki itu tersenyum pada Mila.

“Jangan mengatakan hal buruk itu lagi Van, atau aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Gerutu Mila.

“Aku sangat merindukanmu sayang, dengan aku mengatakan aku akan bunuh diri jika kamu tidak mau menemuiku hari ini, akhirnya kamu mau menemuiku bukan?” Ujar laki-laki itu.

“Vano… Ini bukan lelucon. Kamu tidak tahu seberapa cemas aku memikirkanmu.” Ternyata benar, dia adalah Vano. Orang yang selama ini ada dihati Mila.

“Maafkan aku sayang, mau kan memaafkan calon imammu ini.” Ucapnya bergelayut manja pada Mila.

“Mana bisa aku marah padamu Van, aku juga sangat merindukanmu. Maafkan aku sudah begitu lama pergi darimu.” Mila memeluk kembali Vano sambil menangis. Tentu saja melihat kebersamaan dan cinta mereka membuat hatiku seperti di iris-iris. Tapi dalam hal ini aku juga yang salah karena aku mencintai calon istri orang. Tapi saat ini dia adalah istriku. Aku meninggalkan tempat itu, tidak mungkin pertemuan mereka hanya sebatas cukup disini. Mereka pasti butuh waktu untuk bersama dan melepas rasa rindu mereka. Aku kembali pulang ke rumah, rasanya aku seperti orang yang frustasi karena melihat istriku diluar sana sedang berkencan dengan kekasihnya.

***

Mila’s Pov

Aku sangat bahagia hari ini, setelah sekian lama aku tidak pernah bertemu dengan Vano akhirnya hari ini aku bisa bertemu dengannya. Aku sangat merindukannya. Seharian ini aku menghabiskan banyak waktuku untuk berjalan bersama Vano. Hal yang sudah lama tidak kami lakukan. Saat aku kembali ke rumah Dave, aku tidak melihat Dave, tapi mobilnya ada dirumah. Astaga apa dia sakit lagi? batinku. aku segera menuju ke kamarnya. Ku lihat ternyata ia sedang tidur. cepat sekali dia tidur padahal ini masih pukul delapan malam. Akupun kembali ke kamarku.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah yang bisa aku selesaikan, aku berniat untuk membawakan Dave minuman. Sepertinya dia sudah makan malam, jadi aku berinisiatif untuk memberinya jus saja. Aku membuka kulkas, tapi sayangnya tidak ku temukan satupun buah disana. Aku lupa mengisi kulkasnya lagi. persediaannya sudah tidak ada. Aku melihat ada sebotol minuman berwarna merah, terlihat seperti jus buah.

“Apa mungkin Dave yang membuat ini untuk stock minuman?” Tanyaku pada diriku sendiri. Aku mencium isi botol tersebut, tercium segar sekali. Dave pasti akan menyukainya. Akupun menuangkan kedalam gelas dan membawanya ke kamar Dave. Ketika aku sampai dikamar Dave, syukurlah ternyata dia sudah bangun, jadi aku tidak perlu membangunkannya lagi.

“Dave.. aku membawakan jus untukmu.” Ucapku.

“Kamu sudah pulang.” Ucapnya masih lesu karena baru bangun tidur.

“Iya aku tadi pulang pas kamu lagi tidur. Ini minumlah, kamu harus cepat pulih kembali.” Seruku.

“Aku sedang tidak ingin minum Mila. Kembalilah ke kamarmu dan istirahatlah. Aku masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidurku.” Serunya padaku.

“Baiklah jika tidak mau. Aku tidak ingin berbicara denganmu.” Ancamku.

“Oke oke baiklah, sini kemarikan aku akan meminumnya.” Dave pun mengambil gelas yang ku bawa dan meneguknya hingga gelas itu kosong.

“Nah gitu dong.” Ucapku senang.

“Sekarang apa kamu sudah puas? Kembalilah ke kamarmu. Aku ingin istirahat.” Usirnya.

“Oke baiklah Tuan Dave, aku akan pergi dari kamarmu.” Ujarku dan pergi kembali ke kamarku.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasurku, ku lelapkan mataku disana dan beralih ke alam mimpi.

Entahlah sudah berapa lama aku terlelap, tiba-tiba aku merasakan ada yang membelai wajaku. Akupun segera membuka mataku, Aku mendapati Dave sedang berbaring disampingku.

“Aku mencintaimu Mila.” Ucapnya. Matanya terlihat sangat sendu. Kemudian Dave mencium bibirku dan mulai melumatnya. Aku berusaha melepaskan diriku darinya. Apa yang sebenarnya terjadi padanya, sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya agar menjauh dariku. Syukurlah aku berhasil. Aku segera bangkit dari kasurku.

“Kamu sudah gila Dave. Kamu mau apa?” Tanyaku ketakutan.

“Kenapa Mila? Aku ini suamimu. Kenapa aku tidak boleh menyentuhmu, sedangkan laki-laki lain yang bukan suamimu boleh menyentuhmu. Itu tidak adil untukku Mila.” Protesnya.

“Apa maksudmu Dave?”

“Aku mencintaimu Mila, aku sangat merindukanmu. Jadilah istriku dan jangan tinggalkan aku untuk laki-laki itu.” Ungkapnya.

“Kamu ini kenapa Dave?” Tanyaku bingung dengan sikapnya yang lebih agresif padaku.

“Kamu yang membuatku seperti ini Mila. Kamu yang memaksaku seperti ini Mila.” Jawabnya.

“Aku? Bagaimana aku bisa membuatmu seperti ini?” Bantahku.

“Kamu yang memaksaku meminumnya. Aku tidak tahu jantungku apa akan baik-baik saja setelah ini.” Jawabnya. Aku semakin tidak mengerti apa yang sedang Dave bicarakan.

“Keluar dari kamarku sekarang Dave. Atau aku..”

“Atau apa sayang? Aku semakin menyukaimu yang seperti ini.” Dave menarikku hingga aku kembali terhempas dikasurnya dan ia mengukungku dengan kedua tangannya.

“Maafkan aku Mila aku harus melakukan ini, aku juga laki-laki normal Mila. Aku suamimu.” Ujarnya semakin membuatku ketakutan. Dave mulai menciumi leherku.

“Dave, lepaskan aku. Kamu mau apa Dave?” Aku mulai menangis.

“Jangan menangis sayang. Aku hanya ingin bercinta denganmu.” Ucapnya.

“Tidak Dave, ku mohon jangan lakukan hal itu padaku Dave. Aku mohon Dave, lepaskan aku.” Aku terus memberontak, tapi tenaganya jauh lebih kuat dariku. Hingga ia berhasil meloloskan semua pakaianku. Aku terus menangis karena perlakuannya padaku.

“Dasar laki-laki pemerkosa. Aku membencimu Dave.” Umpatku dalam tangisku.

“Tidak ada istilah suami yang memperkosa istrinya sayang. Ini memang kewajibanmu sebagai istriku.” Jelasnya dan terus melanjutkan aksinya, aku terus memberontak, tidak jarang aku mencakarnya dengan kuku panjangku, sesekali aku pun menendangnya. Tapi dia sama sekali tidak goyah, tenaganya jauh lebih kuat dari yang kubayangkan.

“Tahan sedikit ya sayang. Sakitnya akan segera hilang.” Bisiknya. Aku terus menangis dan terus berusaha melepaskan diriku darinya.

“Awwww… Sakit Dave..” Teriakku, air mataku mengalir semakin deras. Dave melakukannya, dia menodaiku. Aku merasa menjadi wanita yang paling kotor di dunia, meskipun aku tahu dia adalah suamiku dan semua yang terjadi ini bukanlah sebuah dosa. Tapi caranya yang memaksaku membuatku semakin terluka.

Setelah memuaskan nafsunya, Dave melepaskanku. Ia mengecup lama keningku. “Maafkan aku sayang.” Ucapnya sebelum akhirnya ia terlelap disampingku. Aku beranjak dari kasurku, ku rasakan perih di bagian selangkanganku. Aku marah pada diriku sendiri tidak mampu mempertahankan kehormatanku sebagai seorang wanita. Perlahan aku memunguti pakaianku yang berserakan dilantai, dan aku menuju ke kamar mandi. Aku mengunci pintunya. Aku kembali menangis kencang dibawah aliran air yang keluar dari shower kamar mandi. Aku membersihkan seluruh tubuhku yang kotor. Bahkan ada juga bagian tubuhku yang terluka karena terkena kukuku saat aku membersihkan bekas sentuhan Dave pada tubuhku, aku mengusapnya dengan sangat kasar.

“Aku kotor… Aku kotor… Aku membencimu Dave, sangat membencimu.” Lirihku menangis dan terus saja membersihkan tubuhku dengan tanganku hingga terluka karena terlalu kuat. Cukup lama aku berdiam diri didalam kamar mandi. Ku kumpulkan segenap tenaga yang masih ku punya. Aku keluar dari kamar mandi itu. Aku mengamati Dave masih tertidur dengan pulas, tapi tidak terlihat bugil lagi karena ia sudah menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Aku merasa jijik pada diriku sendiri. Aku mengemasi semua pakaianku, dan aku pun pergi dari rumah itu malam itu juga. Aku hanya meninggalkan secarik kertas untuknya.

***

Aku memencet bel rumah orang tuaku. Cukup lama aku berdiri didepan rumah barulah mereka membukakan pintu rumah. Aku tahu mereka pasti masih terlelap karena saat aku pulang masih dini hari. Mama sangat terkejut ketika mendapatiku yang sedang berdiri didepan pintu saat pintu sudah terbuka.

“Mama..” Aku langsung saja memeluk Mamaku sambil menangis.

“Mila.. Nak kamu pulang kok gak bilang-bilang?” Tanya Mama bingung.

“Mama…” Aku terus saja menangis dalam pelukannya.

“Ayo kita masuk dulu, lalu ceritakan pada Mama apa yang terjadi padamu Nak sehingga kamu seperti ini.” Mama membawaku masuk kedalam rumah dan langsung mengajakku ke kamarku. “Papa… Mike.. Mila pulang. Papa… Mike…” Teriak Mama membangunkan mereka.

“Ada apa sayang, ayo ceritakan pada Mama kenapa kamu menangis seperti ini dan pulang dini hari begini?” Tanya Mama.

“Mama.. Aku.. Aaaaahhhh..” Tangisku semakin kencang.

“Ya Allah Nak kamu kenapa? Jangan bikin Mama semakin cemas. Apa Dave menyakitimu?”

“Dave.. Aku.. Dia… Aku kotor Mama.” Ucapku dalam tangisku.

“Katakan yang jelas Mila apa yang terjadi? Apa yang terjadi padamu nak. Ayo ceritakan pada Mama.” Desak Mama. Aku pun menceritakan semuanya pada Mama, dengan kalimat yang terbata-bata karena menangis. Mendengar semua ceritaku, Mamaku langsung menangis dan memelukku erat.

“Bagaimana semua ini bisa menimpamu nak? Dari awal Mama sudah melarangmu untuk terlibat dengannya, tapi kamu malah menikah dengannya. Ya Allah Nak..” Lirih Mama.

“Aku sekarang udah kotor Mama. Aku gak bisa mempertahankan hartaku yang paling berharga.”

Mama mendekap wajahku dengan kedua tangannya. “Heii.. jangan bilang begitu, siapa yang bilang kamu kotor. Kamu gak kotor Nak, kamu tidak melakukan hal yang berdosa. Dia suamimu, hanya saja caranya yang salah. Jangan anggap dirimu kotor Nak.” Ucap Mama kembali memelukku.

“Ma.. Mila benaran pulang?” Terdengar suara Papa.

“Papa…” Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya.

“Mila sayang. Kamu benaran disini. Papa sangat merindukanmu Nak.” Ungkap Papa memelukku.

“Ma? Kok Mila pulangnya dini hari begini? Apa laki-laki itu membuat ulah dan menyakiti Mila?” Tanya Mak Mike. Mama hanya diam saja. “Mila katakan, apa dia menyakitimu? Aku akan menghabisi pria itu jika memang itu benar.” Aku juga sama diamnya dengan Mama, aku terus saja menangis dipelukan Papa.

“Sayang, ayo katakan pada Papa Nak. Apa yang terjadi?” Tanya papa sambil mengusap lembut rambutku.

“Papa..” Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan.

“Sudah aku duga. Dasar pria brengsek.” Umpat Kakakku dan hendak pergi.

“Mike tunggu! Kamu mau kemana?” Tanya Mama.

“Mau kemana lagi Ma? Aku mau memberi pelajaran pada pria itu.” Jawab Kak Mike.

“kamu gak tau permasalahannya, jangan bertingkah gegabah Nak. Tenangkan dirimu. Yang terpenting Adikmu sudah disini bersama kita.” Ucap Mama menenangkan.

“Lalu apa masalahnya? Katakan pada Kakak Mila.” Desak kak Mike.

“Iya Nak, ceritakan pada kami apa masalahnya?” Tanya Papa kemudian.

“Dave.. Dia.. memperkosaku Papa.” Ungkapku sambil menangis.

“APA?” Teriak Kak Mike yang kemudian ia mengusap kasar wajahnya. Papa menarik napasnya panjang.

“Semua ini salah Papa. Karena terlalu emosi pada Ayahnya Vano, Papa malah menyuruhmu menikah dengan Dave. Jika tidak, tidak mungkin semua ini terjadi.” Sesal Papa yang kini duduk di kursi yang ada di kamarku.

“Pria brengsek. Bagaimana dia bisa melakukan ini pada Adikku. Aku akan memberinya pelajaran.” Emosi Kak Mike semakin memuncak.

“Jangan lakukan apapun Mike. Dia tidak sepenuhnya bersalah. Dia seorang laki-laki normal. Dia juga suami sah Mila, yang salah disini adalah Papa.” Papa membekap wajahnya dengan kedua tangannya.

Aku tidak bisa melihat Papa menyalahkan dirinya karena aku. “Tidak Papa, ini bukan salah Papa. Semuanya salah Mila. Mila yang tidak bisa menjaga diri Mila.” Ucapku.

“Maafkan Papa Nak. Membuat hidupmu menjadi seperti ini.” Sesal Papa. Mama kembali memelukku yang menangis.

“Kamu harus ikhlas Nak. Dia suamimu, kamu tidak melakukan suatu hal yang kotor. Anak Mama tetap wanita yang suci. Jangan menyalahkan dirimu Nak. Kami disini bersamamu sayang.” Ujar Mama menenangkan.

“Ma.. Bagaimana caranya aku menjelaskan semua ini pada Vano Ma. Aku sudah tidak pantas lagi untuknya Ma, aku sudah mengkhianatinya.” Lirihku.

“Jika dia memang mencintaimu dengan tulus. Vano akan menerimamu apa adanya sayang.” Jawab Mama.

“Mana ada pria baik-baik seperti Vano mau menerima wanita yang sudah ditiduri oleh pria lain Ma.” Ucapku.

“Semua ini salah Papa. Kamu tidak akan begini jika Papa merestui cintamu dengan Vano. Maafkan Papa Nak.” Ucap Papa menggenggam tanganku, dan aku melihat ada bulir air mata disudut matanya.

“Papa..” Aku terus menangis dalam pelukan mereka.