Dave’s Pov
Terik matahari masuk menyinari kamarku melalui ventilasi jendela kamar. Perlahan aku membuka mataku, aku mengamati disekelilingku. Aku tahu aku sedang berada di kamar Mila. Saat aku kembali mendapatkan memori yang telah aku lakukan pada Mila, aku mengusap kasar wajahku.
“Sial.. Kenapa aku melakukannya padanya. Dia pasti akan sangat membenciku.” Umpatku pada diriku sendiri. “Minuman itu. Kenapa aku harus meminum minuman itu. Jika tidak semuanya tidak akan seperti ini. Ya Tuhan, kenapa aku tidak bisa mengendalikan diriku.” Sesalku. Cukup lama aku mengumpati diriku sendiri barulah aku tersadar akan keberadaan Mila. Setelah mengenakan pakaianku kembali, aku berusaha mencari Mila ke semua sudut rumah. Tapi aku sama sekali tidak menemukannya. Aku kembali ke kamar Mila, dan memeriksa lemarinya. Mila pergi meninggalkanku karena kebodohanku. Aku menemukan selembar kertas yang terletak di atas meja kamar Mila. aku tahu, pastilah itu surat darinya. Aku segera membaca tulisannya.
Aku mengagumi pribadimu, aku senang berteman denganmu. Aku banyak belajar darimu dalam banyak hal. Tapi kenapa Dave? Kenapa kamu hancurkan hidupku? Aku tahu apa yang kamu lakukan bukan sebuah dosa, tapi cara yang kamu pilih adalah sebuah kesalahan. Aku tidak mengenalmu. Kamu seperti pria jalang yang memaksa seorang wanita untuk memuaskan nafsumu. Kamu memperkosaku. Kamu melukai hatiku. Kamu menghancurkan hidupku. Kamu membuatku merasa kotor, aku membencimu Dave. Aku membencimu. Aku menyesal telah mengenalmu.
Ceraikan aku.
Mila
Aku memejamkan mataku, menyandarkan kepalaku ditepi kasur. Aku menyesali perbuatanku, kebodohanku membuatku kehilangan dia yang ku cintai. Mila benar, aku sudah menghancurkan hidupnya. Dia mencintai laki-laki lain bukan aku, tapi aku merenggut kebahagiaannya.
“Aaarrrgggggghhhhhhh……” Teriakku kesal pada diriku sendiri. Dadaku terasa sesak, aku mencoba mengatur pernapasanku kembali lalu akupun membersihkan tubuhku dan kemudian pergi mencari rumah kediaman orang Mila. aku tahu ia pasti pulang kesana. Berhari-hari aku mencari alamat rumahnya, syukurlah akhirnya ku temukan alamat kantor papanya. Akupun kesana dan mengikuti kak Mike saat ia hendak pulang dari kantor. Dari sanalah aku mengetahui alamat rumah Mila. Aku memutuskan untuk datang keesokan harinya. Aku ingin segera bertemu dengan Mila. Aku ingin meminta maaf padanya. Aku tidak bisa membuatnya membenciku seperti ini. Aku akan menerima semua hukuman yang ia berikan padaku. Sekalipun jika dia meminta nyawaku. Aku akan memberikannya.
Sesampainya aku didepan rumah Mila. Aku segera memencet bel rumahnya.
“Siapa?” Terdengar suara seseorang dari dalam rumah, suara yang sangat aku kenal. Suara istriku. Saat Mila membukakan pintunya, dan setelah ia melihatku ia segera ingin menutup pintu rumahnya. Aku berusaha sekuat tenagaku agar pintunya tidak ia tutup.
“Mila.. Mila dengarkan aku Mila. Jangan tutup pintunya Mila. Aku mohon.” Pintaku padanya.
“Mau apa kamu kemari? Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi. Pergi kamu dari rumahku.” Usirnya. Mila pun berhasil menutup pintu rumahnya dan menguncinya. Terdengar suara isakan tangisnya dari balik pintu, aku tahu ia masih disana.
“Mila.. Aku tahu kamu masih disana. Tidak masalah Mila jika kamu tidak ingin melihatku, tapi setidaknya dengarkan penjelasanku Mila. Aku kemari ingin meminta maaf padamu. Aku tahu aku sudah sangat bersalah padamu. Percayalah Mila itu diluar kendaliku. Aku tidak bermaksud melakukannya padamu, saat itu aku tidak bisa mengendalikan diriku karena minuman itu. Minuman yang kamu berikan sebelumnya. Aku tidak menyadari bahwa kamu memberikanku minuman yang diberikan oleh temanku sebagai minuman perangsang. Aku mohon Mila maafkan aku, hukum aku untuk kesalahanku. Tapi aku mohon jangan membenciku Mila. Aku sangat mencintaimu Mila, aku tidak bisa hidup dengan kebencian yang kamu miliki untukku.” Jelasku.
“Pergi Dave! Pergi! Aku tidak ingin mengenalmu lagi.” Teriak Mila dari dalam.
“Tidak Mila. Aku tidak akan pergi sebelum kamu mau memaafkan aku. Aku akan tetap menunggu disini sampai kamu mau menemuiku dan memaafkan aku Mila.” Ujarku. Tidak aku dengar lagi suara apapun dari dalam. Mungkin Mila sudah pergi dari sana aku juga tidak tahu.
“Aku akan tetap menunggumu disini Mila.” Teriakku berharap akan didengar oleh Mila. sepertinya Mila sedang sendirian di rumah. Karena tidak ada seorang pun yang keluar selain dia. Aku pun memutuskan untuk tetap menunggunya di luar rumahnya. Terik matahari membuat keringatku mengalir kemana-mana. Tapi aku tidak akan menyerah, aku harus bertemu dengan Mila. aku tidak akan pergi sebelum aku mendapatkan maaf darinya.
Aku terus berdiri di depan rumah Mila, kadang juga duduk hingga senja menjemput hari. Orang tua Mila pulang ke rumah. Mereka terkejut melihat kehadiranku di kediaman mereka.
“Dave? Apa yang kamu lakukan disini?” Tanya Papa Mila terlihat marah padaku.
“Mila..” Mama Mila segera berlari menuju pintu rumahnya dan membuka pintunya dengan kunci yang ia pegang.
“Mau apa kamu kemari Dave? Ingin menghancurkan hati anakku lagi?” Tanya Papa Mila kembali.
“Tidak pa. Aku kemari untuk meminta maaf pada Mila. Aku sudah sangat bersalah padanya. Tidak seharusnya aku menghancurkan kebahagiaannya.” Sesalku.
“Pulanglah Dave. Mila tidak akan mau bertemu denganmu. Pulanglah sebelum kesabaranku habis.” Serunya.
“Tidak pa. Aku tidak akan pulang sebelum Mila memaafkanku.” Ucapku percaya diri.
“Dave..”
BUUGGG.. Satu pukulan mendarat di wajahku.
“Pukul aku Pa. Pukul sepuas Papa. Aku tidak akan menyerah sebelum Mila mau memaafkanku. Bahkan jika nyawaku harus menebusnya aku tidak akan pernah menyesal, aku ingin Mila memaafkan kesalahanku.” Jelasku.
“Keras kepala sekali kamu.” Umpatnya lalu berlalu meninggalkanku.
Aku terus menunggu Mila di depan rumahnya. Hari sudah mulai gelap, dan cuaca yang tadinya terik berubah menjadi berangin lalu turunlah hujan yang sangat deras. Bahkan aku melupakan bahwa aku membawa mobilku untukku berteduh agar tidak kehujanan. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana caranya agar Mila mau memaafkan aku. Cukup lama aku mandi hujan disana, tidak apalah kupikir aku juga sudah lama tidak mandi hujan, mungkin terakhir waktuku kecil. Sebuah mobil datang menghampiriku, dengan lampu mobil yang disinarkannya ke arahku. Membuatku merasa silau melihatnya. Mobil itu berhenti tepat didepanku, samar-samar terlihat sosok laki-laki yang turun dari mobil tersebut dan berjalan menghampiriku. Tatapannya penuh dengan kemarahan, seakan ingin membunuhku. Dia adalah Mike Kakaknya Mila.
“Beraninya kamu datang kemari!” Ucapnya sebelum ia berhasil mendaratkan satu pukulannya padaku. Aku tahu aku pantas mendapatkan semua ini karena kesalahanku. Aku bahkan tidak berniat untuk membalas pukulan-pukulannya yang melayang padaku.
“Aku hanya ingin maaf dari istriku Kak.” Ucapku.
“Jangan sebut dia istrimu. Kau sudah menghilangkan senyum diwajah Adikku.” Amarahnya kian memuncak. Ia terus memukulku dengan emosinya. Aku mengusap darah yang keluar dari bibirku. Mungkin jika aku melihat diriku di pantulan cermin, aku sudah seperti zombie karena wajah dan tubuhku sudah babak belur oleh Mike.
“Nahkan jika Kakak membunuhku disini aku sama sekali tidak perduli. Aku hanya ingin Mila memaafkanku.” Ucapku lemah. Mike terus memukulku dengan sangat kasar. Sekuat mungkin aku menahan rasa sakit karena pukulan itu dan rasa sakit didadaku. Aku harus bertahan hidup untuk mendengar kata maaf dari Mila untukku. Meskipun aku harus mati setelahnya aku tidak akan menyesali hal itu. Mataku mulai sulit untuk terbuka, tubuhku sudah terlalu lemah, dibawah derasnya air hujan, aku terus berusaha untuk membuka mataku agar aku bisa melihat Mila lagi.
“Kakak…. Hentikan!” Suara itu membuatku mampu bertahan. Mila kembali membuatku membuka mataku, samar-samar aku melihat ia berlari ke arahku. Mila memangku kepalaku dipangkuannya.
“Minggir Mila! Biar aku beri dia pelajaran.” Teriak Mike.
Mila berusaha melindungiku dari kemarahan Kakaknya. Ia memeluk kepalaku sambil menangis. “Jangan pukul Dave lagi Kakak. Aku mohon, berjanjilah untuk tidak memukulnya lagi.” Lirih Mila. Mendengar kalimatnya, membuat semangat hidupku kembali lagi. Meskipun ia sedang marah dan membenciku, tapi jauh dilubuk hatinya ia masih sangat perduli padaku.
“Apa ini Mila? Kamu membela dia yang sudah melukaimu?” Teriak Mike.
“Jangan pukul dia lagi Kakak, aku mohon. Biarkan aku menyelesaikan masalahku.” Ujar Mila.
“Mila..” Aku berusaha mengeluarkan suaraku meskipun berat sekali rasanya.
“Dave..” Aku melihat ia menangis memandangku. Aku menyeka air matanya yang mengalir bersama air hujan yang membasahi wajahnya.
“Apa kamu sudah memaafkanku sekarang? Aku hanya ingin kamu memaafkanku Mila. Itu saja.” Ucapku.
“Bibirmu berdarah, kamu terluka Dave.” Ucapnya. Aku berusaha untuk menorehkan senyum dibibirku.
“Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan kesalahanku padamu. Aku mohon maafkan aku Mila.” Ucapku sebelum mataku lebih memilih untuk terpejam. Aku merasa sangat lemah sekali, dadaku semakin terasa sesak.
“Dave.. Dave.. bertahanlah Dave. Kita akan ke rumah sakit. Aku mohon bertahanlah Dave.” Ucap Mila cemas dan kalimat itulah yang terakhir ku dengar sebelum aku kehilangan kesadaranku.
***
Saat aku membuka mataku, aku melihat Mila duduk disampingku. Ia menatapku dengan ekspresinya yang datar. Aku tersenyum padanya.
“Terima kasih Mila, terima kasih sudah menyelamatkanku.” Ucapku senang.
“Aku hanya tidak ingin Kakakku mengotori tangannya untuk orang sepertimu.” Ucapnya dingin padaku.
“Aku tahu, apa yang sudah aku lakukan padamu tidak akan mudah untuk kamu maafkan begitu saja. Tapi aku mohon Mila, jangan membenciku. Aku akan melakukan apapun yang kamu minta padaku asalkan kamu mau memaafkanku.” Pintaku lemah.
“Benarkah?” Tanyanya.
“Apapun Mila, asalkan kamu memaafkanku.” Jawabku meyakinkannya.
“Ceraikan aku Dave..” Pintanya tanpa melihat wajahku dan memberikanku sebuah berkas.
“Apa ini Mila?” Tanyaku sambil melihat berkas yang ia berikan padaku.
“Surat perceraian kita. Tanda tangan disana. Aku sudah menandatanganinya.” Jelasnya. Aku menarik panjang napasku. Haruskah aku melakukan ini untuk mendapatkan maaf darinya. Batinku.
“Apa dengan menceraikanmu, kamu akan memaafkanku?” Tanyaku padanya. Mila menganggukkan kepalanya tanpa melihatku.
“Apa kamu tidak akan membenciku Mila?” Tanyaku kembali. Mila kembali mengganggukkan kepalanya.
“Baiklah, aku akan memenuhi permintaanmu Mila. Aku hanya ingin melihatmu bahagia, meskipun itu bukan bersamaku.” Ungkapku lalu menandatangani surat tersebut.
“Terima kasih Dave.” Ucapnya menatapku. Aku tersenyum melihatnya. “Oh iya saat aku membawamu kemarin, salah satu dokter disini mengenalimu. Dia juga yang merawatmu sekarang. Apa dia kerabatmu atau orang tua temanmu?” Tanya Mila penasaran.
“Dokter? Siapa?” Tanyaku.
“Dokter Suroto.” Jawab Mila. Aku sangat terkejut mendengar nama itu disebutkan.
“Apa dia mengatakan sesuatu tentangku padamu?” Tanyaku cemas.
“Tidak. Dia hanya mengatakan bahwa dia mengenalmu. Dia bertanya aku siapamu, aku jawab saja aku temanmu.” Jelas Mila. Aku menghela napasku lega.
“Apa kamu yang membayar semua tagihan rumah sakit?” Tanyaku penasaran.
“Jangan berpikir untuk mengembalikannya, anggap saja sebagai ungkapan perminta maafan kami karena Kakakku yang telah membuatmu begini.” Ujarnya. Aku terus menatapnya, aku tahu mungkin adalah kesempatan terakhirku untuk melihatnya bersamaku.
“Jangan menatapku seperti itu Dave. Jaga dirimu. Aku pulang dulu.” Ucapnya lalu beranjak pergi meninggalkanku.
“Semoga kau bahagia Mila.” Ucapku padanya. Mila tersenyum melihatku lalu kembali meneruskan langkahnya.
***
Mila’s Pov
Sejak kejadian buruk yang menimpaku, tidak hanya dengan Dave bahkan dengan Vano pun aku tidak ingin menemui mereka. Vano terus berusaha untuk bertemu denganku, tapi aku selalu menghindarinya. Aku merasa aku bukan wanita yang pantas untuk ia cintai lagi. Aku merasa jika aku tetap bersama Vano, maka aku sudah sangat tidak adil padanya karena memberinya bekas orang lain. Aku tidak menginginkan keduanya. Aku ingin hidup sendiri. Mana ada laki-laki yang mau menerimaku dengan tulus setelah mengetahui apa yang sudah terjadi padaku.
“Sayang.. kamu benaran gak mau menemui Vano?” Suara Mama tiba-tiba mengejutkanku.
“Mama. Mila kaget.” Ucapku.
“Vano sangat mencemaskanmu, temuilah dia sebentar Nak.” Seru Mamaku.
“Tidak Ma, bahkan untuk berhadapan dengannya saja Mila sudah tidak pantas. Suruh saja dia pulang.” Seruku.
“Dia bisa membencimu Nak, karena sikapmu yang seperti ini.” Ujar Mama.
“Biarkan saja dia membenciku, dengan begitu dia akan melupakanku.” Ucapku dan terus meneruskan gambaranku.
“Bagaimana bisa kamu menyuruhku untuk membencimu disaat aku saja tidak tahu alasannya untuk membencimu Mila.” Tiba-tiba Vano sudah berdiri di depan pintu kamarku.
“Vano??” Aku sangat terkejut melihatnya.
“Boleh aku bicara dengan Mila sebentar Tante?” Izin Vano pada Mama.
“Yaudah, Mama keluar dulu ya sayang.” Mamaku pergi meninggalkan kamarku.
“Aku sudah bilang aku tidak ingin bertemu apalagi bicara denganmu Van.” Tolakku.
“Aku akan pergi setelah kamu katakan padaku, apa yang membuatmu menjadi seperti ini?” Tanya Vano. “Apa aku sudah melakukan kesalahan?”
“Kamu tidak salah Van.” Jawabku.
“Apa karena Ayahku? Bahkan Ayahku sudah menghukum dirinya sendiri Mila. Ia sudah menyerahkan dirinya pada polisi Mila.” Jelas Vano.
“Apa? Mengapa dia melakukan hal itu? Aku tidak memintanya untuk melakukan hal itu.” Aku sangat terkejut mendengar pernyataan Vano.
“Dia ingin menebus dosanya padamu Mila.” ucap Vano.
“Bukan juga karena Ayahmu aku menjauhimu Van.” Jelasku.
“Lalu karena apa Mila?” Desak Vano. “Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi Mila?” Tanya Vano.
“Aku masih mencintaimu Van, tapi aku sudah tidak pantas lagi untuk bersamamu Van.” Jelasku.
“Siapa yang berhak mengatakan kamu tidak pantas untukku? Hanya aku yang berhak memutuskan siapa yang pantas untuk menjadi istriku, dan aku memilihmu Mila.”
“Tapi setelah kamu mendengar semua kebenaran tentangku, maka kamu pun akan mengatakan aku tidak pantas untukmu Van.” Ucapku menangis. Vano menggenggam kedua tanganku.
“Katakan padaku Mila, ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?” Tanya Vano.
“Aku… Aku.. sudah tidak pantas untukmu Van.” Jawabku.
“Ceritakan padaku Mila. Kamu percaya padaku kan? Jangan membuatku khawatir begini sayang.” Seru Vano.
“Aku….” Sambil menangis aku menceritakan semuanya pada Vano. Aku hanya bisa pasrah setelah ia mengetahui semuanya ia pasti akan meninggalkanku. Setelah mendengar semua penjelasanku, Vano mengusap wajahnya kasar, ia memijat dahinya. Aku melihat ada air mata disudut matanya. Ia tidak mengatakan apapun padaku, ia duduk dan membekap wajahnya dengan kedua tangannya. Sesekali ia menatap langi-langit kamarku. Ini pertama kalinya aku melihat kekecewaan dimatanya.
“Pergilah Van, kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dariku. Aku sudah tidak pantas untukmu Van.” Aku terus menangis dan tidak berani menatapnya lagi. Sesaat kemudian aku merasakan ia memelukku erat.
“Maafkan aku Mila. Maafkan aku, aku yang tidak bisa menjagamu dengan baik. Aku yang membuatmu mengalami semua ini. Jika kita tidak mengalami hal buruk kemarin, maka kamu tidak akan pernah pergi dan mengalami semua ini.” Sesalnya.
“Semua ini salahku Van, kamu tidak salah.” Ucapku.
“Jangan pernah berpikir aku akan meninggalkanmu hanya karena dukamu Mila. Aku marah atas apa yang sudah terjadi, tapi marahku tidak akan mengembalikan semuanya seperti semula. Kita hanya perlu menatanya lagi. Kita lupakan masa lalu itu, kita akan melangkah kedepan bersama Mila.” Ungkap Vano memelukku.
“Tapi aku sudah kotor Van. Aku tidak pantas lagi untukmu.”
Vano menutupkan jarinya di mulutku. “Jangan pernah mengatakan hal itu pada dirimu sendiri. Apapun yang sudah terjadi biar menjadi masa lalu.” Vano merapikan rambutku, dan menangkup wajahku dengan kedua tangannya. “Aku masih Vano yang dulu, aku akan selalu mencintaimu sayang. Apapun kekuranganmu tidak akan menjadi tolak ukurku untuk meninggalkanmu.”
“Aku mencintaimu Van.” Ungkapku memeluknya. “Terima kasih karena sudah mencintaiku sebesar ini.”
“Sekarang ayo berhentilah menangis, bidadariku ini akan lebih cantik kalau tersenyum.” Ucap Vano menghiburku sambil mengusap air mata di wajahku. Aku pun tersenyum padanya.
“Sekarang kamu sudah bercerai dengannya bukan?” Tanya Vano. Aku menganggukkan kepalaku. “Siap untuk menjadi Nyonya Alvano Adibrata?” Tanyanya.
“Maksudmu?” Aku tidak menyangka dengan pertanyaannya.
“Aku ingin segera menikahimu sayang. Agar tidak ada yang bisa memisahkan cinta kita lagi. Kamu mau kan melanjutkan rencana pernikahan kita?” Tanya Vano. Aku menganggukkan kepalaku senang.
“Ayo ikut denganku. Kita bicarakan rencana pernikahan kita dengan orang tuamu.” Ajak Vano.
“Sekarang?” Tanyaku.
“Tentu saja. Lebih cepat lebih baik bukan?” Vano menaikkan sebelah alisnya.
Setelah bertemu dengan Mama dan Papa, Vano langsung mengatakan niatnya untuk segera menikahiku. Awalnya aku takut Papa akan menentang hubungan kami lagi, tapi tidak aku sangka ternyata papa sudah merestui kembali hubungan kami.
“Kita akan menikah bulan depan. Undangan yang sempat tertunda, tinggal dicetak ulang. Dan semua persiapannya akan segera aku bereskan.” Jelas Vano padaku.
“Maafkan Papa ya Van, jika Papa tidak keras kepala. Mungkin kalian sudah menikah sejak dulu.” Sesal Papaku.
“Jangan mengatakan hal itu Pa. Semuanya sudah menjadi takdir kami yang telah digariskan oleh Tuhan. Kita hanya tinggal menjalaninya.” Ucap Vano tersenyum.