Jika pagi-pagi sebelumnya saat Dira membuka mata ia akan disambut dengan pemandangan kos yang kecil dan sedikit sumpek, maka pagi ini sanagt berbeda dari biasanya. Kosnya yang sempit, berubah menjadi kamar luas dengan nuansa biru muda. Jika biasanya hanya cermin kecil yang tergantung di samping lemari, kali ini ada satu set meja rias. Ada kursi tangan berada tepat di samping jendela.
Jangan lupakan lemari pakian tiga pintu yang Dira yakini berisi pakaian dan barang-barang mahal. Kamar ini juga dilengkapi kamar mandi pribadi. Ah, kamar Julia sangat berbeda jauh dengan kos milik Dira.
Bicara soal Julia, wanita yang satu itu benar-benar banyak bicara. Bayangkan saja, semalaman suntuk Dira mendengarkan cerita Julia tentang Bayu. Cerita tentang masa kecil Bayu, remaja, setengah dewasa, sampai cerita terbaru mengenai Bayu yang selalu menolak dijodohkan. Segala tentang Bayu. Rasanya sejak mengenal keluarga Anggara hidup Dira tidak pernah lepas dari nama Bayu.
"Dira, kamu mandi duluan ya. Pakai baju Kakak saja, itu ada di lemari. Jangan sungkan."
Seperti itulah pesan Julia sebelum pamit keluar kamar tadi. Sebagai tamu yang baik, Dira hanya bisa mengangguk untuk mengiyakan.
Kini Dira hanya dapat duduk kaku di depan meja rias milik Julia. Tubuhnya telah dibalut dress dengan potongan sederhana milik Julia. Yang pastinya dress ini merupakan pakaian mahal yang harganya tidak berani untuk Dira taksir.
Tok, tok, tok.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Dira mengenai harga dress yang ia gunakan. "Masuk!" serunya.
Pintu kayu itu terbuka dengan perlahan. Sosok Bayu muncul di sana dengan penampilan yang fresh. Ini Dira yang baru sadar atau dia yang tidak terlalu peka sejak kemarin, ternyata Bayu sangat tampan. Laki-laki itu dibalut kaus putih khas rumahan dengan celana potong pendek. Uh, he is so casual.
Dengan perlahan Bayu menutup pintu kamar Diana. Eh, kenapa ditutup? Ini kamar, dan hanya ada Dira serta Bayu di sini. Oh my.
"Kita perlu bicara," ujar Bayu datar.
Dira menatap Bayu gugup. "Hmmm," gumamnya.
Bayu memasang tampang cool. Kedua tangannya ia lipat diantara perut dan dada. Cowok yang satu ini coba menampilkan kesan cuek dan berkuasa. Songong betul!
"Papa minta barang-barang lo sore ini dibawa ke mari. Tapi sebelum itu, kita perlu buat peraturan dalam sandiwara ini. Harus ada hitam di atas putih agar posisi gue aman," tutur Bayu.
Dira berpikir sejenak. Dia mengerti maksud dari Bayu. Dira juga tidak mau dirugikan dalam sandiwara ini. Hitam di atas putih bukan hal yang buruk.
Bayu membuka laci meja rias milik sang kakak. Ia mengeluarkan selembar kertas putih dan sebuah bolpoin. "Tulis!" perintah Bayu pada Dira.
Kening Dira mengkerut pertanda ia tidak mengerti dengan perintah Bayu. Ia butuh penjelasan lebih.
"Udah tulis aja! Surat Perjanjian. Pertama, tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing!"
Oke, Dira paham sekarang apa maksud dari Bayu. Dia mulai menggerakan tangannya untuk membubuhkan huruf demi huruf di atas kertas putih kosong tersebut.
"Dua, sandiwara ini hanya berlangsung di hadapan keluarga dan di hadapan Rani," tambah Bayu.
"Tiga, tidak akan pernah terjadi pernikahan di antara kita. Empat, jika kita bertemu di luar anggap tidak saling kenal dan tidak perlu saling menyapa, kecuali jika diperlukan. Dan yang kelima, hanya dari pihak gue yang boleh mengakhiri sandiwara ini."
"Hei! Itu gak adil namanya!" Dira spontan protes dengan peraturan yang kelima.
"Lo mau protes?! Bukannya lo sendiri yang bilang begitu kemarin?!"
Dira diam membenarkan.
"Di sini, gue pihak yang paling banyak dirugikan. Lo harus setuju atau kita akhiri sampai di sini saja?!" Bayu mendebat.
"Ja-jangan," tolak Dira. "O-oke, gue setuju."
"Bagus!" ujar Bayu penuh kemenangan. "Tempel materai ini dan tanda tangan!"
Dira menatap nanar materai yang diberikan Bayu padanya. Sial, ternyata laki-laki yang satu ini sudah memikirkan segalanya dengan matang sampai ia menyiapkan materai segala. Dira berurusan dengan orang yang berbahaya. Setelah materai itu tertempel dengan perkasa, Dira dan Bayu saling bertukar bolpoin untuk memberikan tanda tangan masing-masing. Kini surat perjanjian itu telah sah di mata keduanya.
"Gue yang ---"
"Gue yang simpan surat perjanjian ini," Bayu memotong perkataan Dira. Dengan cepat ia meraih kertas itu dan membawanya pergi. Bayu sangat pandai memonopoli keadaan.
Nasib perempuan yang lemah. Bayangkan betapa menyedihkannya jadi Dira, ia hanya bisa menatap kepergian Bayu tanpa perlawanan yang berarti untuk merebut surat perjanjian itu. Jika Dira seorang laki-laki ingin rasanya dia meninju wajah sok berkuasa milik Bayu. Sudahlah, memang pada dasarnya perempuan selalu kalah karena mengalah.
~000~
"Pagi, Bunda," Rani menyapa Dira dengan mulut penuh bubur. Gadis kecil itu terlebih dahulu mulai sarapan dengan keluarga barunya.
Dira tersenyum untuk merespons ucapan selamat pagi Rani. Dengan gerakan kaku ia menarik kursi makan untuknya, tepat berada di samping Rani.
Tak berapa lama muncul Bayu dengan setelan jas kantoran. Dengan balutan pakaian apa pun dia selalu terlihat tampan. Bayu duduk di samping Rani.
Kini Rani diapit oleh dua orang dewasa yang ia anggap sebagai ayah dan ibu.
"Pagi, Ayah," sapa Rani pada Bayu.
Karena belum terbiasa atau apa, Bayu merasa aneh dengan kata ayah dari Rani untuknya. Laki-laki itu menoleh dan hanya menunjukkan senyuman terbodoh miliknya pada Rani, namun senyuman bodoh itu mampu membuat Rani berbunga-bunga.
Seperti inikah rasanya memiliki seorang ayah?
"Rani sayang, yang kamu pakai baju siapa?" Dira mencoba untuk menarik perhatian Rani dari Bayu.
"Itu Mama yang belikan di online shop. Baru aja sampai pagi ini. Masih ada sekitar sepuluh potong lagi di kamar Mama," Nyonya Kate menjawab pertanyan Dira untuk mewakili Rani.
"Mama gak perlu repot buat beli baju buat Rani," sahut Dira sungkan.
"Ah gak apa. Mama senang kok. Apa sih yang enggak buat cucu Mama yang cantik nan imut." Raut wajah Nyonya Kate terlihat sangat bahagia, menimbulkan rasa bersalah yang semakin dalam di hati Dira. Hati Nyonya Kate pasti sangat hancur saat tahu semua ini hanyalah kebohongan.
Dengan tiba-tiba Rani turun dari kursi yang ia duduki, kaki kecilnya bergerak-gerak untuk mencapai lantai. Pergerakannya menarik perhatian seluruh keluarga yang penasaran dengan apa yang akan dilakukan gadis kecil itu. Rani berjalan menuju Bayu, ia mengadahkan kepalanya ke atas agar dapat menatap wajah Bayu sepenuhnya yang duduk di kursi makan.
"Ayah, pangku," mintanya manja.
"Hah?" respons Bayu kaget. Sementara seluruh keluarga tertawa ringan melihat kekakuan Bayu pada Rani.
"Rani mau dipangku, Ayah," ulangnya.
Bayu menggaruk tengkuknya, ia menatap seluruh keluarga secara bergantian untuk meminta bantuan mengenai apa yang harus ia lakukan. Dan pandangan Bayu berakhir pada Dira. Perempuan itu menatapnya sengit seolah mengingatkan masalah surat perjanjian. Ya, Bayu harus bersikap layaknya seorang ayah di hadapan seluruh keluarga dan yang paling utama di hadapan Rani.
Embusan napas berat terdengar dari bibir Bayu. Ia segera mengangkat Rani dipangkuan. Senyuman Rani langsung terbit dengan ceria karena permintaannya sudah dipenuhi.
"Disuap dong Rani-nya, Bay," ujar Julia jail. Dia suka melihat Bayu yang bingung sendiri karena seorang anak kecil.
"Ini buburnya." Entah mendapatkan keberanian dari mana, Dira berbicara dengan lantang sambil menyodorkan semangkuk bubur di hadapan Bayu. Bodoh amat jika Bayu tidak suka dengan tindakannya, Dira hanya ingin Rani mendapatkan kebahagian.
Dalam hati Bayu mengumpat sebal. Sial, seluruh orang seperti menjepit dirinya untuk segera bertindak sebagai seorang Ayah yang baik.
"Aaaaa," Rani membuka mulut kecilnya menantikan suapan dari Bayu.
"Bayu, ayo suap!" tegur Tuan Adam karena Bayu tak kunjung bergerak untuk melaksanakan tugas.
"Aaaa," ulang Rani dengan mulut terbuka lebar.
"Ayo suap!" desak nyonya Kate.
Bayu kembali mengembuskan napas dengan kasar. Dia gusar, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada lagi jalan untuk mengelak. Baiklah, Bayu akan menjalankan tugas pertamanya sebagai seorang Ayah.
"Ini," ujar Bayu datar sambil menyodorkan sesuap bubur pada Rani.
"Oh please, bukan gitu caranya. Kamu kasar bangat sama cucu Mama. Kasih suapan dengan senyuman, bukan muka kasar gitu," omel Nyonya Kate tidak terima dengan perlakuan Bayu.
"Ayo dimakan," kali ini suara Bayu terdengar lebih halus.
"Jangan lupa senyum," tegur Julia jail.
Dengan otomatis Bayu menciptakan sebuah senyuman terpaksa di bibirnya setelah. "Ayo dimakan!"
Rani melahap bubur yang diberikan Bayu dengan sumringah. Wajah gadis kecil itu sangat bahagia. Entah kenapa bubur yang ia makan berkali-kali lipat lebih nikmat.
"Enak?" tanya Dira dengan nada terharu. Dia tidak pernah melihat wajah Rani sebahagia ini sebelumnya.
Jika gula adalah alasan semut untuk bahagia, sama seperti halnya Dira yang menjadikan Rani sebagai alasannya untuk bahagia. Apa pun akan Dira lakukan untuk mempertahankan kebahagian Rani itu, sekalipun dia harus mengikat Bayu selamanya bersama mereka.
Rani mengangguk beberapa kali untuk menjawab Dira.
"Hari ini kita jalan-jalan yah, Ayah?" mintanya pada Bayu.
"A ... a-a-a," lidah Bayu terasa sangat kelu untuk mengucapkan kata ayah. "A ... A-ayah ada meeting hari ini."
"Biar Papa yang menggantikanmu. Hari ini ajak Dira dan Rani jalan-jalan," sela tuan Adam.
"Tapi ...." Bayu kehilangan kata-kata untuk mengelak.
"Yeeeey, jalan-jalan," teriak Rani riang.
Dengan tida-tiba Rani melompat dari pangkuan Bayu dan membuat semua orang memekik terkejut. Gadis kecil itu hampir saja jatuh.
"Rani, jangan lompat," larang Dira.
"Ya Tuhan cucuku," pekik Nyonya Kate khawatir.
"Waw, dia aktif like a super girl. Gue suka gaya lo." Ini kalimat gila milik Julia. Saat semua orang khawatir hanya dia yang merasa bangga dengan aksi gila Rani.
"Jangan lompat-lompat nanti kamu jatuh." Walau nada suara Bayu terdengar kaku, namun tidak mampu menutup rasa perhatiannya pada Rani. Bayu merasa khawatir sebagai seorang ... Ayah.
Rani nyengir polos. Ia tersenyum tanpa dosa dan menampilkan deretan gigi susunya yang kecil-kecil. Gadis kecil itu merasa senang karena mendapat perhatian dari seluruh keluarga, terutama sang Ayah.
~o0o~