Part 9 - Jangan Lakukan Ini

Langit baru saja berhenti menangis, meninggalkan bau basah. Tetesan air tersisa di dadaunan. Tanah merasakan dinginnya guyuran sang hujan di sore yang mendung ini. Awan hitam seakan tidak ingin pergi dari pandangan setiap insan. Membuat matahari sore meredup, terhalang oleh awan abu-abu. Manusia menginginkan sesuatu yang hangat untuk tubuh mereka, seperti bakso misalnya.

Dira berjalan menelusuri tangga besar rumah keluarga Anggara. Ia baru saja selesai mandi setelah kembali dari kantor Bayu. Udara yang dingin tidak menghalangi Dira untuk mengguyur air di tubuhnya. Bulir air di rambut Dira sehabis keramas belum kering sepenuhnya.

“Masak apa, Bu?” Sesampainya di dapur Dira mengambil segelas air yang dia teguk habis dalam satu tarikan napas, lalu menyapa salah seorang pengurus rumah Anggara yang sedang memasak.

“Eh, Nak Dira, ini Ibu lagi masak untuk makan malam,” jawabnya singkat.

Pelayan berusia lima puluh tahun itu, sedah bekerja hampir dua puluhtahun pada keluarga Anggara. Bu Ani, seperti itu orang-orang biasa memanggilanya.

“Apa yang bisa Dira bantu?” tanya Dira seraya mengambil bawang dan berniat untuk mengupasnya.

“Gak perlu, Nak. Ibu bisa sendiri. Nak Dira istirahat saja, pasati capek baru pulang dari kantor,” tolak Bu Ani dengan halus.

Dira tersenyum akan kecanggungan Bu Ani padanya. “Gak masalah, Bu. Dira biasa kok masak sendiri di kos.”

Dulu keseharian Dira sehabis pulang dari kampus jika tidak ada kegiatan adalah memasak sesuatu yang enak untuk Rani. Dia sudah terbiasa lelah dalam kehidupan yang sederhana. Kuliah, tugas kampus dan mengurus Rani merupakan makanan sehari-hari bagi Dira.

Bu Ani hanya dapat mengangguk paham dan tidak membantah Dira lagi. Bu Ani membiarkan majikannya itu ikut memasak dengannya.

"Bu, coba dulu deh garamnya," titah Dira pada Bu Ani sambil mengaduk sup. "Udah pas belum, Bu?" tanyanya setelah Bu Ani mencicipi.

Bu Ani mengangguk. "Mantap, Neng," nilainya. Senyuman Dira mengembang bangga.

"Bu, buatin kopi. Antar ke teras belakang!"

Suara berat dari Bayu menarik perhatian Dira dan Bu Ani. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Bayu berdiri di ambang pintu dapur dengan pakaian ala rumahan. Uhh, laki-laki itu tampan sekali.

Sejenak mata Bayu dan Dira bertabrakan. Beberapa detik Dira tenggelam dalam telaga biru milik Bayu, hanya sesaat sebelum Dira memutuskan untuk mengakhirinya.

"Baik, Nak Bayu. Nanti biar Ibu antar," ucap Bu Ani sopan.

"Hmmm," guman Bayu dengan nada cool. Kemudian Bayu berlalu pergi begitu saja tanpa kata.

Dasar dingin, Dira hanya dapat mengomentari sikap Bayu melalui dewi batinnya. Ayolah, mana berani Dira memaki Bayu secara terang-terangan.

"Neng Dira, Ibu tinggal sebentar, ya? Ibu mau buat kopi untuk pangeran muda kita," kata Bu Ani. Wanita tua itu berniat mengambil cangkir kopi, namun terhalang oleh instruksi Dira.

"Biar aku saja, Bu! Biar Dira yang buatin kopi untuk Bayu," tutur Dira dengan senyuman misterius yang menemani wajahnya. Tuhan mengilhaminya ide bagus. Dira menyerahkan sup yang hampir matang pada Bu Ani, lalu ia menggantikan tugas wanita tua itu untuk membuat kopi.

Dira menatap puas hasil seduhan sesuatu dengan air panas yang baru selesai ia buat. Ini bukan seduhan air panas dengan bubuk kopi seperti pesanan Bayu. Hohoho, Dira menyiapkan segelas susu rasa vanila yang hangat untuk pangeran muda itu, ehem ... dengan sedikit tambahan garam. Bukan sedikit, tapi banyak garam lebih tepatnya.

"Dira antar ini buat Bayu dulu ya, Bu," pamit Dira pada Bu Ani. Dengan bangga tangannya membawa nampan berisi susu vanila untuk Bayu.

"Susu itu buat Den bayu, Neng? Tapi ...."

"Dira antar ya, Bu." Dira memotong perkataan Bu Ani dan berlalu pergi dengan susu vanila buatannya.

Kaki jenjang Dira melangkah menelusuri rumah keluarga Anggara, hingga sampailah ia di teras belakang. Itu dia objek yang sedang dicari Dira, Bayu duduk di kursi teras belakang sambil menggeluti tab yang ada di tangan kirinya. Biar Dira tebak, laki-laki itu pasti sedang bekerja melalui benda persegi tersebut.

Dasar workaholic!

"Ini pesanannya, Pak." Dira bertingkah layaknya para pelayan di restoran.

Bayu melirik Dira sekilas, sebelum kembali berkutat pada tab yang ada di genggamannya.

"Ayo diminum susunya," perintah Dira halus.

Susu? Seingat Bayu tadi dia memesan kopi pada Bu Ani, bukan susu. "Maksud lo, minuman sapi itu buat gue?" tanya Bayu dengan nada tidak percaya.

"Ini namanya susu vanila. Lebih enak dari kopi. Dan lebih sehat untuk tubuh," jelas Dira.

"Bawa pergi susu itu dari sini dan suruh Bu Ani buatkan kopi untuk gue," tutur Bayu dengan nada memerintah.

Dira mengerang kesal. Tadi dia berniat ingin membuat Bayu kesal, justru yang terjadi sebaliknya. Laki-laki itu sungguh pandai memonopoli keadaan.

"Minum aja apa susahnya, sih?!" Dira tanpa sadar membentak Bayu. Hei girl, dia itu Bayu, bukan Rani yang jika menolak perintah Dira bisa dibentak agar mau menurut.

Bayu menatap Dira tidak percaya. "Lo bentak gue?"

Sial, sekarang Dira merasa gemetar mendapat tatapan tajam dari Bayu. Asli, Bayu lebih mengerikan daripada valak yang ada di film conjuring. Oke ini berlebihan, sebenarnya wajah Bayu masih tampan-tampan saja.

"I-i-iya. Gue bakal suruh Bu Ani buat nyiapin kopi."

Silahkan tertawa! Dira yang memulai perang, tapi ujung-ujungnya dia juga yang menyerah. Dira buru-buru mengambil langkah untuk pergi. Dia harus segera menjauhi Bayu jika tidak ingin terbunuh dengan tatapan tajam laki-laki itu.

"Tunggu dulu!" Bayu menghentikan langkah Dira. "Bilang pada Bu Ani, gulanya dua sendok saja."

"I-iya!" sahut Dira.

Dira kembali mengambil langkah, namun Bayu menghentikannya lagi. "Bilang sama Bu Ani, kopinya harus diseduh pake air yang baru mendidih."

"Iya! Boleh gue pergi sekarang?" tanya Dira sakratis.

"Silakan!" jawab Bayu santai. "Eh tunggu dulu!" Bayu menghentikan langkah Dira, lagi.

Dira mendesah marah. Kalau membunuh orang itu tidak berdosa, maka Bayu adalah orang pertama yang akan Dira lenyapkan dari muka Bumi ini.

"Ada apa lagi?! Gue mau pergi untuk menyampaikan pesanan lo sama Bu Ani." Dira kembali kelepasan bicara dengan nada membentak pada Bayu. Namun, tanpa Dira sadari diam-diam Bayu tersenyum gemas melihat kekesalan Dira.

"Nanti saja. Sekarang lo duduk dulu, ada yang mau gue omongin," tutur Bayu dengan nada bersahabat.

Dira mencibir. Ternyata sejak tadi dia dikerjai. Hei, kemana saja Dira sejak tadi, kenapa baru sadar kalau sedang dikelabui oleh Bayu?

Dira mendaratkan bokongnya pada kursi kosong yang ada di samping Bayu. Tidak lupa nampan berisi susu yang dibawanya ia letakkan secara sembarang di atas meja yang menjadi pemisah antara dia dan Bayu. Mata perempuan itu menatap lurus ke depan, ia enggan untuk memfokuskan pandangannya pada wajah menyebalkan milik Bayu.

"Gue baru aja searching di-internet mengenai TK terbaik di kota ini. Gue punya rencana untuk masukkan Rani TK. Awalnya gue mau mendaftarkan dia SD, tapi mengingat umurnya yang belum genap enam tahun jadi gue tunda dulu. Itu terlalu cepat, takutnya nant Rani menjadi tertekan. Ada banyak TK yang bagus, gue bingung sendiri buat pilih yang mana. Mungkin lo bisa bantu gue?"

Apa ini serius? Apa Dira tidak salah dengar? Apa telinga Dira sedang bermasalah? Tolong ingatkan dia nanti untuk pergi ke dokter THT memeriksa keadaan pendengarannya.

Terharu, hanya itu yang Dira rasakan sekarang. Seorang Bayu sungguh sangat tidak tertebak. Laki-laki perfeksionis seperti dia ternyata masih sempat memikirkan hal sesederhana ini. Well, it's so amazing.

"Lo gak perlu merepotkan diri tentang hal ini," tolak Dira merasa sungkan.

Kening Bayu mengkerut. "Memangnya kenapa?"

"Pertama, karena biaya-biaya di TK itu terlalu mahal. Buat bayar uang di penitipan anak saja gue kewalahan, apalagi ngebiayain Rani di TK kelas atas," kata Dira sedih. Dia sedih menjadi ibu miskin harta untuk putrinya.

"Gue yang akan semua," ujar Bayu tegas.

"Alasan kedua, karena semua ini hanya sandiwara. Lo terlalu berlebihan kalau melakukan hal sejauh ini."

"Ini tidak berlebihan untuk seorang Ayah!" Kalimat itu meluncur dengan lugas dari bibir Bayu, tanpa keraguan. Dira terdiam. Terlalu jahat jika dia berani menyangkal perkataan Bayu.

"Dia anak gue!" lanjut Bayu. "Rani mendapatkan kasih sayang seorang ayah. Bukannya itu yang lo mau? Dan Rani mendapatkannya sekarang. Jangan rebut itu dari dia!"

Dear Rani, berterima kasihlah pada Tuhan karena sudah memberikan sosok seorang ayah seperti Bayu padamu.

"Ini cuma sandiwara, Bayu. Jangan terlalu bawa perasaan," Dira mengingatkan.

"Gue cukup waras untuk menyadari hal itu. Tapi, lo terlalu jahat kalau menghalangi Rani mendapatkan haknya sebagai seorang anak. You're too arogant," debat Bayu tidak terima.

"Gue cuma takut, Bayu. Gue gak mau Rani terlalu tersakiti saat lo pergi nanti," kata Dira sedih.

"Gue gak akan pergi!" sanggah Bayu.

"Jangan kasih harapan kosong buat gue sama Rani. Di masa depan lo akan punya keluarga sendiri bersama perempuan yang lo cinta. Lo berhak bahagia bersama anak dan istri lo." Dira mengatakan yang sebenarnya, walaupun ada rasa tidak rela terselip dalam hati Dira saat membayangkan Bayu memiliki keluarga.

"Don't think about it. Sekarang gue hanya Ayah bagi Rani. Dan izinkan seorang Ayah ini membahagiakan anaknya. Jangan rebut hak yang gue miliki," ujar Bayu tegas. Ia menatap dalam Dira dengan mata birunya, Bayu ingin menyampaikan kesungguhan melalui tatap matanya.

"Kenapa lo mau menjadi Ayah buat Rani?"

"Pada awalnya karena terpaksa. Namun seiring waktu, semua terasa menyenangkan. Setiap melihat mata Rani, gue melihat ada banyak kesedihan yang tak tersampaikan di sana. Gue mau menghapus kesedihan dia," jelas Bayu seraya membayangkan mata kelam milik Rani.

Karena itu jugalah gue sampai bertindak sejauh ini dan menyeret lo demi kebahagian Rani. Karena kesedihan gadis kecil itu, Dira menjelaskan dalam hati.

Mata Dira berair dan butiran bening akhirnya jatuh dari telaga kelam miliknya. Ia bahagia, sungguh. Sebelumnya tidak pernah terbayangkan bagi Dira bahwa Rani akan mendapat kasih sayang seorang Ayah.

Selama ini hanya karangan belaka yang selalu Dira sampai pada Rani tentang Ayah gadis kecil itu. Namun sekarang semuanya menjadi nyata. Tuhan sungguh adil.

"Kenapa jadi melo begini sih suasananya?" sungut Bayu tidak jelas. Ia tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Dira menghapus sisa air matanya. "Makasih banyak ya, Bayu."

"Gak berterima kasih segala. Gue merasa semakin keren kalo lo bilang itu." Dan sifat narsisnya muncul kembali. Dira mencibir pura-pura terganggu dengan kenarsisan Bayu.

"Ah, gue tiba-tiba haus. Gak masalah susu ini buat ganjal dulu," Bayu mengalihkan pembicaraan. Ia meraih susu yang dibawa Dira tadi.

Mampus!

Mati saja kau Dira!

Hancurlah sudah kalau Bayu meminum susu asin itu. Dira hanya dapat melihat ketika Bayu menggenggam gelas berisi susu tersebut, tanpa bisa berbuat apa-apa. Sedikit, demi sedikit gelas berisi susu itu mendekat ke bibir Bayu hingga akhirnya Bayu meneguk susu tersebut.

Mata Bayu membulat seketika ketika cairan putih tersebut melewati tenggorokannya. Dan detik berikutnya terdengar suara langkah kaki Dira yang bergerak cepat. Perempuan itu kabur tanpa permisi.

"DIRAAA! SIALAN LO! ANJIIIR ASIN BANGET!"

-o0o-