Setelah dari kantin tadi. Alessa menyusul Miranda ke kelas, sesampainya di kelas Miranda mengajaknya untuk pergi ke rumah sepupu Miranda, sungguh Alessa baru tau bahwa Miranda memiliki sepupu laki-laki.
Walaupun merema sudah lama berteman Miranda sangat tertutup dalam mengungkit masalah keluarga. Alessa hanya mengetahui bahwa Miranda mempunyai peliharaan yang sangat lucu bernama Molly, anjing kecil putih dengan bulu lebatnya.
Tetapi sayang, Molly hilang sejak dua hari yang lalu. Dan tingkah laku Miranda menurut Alessa sangat aneh, seperti saat di sekolah tadi ia memakan daging.
Dan di sinilah mereka berdua berada. Di rumah Miranda, mengapa ke rumah Miranda? bukankah ia tadi mengajak ke rumah sepupu nya. Batin Alessa.
"Mengapa kita ke rumahmu, Ran?" Tanya Alessa dengan kening berkerut khas jika ia sedang bingung.
"Rumah sepupuku ada di samping rumahku" Miranda menunjuk rumah besar yang ada di samping rumahnya.
Rumah itu sangat besar dan lebih besar dari rumah Miranda. Dan yang Alessa tau rumah itu kosong tak berpenghuni. Apa sepupunya baru saja pindahan? Alessa membatin.
"Mari kita kesana!!" Ajak Miranda, yang saat ini sudah berjalan terlebih dulu. Alessa hanya mengekor di belakang.
Miranda membuka pagar rumah itu dan, rumah itu benar-benar unik seperti rumah antik. Rumah itu sangat terawat dan hampir mirip seperti istana-istana dalam dongeng.
Alessa dan Miranda melangkah kan kaki lebih dalam lagi. Rumahnya nampak sepi, tak ada satpam ataupun seseorang. Pintunya sangat besar dan lebar, terdapat beberapa ornamen dan corak yang rumit di permukaan pintu. Alessa semakin terperangah ketika melihat isi ruangan tersebut.
"Kau duduk saja dulu di situ. Aku akan mencari sepupuku dulu!" Tunjuk Miranda pada sofa kulit berwarna cokelat yang berada di tengah-tengah ruangan.
"Baiklah," Jawab Alessa disertai anggukan.
Tidak lama Miranda datang dengan seorang laki-laki yang sangat—tampan— Oh god. Pria itu memang sangat tampan dengan mode casual-nya.
Kulit putih pucat seperti tak ada darah yang mengalir di tubuhnya. "Alessa. Dia sepupuku yang ku maksud tadi," ucap Miranda. Membuyarkan lamunan Alessa.
"Aku baru tahu kau memiliki sepupu, Ran. Ah, ya perkenalkan namaku Alessa," ucap Alessa sembari mengulurkan tangan ke arah Pria pucat itu dengan senyuman tipis.
"Nama ku Edgar Volard panggil saja Edgar," balasnya sambil menerima jabatan tangan Alessa. Volard? Polar? Seketika Alessa jadi teringat tentang kimia.
Pria itu yang bernama Edgar. Entah mengapa Alessa merasa ia selalu memperhatikannya sedari tadi. Satu hal yang masih Alessa bingungkan mengapa Miranda mengajaknya kesini, sedangkan ia bisa saja kesini sendirian, mengingat rumahnya bersebelahan. Pasti ada maksud terselubung, pikirnya.
"Ah. Maafkan aku, Alessa. Sudah mengajakmu ke sini padahal kan aku bisa saja pergi sendiri kesini. Tujuan yang sebenarnya adalah karena aku ingin mengenalkanmu dengan sepupuku," Sejak kapan Miranda bisa bahasa telepati. Ia seakan bisa membaca pikirannya. Dan benar saja, ada maksud tertentu dibalik semua ini. Ini terasa aneh bagi Alessa.
"Tidak masalah, Ran. Lagi pula aku suka dengan rumah ini. Rumahnya begitu unik," ucap Alessa sembari melihat-lihat ruangan itu lagi yang sepertinya adalah ruang tamu.
"Kau bisa tinggal disini jika kau mau?" gumam Edgar sangat pelan hampir tak terdengar.
"Kau adalah takdirku, aku akan memilikimu seutuhnya!"
***
Tadi Alessa bergegas pulang dari rumah Edgar, karena Ibunya menelpon bahwa Ayahbya ada di rumah. Sebelum pamit pulang tadi Alessa sempat mendengar bahwa Edgar mengatakan sesuatu seperti 'aku akan memiliki mu' . Tapi ia tidak terlalu mendengar dengan jelas dan segera pergi.
Jarak dari rumahnya dan rumah Miranda lumayan jauh. Tadi mereka sempat menawari untuk mengantar Alessa pulang, yang ditolaknya secara halus. Ia memutuskan memesan taxi online. Ketika sampai di seberang rumah wanita itu berlari menuju pagar rumahnya. Entah seperti apa posisinya hingga ia tidak menyadari bahwa ada sebuah mobil yang melaju kencang. Membuat tubuhnya tertabrak dan terpental jauh di aspal.
***
Ini sudah beberapa bulan selama Edgar tertidur di dalam peti. Hingga akhirnya ada seseorang yang datang membangunkannya. Edgar sudah menunggu hari ini tiba, dan orang yang sudah membangunkannya itu bernama Miranda. Sampai memutuskan untuk membeli sebuah rumah besar yang ada di samping rumah Miranda.
Edgar ingat kata-kata Johnson—Ayahnya— Orang yang akan membangunkannya nanti hanya sebagai perantara untuk mempertemukan Edgar kepada si pemilik darah abadi. Terdengar rumit memang, tapi sebelumnya Edgar sudah mencari-cari tau tentang kehidupan Miranda. Ia juga tau siapa saja teman dekatnya, termasuk Alessa.
Dan pada hari ini Miranda berjanji akan membawa Alessa ke rumah Edgar. Dan benar saja Edgar merasakan sesuatu yang aneh saat melihatnya pertama kali, rasanya Edgar ingin segera memiliki wanita cantik itu. Sayangnya belum sempat Edgar erbicara banyak wanita itu sudah pulang karena ada seseorang yang menelpon.
Sedari tadi ia gelisah sejak kepulangan Alessa. Bayangan-bayangan tentang wanita itu yang tertabrak mobil dan terpental jauh memenuhi kepala Edgar. Akhirnya Edgar memutuskan untuk menyusul Alessa, memastikan sendiri bagaimana keadaannya sekarang.
Dan benar saja Alessa tergeletak di atas aspal, jauh beberapa meter dari rumahnya. Pelaku sudah kabur dan tidak ada satu orangpun yang terlihat, Edgar segera menggendong Alessa dan memelesat menuju rumahnya.
Alessa terluka cukup parah hingga tidak sadarkan diri. Kepalanya mengeluarkan cukup banyak darah dan luka-luka kecil lainnya di tangan dan kaki. Aroma darah menguar di udara, menusuk penciuman Edgar. Tanpa pikir panjang ia menjilati darah yang mengalir di antara luka-luka Alessa, membersihkannya hingga bersih. Sebelum memutuskan untuk memanggil dokter.
***
Alessa terbangun dengan tubuh yang terasa sakit di bagian pelipis dan di bagian tubuh lainnya. Ia memegangi kepalanya yang kini sudah dibalut perban. "Apa yang sudah terjadi? " ucapnya serak.
Di saat hendak bangun Alessa merasa ada sesuatu yang melilit di bagian perutnya. Ia mengerjap beberapa kali membiaskan cahaya yang menusuk retina mata. Alesaa benar-benar lupa kapan ia tertidur, yang ia ingat hanya pertemuannya dengan sepupu Miranda, setelah itu Alessa lupa semuanya.
Setelah mendapatkan kesadaran sepenuhnya, Alessa tercengang karena merasa ada keganjalan dengan ruangan ini. Ini bukan kamarnya,secepat kilat matanya turun ke arah pinggang dan ada tangan seseorang di sana. Seseorang memeluknya? Alessa berbalik melihat siapa pemilik tangan itu.
Alessa membulatkan matanya, namun tidak berteriak. Hanya diam memandangi wajah Edgar— sepupunya Miranda. Pria itu tertidur dengan pulas, tidak menyadari bahwa Alessa sudah bangun. Ini sudah pagi entah bagaimana bisa ia tertidur di sini dan tentang luka-lukanya, Alessa sungguh tidak ingat apapun.
Ia mencoba bangun dari tempat tidur dan pergerakan itu membuat Edgar terbangun. Tiba-tiba Alessa panik, ia takut. Dengan kaki yang diseret ia berjalan menuju pintu.
"Tetap disini!" Pintanya, yang saat ini sudah ada di depan Alessa.
"Apa yang kau katakan?" Alessa menjawab seakan perintahnya tadi tidak ia dengar.
"Tetap lah disini!" Ulangnya lagi, namun kali ini nampak lebih serius.
"Eh. Mengapa aku harus tetap disini. Aku mempunyai rumah dan keluarga, Edgar. " Alessa mencoba keluar dari kamar setelah mengatakan itu, namun tangannya ditahan.
"Kau tidak bisa pergi dariku," ucapnya sembari menyentuh pelipis Alessa yang luka.
"Aku ti—,"
Bunyi dering ponsel membuat Alessa menghentikan ucapannya. Bunyi itu berasal dari atas nakas dan ia mengenali nada deringnya. Alessa Langsung berlari menuju nakas dan merogoh ponsel dari dalam tas, hampir saja ia eninggalkan tasnya disini.
Mahesa is calling...
Mahesa. Kekasihnya. Alessa hampir saja melupakannya. Ia tidak mempedulikan si Edgar lagi dan langsung pergi keluar dari kamarnya. Anehnya ia idak lagi mencegah Alessa dengan ucapan yang terdengar aneh di telinganya.
Ada beberapa maid berseragam lengkap berseliwuran di lantai satu,padahal kemarin tidak ada, namun Alessa juga tidak terlalu memikirkan itu, ia terus berjalan menuju pintu utama. Sesekali tersenyum kepada maid yang menatapnya. Saat sudah berada di halaman rumah Alessa mendengar suara gaduh dari rumah Miranda, seperti barang-barang yang di lempar ke lantai. Karena penasaran dengan apa yang terjadi Alessa bergegas ke rumah Miranda.
Sampai di lantai dua ia mendengar suara tangisan dari dalam kamar Miranda. Wanita itu menangis dan terus berteriak dengan mata yang merah pekat. Merah? Ada apa dengan Miranda? Batin Alessa