Toward a Fact 1

"Aww—"

"Ma—maafkan aku—"

"Mahesa!"

"Miranda!"

Seru keduanya berbarengan. Mahesa membantu Miranda berdiri. "Apa ada yang sakit? Maafkan aku, tadi aku sedang menelpon, jadi tidak terlalu fokus dengan keadaan sekitar."

Umpatan yang siap dilontarkan Miranda, seketika lenyap di telan angin, karena yang menabraknya tadi adalah Mahesa. Pria dambaannya selama ini.

"Bukan sepenuhnya salahmu, aku juga terlalu tergesa-gesa tadi, " ucapnya dengan sebuah senyum.

"Nanti akan ku hubungi lagi," ujar Mahesa kepada seseorang di ujung telepon.

"Kau sendiri?" tanya Mahesa sambil menyimpan ponsel kedalam saku.

"Dengan siapa lagi? Kau sendiri sudah ingin pulang?"

"Tadinya memang aku ingin pulang. Tetapi tidak jadi, karena ada sesuatu yang ingin ku tanyakan padamu."

"Hm, tentang apa?" tanya Miranda was-was.

"Sebaiknya kita masuk dulu! Bicara di dalam. "

"Oh, baiklah," keduanya masuk ke dalam cafe, Mahesa yang tadinya ingin pulang, jadi tidak jadi, karena ingin menanyakan sesuatu hal yang mengganjal pikirannya.

"Sebaiknya kita memesan minuman dulu."

Miranda mengangguk sebagai jawaban, dan melihat buku menu.

Setelah mengucapkan pesanan kepada pelayan, Mahesa memulai percakapan kembali.

"Bagaimana kabarmu? sudah lama kita tidak bertemu ya," tanya Mahesa berbasa-basi, karena tidak enak jika harus bertanya langsung ke inti.

"Seperti yang kau lihat. Kau sendiri?" tanya balik Miranda sambil memperhatikan Mahesa dan berhenti pada tangan kanannya yang terbalut perban. "Tanganmu kenapa?" tanya Miranda lagi, yang kini sudah memasang mimik wajah khawatir.

"Oh, ini," tunjuk Mahesa ke arah balutan perban. "Sebenarnya aku sedikit bingung menceritakan ini."

"Tidak usah cerita jika memang kau bingung," ujar Miranda sambil tersenyum hangat.

"Kau mempunyai sepupu bernama Edgar?"

"Hm, iya," jawab Miranda kaku seperti robot.

Miranda membenarkan posisi duduknya, karena atmosfir di sekitar mendadak berubah.

"Apa kau tahu bahwa selama ini Alessa tidak pergi ke Boston?"

"Hm, tidak. Aku tidak tahu tentang itu," jawab Miranda yang jelas-jelas berbohong.

Mahesa menghela napas gusar, "Katakan pada sepupumu itu, jangan pernah mendekati Alessa lagi. Aku tidak suka cara dia menatap pacarku."

"Kau pernah bertemu dengan nya?" tanya Miranda hati-hati. Jujur hatinya terasa sakit ketika mendengar Mahesa menyebut kata pacarku.

"Tentu saja, luka di tanganku ini di sebabkan oleh sepupumu itu," gerutu Mahesa.

"Apa maksudmu, kau berkelahi dengannya?"

"Hm, aku memukulnya dua kali, dan anehnya tanganku yang merasa kesakitan. Aneh, bukan? "

Tentu Miranda tidak heran, karena ia tahu bahwa Edgar adalah seorang vampir.

"Aku heran, sebenarnya ia manusia atau bukan. Sangat aneh," cibir Mahesa.

Miranda berdehem karena merasa canggung, dan tidak lama pelayan datang membawakan minuman. Miranda meminum pesanannya. Sedangkan Mahesa menatap minuman bersodanya dengan intens.

Mahesa mengambil es batu di dalam minumannya dengan sendok.

Dan mengangkat sejajar dengan wajah. "Kau tahu rasa pertama yang ku rasakan saat menyentuh kulit pucatnya," Mahesa memindahkan es batu ke atas telapak tangan kiri dan menggenggamnya dengan erat, "Dingin seperti es. Bahkan lebih dingin dari ini."

Miranda tersenyum kaku di tempat, bingung harus menanggapi seperti apa. "Bahkan aku tak merasa apa pun saat menyentuh air panas yang mendidih. Dan konyolnya lagi saat aku membawa ke dokter, dokter mengatakan bahwa aku memang baru saja memukul bongkahan es." Mahesa meletakkan es batu ke atas meja.

Miranda semakin gelisah di tempat.

"Sebenarnya, siapa sepupumu itu?" tanya Mahesa serius.

"Hanya manusia biasa, sama seperti kita."

***

"Bisakah kau carikan bahan-bahan ini di sebelah sana!" tanya Alessa sambil menyerahkan daftar belanjaannya. Edgar mengangguk pasrah. Jika bukan Alessa yang memintanya, tentu ia tidak akan mau. Yang benar saja seorang vampir berbelanja. Ini akan menjadi sejarah.

Sekarang mereka berdua tengah berada di pusat perbelanjaan. Alessa membeli bahan-bahan kebutuhan di rumah.

Dengan pasrah Edgar melangkahkan kaki ke tempat buah dan sayur, ia membaca daftar yang tertulis, beberapa sayur dan buah yang tentunya tidak ia ketahui, membuatnya kesulitan dan terpaksa harus bertanya.

Edgar memanggil salah satu penjaga di sana. Seorang wanita datang menghampiri.

"Tolong carikan semua bahan-bahan yang ada di daftar ini!"

Wanita itu mengangguk dan dengan cepat memasukkan buah dan sayur kedalam troli.

"Ada tambahan, sir?" tanya wanita itu, yang sudah selesai memasukkan buah dan sayur.

"Sudah semuanya?"

Wanita itu lagi-lagi mengangguk. Edgar balas memberikan anggukan dan berjalan sambil mendorong troli ke tempat Alessa berdiri yang sedang kesulitan meraih sebuah sirup.

Dengan sigap Edgar mengambilkan sirup itu dan memasukkannya kedalam troli yang dibawa Alessa.

"Kenapa tidak meminta bantuan orang lain jika memang tidak bisa mengambilnya?"

Alessa menatap kesal kearah Edgar lalu beralih menatap troli yang di bawa Edgar. "Cepat sekali."

"Aku memang cepat, tidak sepertimu yang sangat lambat," ejek Edgar.

Alessa memajukan bibirnya dengan kesal lalu berjalan mundur, sampai tubuhnya membentur rak di belakang yang berisi sirup-sirup dan saus, isi rak bagian atas bergerak ekstrim. Salah satu botol sirup jatuh menimpa botol lainnya.

Dengan sigap Edgar merengkuh badan Alessa yang posisinya tepat di bawah botol sirup yang hampir jatuh itu.

Suara pecahan botol terdengar nyaring ketika menyentuh lantai, beberapa jatuh di atas punggung tegap Edgar. Alessa tentu tidak merasa kesakitan karena Edgar telah melindunginya.

Beberapa botol pecah berserakan di lantai, disertai cairan merah kental yang mengotori lantai, beberapa pelayan datang menghampiri.

Sedangkan keduanya masih setia di posisi mereka berdiri. "Kau tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?" tanya Edgar cemas.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu."

"Tenang, aku baik-baik saja, " jawab Edgar dengan santai meski punggungnya penuh dengan sirup berwarna merah.

"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" tanya seorang pelayan wanita.

"Maafkan kami, kami akan mengganti semua kerugian," jawab Alessa dengan rasa bersalah.

Edgar menggenggam tangan Alessa. "Saya yang akan mengganti semua kerugiannya."

***

Akibat sebuah drama-drama yang terjadi di tempat perbelanjaan, mereka harus menunggu berjam-jam menunggu sang pemilik toko datang. Alhasil Alessa pulang ke rumah dengan tergopoh-gopoh menenteng beberapa kantung belanja. Ia sangat lelah.

Edgar hanya mengantarnya pulang di depan gerbang, setelah itu lelaki itu langsung pergi, sungguh tidak ber-perikemanusiaan.

Alessa meletakkan semuanya di atas meja, setelah itu ia langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya berada. Alessa sudah mendamba-dambakan kasur empuk miliknya, pasti sangat nyaman.

Setelah berada di kamar Alessa membuka lemari, hendak mengganti pakaian, ketika mengambil salah satu baju yang terlipat di bagian bawah sebuah kalung jatuh kelantai.

Kalung itu adalah kalung yang ia sembunyikan dari Edgar pada malam itu. Seketika Alessa langsung teringat dengan kotak yang ada di bawah tempat tidurnya.

Membawa kalung itu mendekati kasur dan mengambil kotak di bawah tempat tidur, lalu meletakkan kedua barang tersebut di atas kasur berdampingan. Batu rubi di kedua benda mati itu sama-sama bercahaya, cahaya yang sama ketika Alessa pertama kalinya menemukan kotak itu.

Kotak dan kalung itu seperti saling terhubung. Alessa mengambil kalung itu lalu mengarahkannya di atas kotak persis di atas batu rubi pada kotak, seketika cahaya terang merambat di penjuru ruangan, menyilaukan mata Alessa, Hingga mengharuskannya menutup mata.

Setelah cahaya itu meredup, Alessa membuka matanya dan langsung terkejut, karena kotak itu terbuka dengan sendiri. Di dalam kotak itu terdapat sebuah buku tua dan sebotol cairan berwarna hijau seperti botol ramuan.