Ketika hari telah malam di Manhattan, Sean berniat pergi ke penthouse setelah urusannya dengan Fedrick selesai. Hanya saja, karena kejadian 'suster tak kasat mata' yang Mio ungkap, membuat lelaki paruh baya itu enggan membiarkan keduanya pergi. Fedrick tidak memiliki penginapan di Manhattan. Apartemen minimalis miliknya berada di daerah New York. Karena jaraknya yang jauh, rumah sakit telah menyediakan kamar untuk Fedrick sebagai tempat istirahatnya bersama dengan dua asistennya. Namun malam ini kedua asistennya John dan Mike memiliki tugas di luar kota. John harus kepangkalan penelitian kesehatan melaporkan perkembangan penemuan obat. Sedangkan Mike mengurus beberapa hal untuk persiapan seminar di universitas Columbia.
"Mio, kamu tidak tertarik dengan buku - buku penelitianku? Itu sangat mahal diluar. Tapi disini kamu bisa membacanya gratis!"
"Ha-ha." Mio tertawa canggung. Mio tahu bahwa Fedrick menawarkan buku berharganya hanya karena dia ingin Mio tinggal disini menemaninya. Terus terang Mio tertarik. Buku Fedrick tidak hanya di bidang bedah, namun beberapa risetnya juga merupakan hal yang berkaitan dengan kondisi kejiwaan pasien pasca operasi dan sebelum operasi. Namun melihat sosok yang membuntuti Fedrick, dan kepala hantu yang terus-menerus menggelinding di sekitar ruangan ini membuat Mio seratus persen yakin menolak untuk tinggal.
"Terimakasih dokter."
"Panggil aku uncle Fedrick."
"Ya uncle Fedrick. Tapi saya menurut apa kata Sean."
"Hm?" Sean menaikkan alisnya menatap Mio. Gadis ini melempar semuanya padaku.
Karena jawaban Mio, kini Fedrick beralih merayu Sean tanpa malu.
"Tinggalah disini. Aku akan membuatkan ramuan tidur terbaik. Delapan puluh persen dengan efek samping kecil."
Sean tersenyum, " maaf Uncle, saya sudah memilikinya. Jauh lebih baik. Dan lagi, Miss Han mengalami sakit pencernaan sehingga tidak bisa melakukan perjalanan kesini. Aku harus pergi ke penthouse. Mungkin Mio mau tinggal disini?"
"Tidak mau!" Mio reflek menggeleng kencang.
"Aku akan mengobati Miss Han. Jadi tidak mungkin tinggal disini. Ya kan?" Mio memasang wajah memelas pada Sean.
Niat awalnya Mio ingin dirinya terlihat imut. Namun jawaban Sean selanjutnya membuat Mio ingin menyumpalkan sepatu hils nya di mulut Sean.
" maaf, kucingku tidak mengalami gangguan mental." Datar-singkat- dan praktis membunuh percakapan. Namun bukan Mio jika tidak bisa menjawab meski dengan jawaban absurd.
"Organ pencernaan itu dapat dipicu tingkat stres. Itu telah di teliti di Camberg oleh lewis John meneth."
"Pada hewan?" Tanya Sean.
Mio pura-pura batuk dan menjawab penuh percaya diri, " penelitian seratus persen masih pada manusia. Untuk hewan masih on going."
"Maaf?"
"Ya itu! On going! Menunggu aku untuk menelitinya."
Percakapan keduanya berlanjut dan pihak yang paling menderita adalah Philip. Tuan, nona, tolong...bisakah kalian menghentikan percakapan absurd kalian? Miss Han diare karena salah makan. Kenapa CEO tidak langsung menjawab seperti itu? Dan nona Mio, Bahkan kucing pun tau, mereka tidak akan stres dipelihara oleh CEO dengan segala kemewahan. T_T. Namun kata-kata itu semua hanya bisa ditelan Philip tanpa berani mengungkapkan.
"Kalian...tolong..." Fedrick menangisi kemalangannya. Demi Tuhan! Dia diikuti oleh mahluk yang tidak bisa dilihat, dan kedua orang di depannya bahkan lebih mencemaskan gangguan pencernaan seekor kucing daripada kondisi psikisnya?
"Oh god! Bagaimana bisa kalian meninggalkan pria tua sepertiku sendirian?" Fedrick memelas. Karena melihat sosok setia disamping Fedrick, Mio otomatis mengoreksi.
"Sebenarnya uncle, kamu tidak sendiri."
"Siapa yang menemaniku?"
"Itu." Menunjuk ruang kosong disamping Fedrick, Mio melanjutkan.
" dia bukan mahluk jahat. Percayalah dia sangat cantik jika menyamar kalau aslinya...no comment. Yang baik adalah dia setia mengikuti anda uncle."
Fedrick memasang tampang kesal dan berkata," jika kalian tidak tinggal, maka cepatlah pergi. Aku tidak mau mendengar hal-hal seperti itu."
***
Guan Imperal
At 2 pm.
Di sebuah ruang pertemuan, dengan Lincolt yang menjadi pemimpin tiga orang duduk di belakangnya. Ini bukan pertemuan resmi. Selain Lincolt, hanya ada Lupin ayah Sean, Miranti Nares dan Yuto.
"Aku tidak menyangka kamu juga datang." Yuto memainkan cangkir porselen arabicca miliknya.
Miranti tersenyum kecil, "jangan berpikir jauh. Aku hanya datang untuk mayat Grace."
"Kamu masih saja berwajah seribu."
Memamerkan senyum ramah Miranti menjawab," bukankah ini berarti aku memang keturunan lelaki itu?"
Merasa suasana mendadak mendingin, Lincolt berdehem untuk mengalihkan perhatian mereka. Lincolt tidak mengerti hubungan keduanya. Namun sebagai penatua Guan, Lincolt dapat melihat bahwa keduanya bukanlah orang yang sembarang bisa dia singgung meski di mata umum mereka terlihat sederhana.
"Terimakasih atas kedatangan kalian. Hari ini saya akan membicarakan beberapa hal pada kalian. Pertama mengenai mayat Grace." Lincolt memberi isyarat Lupin untuk maju. Lupin mengerti, dengan tabletnya, dia menyalakan layar LCD. Menampilkan sebuah rekaman di rumah sakit. Itu bukan hal aneh. Ada orang lalu lalang dan sedikit orang yang masuk ke beberapa ruangan. Namun ketika Lupin mempercepat video hingga menit ke tiga luluh tiga, pandangan Miranti mulai berubah. Begitupun dengan Yuto.
Itu tidak lain adalah rekaman tentang seorang lelaki muda berambut perak yang memasuki ruang mayat. Rekaman itu berputar hingga lima belas menit sebelum lelaki itu keluar. Pakaian lelaki itu mencolok. Dia memakai pakaian barat klasik. Dengan penampilan wajah yang terpahat diatas rata-rata sulit bagi setiap orang mengabaikannya. Namun anehnya, tidak ada satupun orang yang memperhatikannya bahkan perawat, petugas dan dokter meskipun mereka berpapasan. Mereka terlihat tak acuh Seolah dia tidak terlihat. Rekaman terus berlanjut saat Lupin membuka suara.
"Ini rekaman kemarin saat kami melakukan inpeksi keamanan rutin. Hal ini baru disadari oleh petugas keamanan setelah melihat rekaman. Mereka mengaku kaget dengan orang yang masuk ke ruang jenazah. Tidak ada satupun dari petugas maupun dokter yang mengaku melihat mereka. Dapat dilihat," Lupin menunjukkan seorang perawat yang berpapasan dengan lelaki itu. Dia tampak berjalan biasa saja.
"Perawat itu bernama Mina. Ketika kami menanyakan tentang rekaman itu, dia mengaku terkejut. Karena sepengetahuannya dia tidak merasa melihat lelaki itu meski dalam rekaman dia berpapasan. Beberapa orang yang perpapasan telah kami tanya dan jawaban mereka sama." Lupin mengakhiri penjelasannya. Membawa kembali tabletnya, Lupin kembali duduk.
"Setelah rekaman tersebut diketahui, kami melakukan pengecekan pada Grace. Seperti yang kalian ketahui bahwa ruangan itu memang hanya untuk Grace. Dan ketika kami melihat mayatnya kami menemukan hal ganjil..."
Bunyi kayu berbentur dengan marmer menghentikan perkataan Lincolt. Itu adalah Miranti yang mendorong kursinya dan berdiri.
"Aku harus melihat mayat anakku."
Lincolt terkejut. Pandangan Miranti tidak lagi terlihat seperti wanita muda yang ramah yang dia kenal. Pandangan wanita itu tampak dingin dan misterius dibalut kecemasan.
"Saya juga." Yuto ikut berdiri.
Melihat dua orang itu berdiri dengan niat yang sama, Lincolt tidak lagi bersikeras.
"Baik. Saya akan menyiapkan mobil. Masalah selanjutnya akan saya bahas mungkin dilain hari. Kita akan ke rumah sakit sekarang." Lalu Lincolt beralih memandang Lupin.
"Lupin, mintalah dua mobil untuk kita."
"Baik ayah."
"Mari kita keluar." Linclolt sopan mengantar keduanya. Dalam hal ini, Lincolt merasa dirinya lebih rendah bahkan oleh lelaki dan wanita yang berada di generasi anaknya. Entah kenapa Lincolt merasa dua orang ini bukanlah orang biasa. Terlalu banyak hal yang tersembunyi diantara keduanya. Setiap kali bertemu keduanya, Lincolt selalu merasa ada sesuatu yang mengawasinya tajam. Dan lagi, berapa kali hal ganjil diluar logika ini menimpanya?
Berjalan di belakang Lincolt, Yuto memandang Miranti dengan ekspresi rumit.
"Bicaralah jika ada hal yang ingin kamu katakan. Aku benci tatapanmu." Seolah mengerti pandamgam Yuto, Miranti berkata tanpa menoleh.
"Apa kamu sudah mengetahuinya?" Suara Yuto lirih. Berusaha membuatnya tidak terdengat Lincolt didepannya.
"Apa maksudmu?" Miranti pura-pura bingung. Sangat ketara. Membuat Yuti mengerutkan kening merasa dirinya diejek.
"Kenapa kamu menyembunyikan fakta ini dari kami? Oh bukan kami tapi aku. Ayah sudah mengetahui hal ini?"
Miranti menghentikan langkahnya. Memandang Yuto seolah dia bodoh.
"Jika kamu tahu lalu apa? Kamu ingin menawarkan bantuan melindungi putriku yang mewarisi darah 'tak pernah tua' dari lelaki tua itu? Kamu bahkan bersembunyi disini untuk melindungi anakmu jadi jangan naif menawarkan bantuan pada kami."
Mendengar hal itu dari adiknya, ekspresi Yuto menjadi gelap.
"Berhentilah menyalahkan kami Nares. Sekarang aku tahu kenapa ayah menemui Grace. Kenapa Grace memilih mengakhiri hidupnya. Nares, kamu tahu kutukan apa yang akan diterima Grace jika dia hidup. Dan kamu masih gila membawanya kesini?"
Sama halnya dengan Yuto, Nares tidak bisa tidak mengertakkan giginya menahan amarah.
"Saat itu, aku bahkan membenci diriku yang tidak bisa melindungi ayah Grace. Lalu apa yang dilakukan lelaki tua itu? Dia hanya mengatakan hal itu adalah takdir? Lalu Grace...dengan darah terkutuk itu, dia ingin mengurung anakku di tempatnya? Apa kamu pikir hatiku terbuat dari batu? Aku juga sama sepertimu!" Tanpa sadar Miranti meninggikan nadanya.
"Aku juga sepertimu mencintai anakku! Berbeda denganmu yang bisa mendapatkan lebih dari satu anak, aku tidak! Aku hanya memiliki Grace!Aku ingin dia seperti Mio yang bisa bebas! Aku ingin dia dapat berjalan tanpa berpikir bahwa dia berbeda! Kenapa kita dilahirkan dari seorang yomeisei? Kenapa hanya aku yang menerima kutukan?" Jejak-jejak air mata terlihat di sudut kedua mata Miranti. Dadanya naik turun dengan nafas menderu menahan emosi.
Miranti sadar, dia menyadari bahwa dia telah menyebabkan perhatian beberapa pelayan dan Lincolt. Menstabilkan nafasnya, Miranti berbalik lalu berjalan dengan mengangkat dagu berjalan secara elegan. Seolah yang baru saja terjadi tidak pernah ada.
Ditinggalkan Miranti, Yuto termenung. Jejak penyesalan terkihat di wajahnya. Pandangan Yuto semakin rumit. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Tidak lama Yuto kembali melangkah. Tangannya sadar merogoh ponsel di saku celananya. Yuto berpikir sejenak, dengan dua belas jam selisih waktu Indonesia-New York, bukankah berarti Mio tengah tidur saat ini? Tapi Yuto merasa dia tidak bisa menunggu hingga nanti.Membuka aplikasi Line dia mendial akun anaknya-Mio.
"Mio."
***
New York
Guan Penthouse Mellian
At 1 pm NYT
Tiga jam perjalanan Manhattan - New York membuat badan Mio terasa pegal-pegal. Melirik manusia disampingnya, Mio lagi-lagi mengutuk dalam hatinya. Bayangkan saja, dia nyaris tidak beristirahat bahkan dengan jetlag yang menyerangnya. Ini semua karena Sean! Lelaki ini...Mio ingin sekali menghantuinya untuk balas dendam. Terlepas dari penderitaan Mio, duduk di samping Sean memainkan tab ditangannya. Ada diagram kurva naik dan turun di dalam layar. Mio tidak mengerti tapi menebak mungkin itu adalah laporan tentang inflasi, untung dan modal?
Molla...aku tidak mau memikirkannya!
Masih di dalam mobil, ini sudah pukul satu dini hari ketika mobil berhenti di depan gerbang penthouse keluarga Guan. Pintu gerbang terbuka secara otomatis ketika driver menekan remot kecil dari sakunya. Mio terpana.
"Wuah! Tehnologi apa ini? Sangat canggih! Berapa dana yang dibutuhkan untuk pintu otomatis?"
"Dengan gajimu saat ini butuh enam tahun untukmu membuatnya. Dan jika kamu menjadi PNS cukup empat tahun. Tentu saja jika kamu melupakan makan dan minum menggunakan gajimu."
Wajah Mio langsung menggelap.
" Sean, sebagai psikiater aku menyarankan kamu tidak berbicara selain bisnis atau banyak orang akan membunuhmu bahkan untuk sebuah lelucon."
"Ya?" Meninggalkan Tabletnya Sean melihat Mio bingung. Dari ekspresi bingung di wajah datarnya, Mio tidak bisa tidak mendesah frustasi,
"Beberapa orang terlahir dengan bakat lidah pisau." Mio mendesah lagi. Melihat bagaimana mata Sean penuh tanda tanya, Mio menyimpulkan bahwa jawaban Sean barusan adalah murni bukan ejekan. Tapi benar-benar sebuah jawaban.
"Hm?"
"Lupakan saja. Aku ngantuk." Mio memalingkan wajahnya. Tidak sanggup melihat wajah Sean atau dia akan kelepasan mencakar wajah itu--karena kesal. Dengan mobil bergerak masuk kedalam Penthouse, Mio mengamati suasana penthouse dengan senang.
Bangunan Penthouse itu lebih bergaya modern yang elegan. Tidak ada patung, hanya ada pos petugas keamanan di ujung gerbang, jalan setapak dan kanan kiri sepanjang jalan adalah sebuah taman. Tapi Mio tidak bisa melihat jelas jenis bunga apa yang di tanam di taman itu karena gelap. Lampu hanya dipasang di ujung gerbang dan di depan teras. Hanya ada cahaya remang untuk melihat taman.
Ketika mobil berhenti, supir keluar dahulu lalu berjalan untuk membukakan pintu mobil. Sean keluar terlebih dahulu disusul dengan Mio. Begitu keluar, Mio dapat dengan jelas melihat betapa mewahnya bangunan di depannya.
Orang kaya memang beda ya? Mio tidak bisa membantu bahwa hatinya merasa iri.
"Ayo masuk."
"En." Mio mengangguk. Tau apa hal pertama yang dilakukan Mio saat berjalan menuju pintu?
INPEKSI!
Percayalah, tidak ada rumah mewah yang terlepas dari mahluk yang orang bilang mahluk astral. Berhubung energi spiritual Mio yang selalu menarik perhatian mahluk astral, Mio menjadi waspada terhadap rumah besar yang baru ditemuinya. Apalagi pengalaman hantu di rumah sakit, Mio sadar bahwa hal-hal seperti itu di berbeda negara maka mereka juga berbeda. Mio merasa mahluk astral disini jauh lebih kuat dan agresif. Dendam terlalu kuat. Dan penyamaran mereka juga nyaris sempurna.
Mio melihat sekelilingnya. Beberapa mahluk halus yang memang terlahir untuk menjadi mahluk halus (jin) memang banyak berkeliaran di halaman penthouse. Tapi mereka lebih bisa dikategorikan tidak peduli. Bagi mereka, energi spiritual Mio hanyalah sebuah makanan. Berbeda dengan roh atau roh yang telah menjadi hantu. Hantu membutuhkan energi Mio untuk bertahan di dunia. Karenanya mereka lebih agresif pada Mio.
Karena mengamati sambil berjalan, Mio tanpa sadar menempatkan tangannya di ujung jas belakang Sean. Awalnya Mio tidak menyadari kenakalan tangannya. Barulah ketika Sean berhenti di depan pintu masuk, Sean menyadarkannya.
"Apa kamu melihat sesuatu?"
"Hm? Apa?" Mio mendongak. Menemukan wajah Sean yang menatapnya. Tiba-tiba Mio merasa malu. Buru-buru menunduk namun Mio justru lebih malu karena melihat tangannya di ujung jas Sean. Mio langsung menarik tangannya kembali.
"He he...maaf tidak sengaja."
Sean tidak peduli dengan hal itu dia kembali bertanya, "katakan. Apa kamu melihat sesuatu?"
"Oh itu... ya mereka ada. Tapi jangan kawatir. Sejauh ini mereka bukanlah mahluk yang berbahaya."
Sean mengangkuk. Wajahnya terlihat biasa. Namun dalam hati, Sean merasa tubuhnya lebih berat. Tanpa sadar mundur selangkah untuk sejajar dengan Mio. Melihat Mio menatapnya, Sean dengan gugup menjawab dengan nada datar.
"Aku bukan takut. Ini karena aku menghargai tamu."
"Hm? Apa maksudnya bicara begitu?" Mio memandang heran pada Sean. Namun Mio tidak lama memperdulikan hal itu. Karena Sean membuka pintu penthouse seorang diri, perhatian Mio teralihkan untuk bertanya,
"Kenapa kamu membuka sendiri? Apakah tidak ada pelayan?" Dalam bayangan Mio, keluarga Guan adalah keluarga yang mirip dengan ikon keluarga chaebol bak drama korea. Dimana memiliki penthouse dengan belasan pelayan. Mereka akan menyambut Sean berjejer di depan pintu. Namun kenyataannya saat ini? Jangankan manusia, bahkan jangkrik pun tidak terdengar. Justru Mio menemukan beberapa mahluk astral yang melayang disana sini.
"Supir di garasi. Philip akan segera datang setelah mengurus beberapa hal. Dan saat ini dini hari. Pelayan tentu saja butuh istirahat."
Mio menoleh pada Sean lalu berpikir, "kamu tau pelayan utuh istirahat. Tapi kamu masih membiarkan Philip dan bodyguard bekerja sampai dini hari?"
Membuka pintu, Sean membimbing Mio masuk.
"Philip berbeda. Gajinya sepuluh kali lipat dari pelayan dan beberapa bonus bahkan melebihi gaji insinyur. Wajar tanggung jawabnya juga lebih."
"Dia bisa membaca pikiranku?!" Mio memasang wajah horor ketika melihat Sean. Untung saja lelaki itu tidak melihat ekspresi Mio. Jika melihat, Sean pasti akan memuntahkan kata 'bodoh' pada Mio.
Begitu masuk, Mio langsung merasa udara hangat karena penghangat listrik. Menyapu sekelilingnya dengan ekor matanya, Mio melihat beberapa funitur klasik dan mordern yang mengisi ruang tamu. Lebih jauh lagi semua warna di ruangan ini do dominasi warna emas dan hijau. Sangat kontras tapi terlibat cocok.
"Beberapa pelayan di transfer sementara. Besok akan ada pelayan dan tukang kebun baru yang resmi bertugas." Sambil berjalan di depan Mio,Sean menjelaskan.
Mio menganggukkan kepalanya dan ber-oh- ria.
"Kamar ada di lantai dua. Lantai satu adalah kamar pelayan. Sementara ini diisi oleh bibi Marry dan anaknya dan satu lagi pelayan senior. Sedangkan lantai atas akan ada pelayan tambahan untuk mudah pemanggilan ketika malam. Jika butuh sesuatu kamu dapat menemui pelayan di lantai atas saat malam."
"Wah..."
Mengikuti Sean, Mio menaiki tangga menuju lantai dua.
"Lalu dimana kamarku?" Tanya Mio. Sean tidak menjawab. Namun lelaki itu terus berjalan hingga ujung tangga atas. Melewati lorong yang dihiasi lukisan gaya metro dan abstrak di paku di dinding dan berhenti di depan pintu bercat emas.
"Ini." Sean membuka pintu kamar . Lalu Mio dibuat kagum dengan desain interior kamar. Kamar itu luas. Namun isiannya masih sedikit. Hanya ada kasur king size dengan ukiran naga dan phoenik, satu lemari tiga pintu, meja rias. Dan kamar mandi di dalam. Dengan jendela kaca besar hampir seperti dinding yang tertutup gorden berwarna kuning.
"Ini kamarku? Wah! Dimana koperku? Aku ingin mandi!" Tanpa menghiraukan Sean, Mio langsung menyerbu masuk untuk melihat bagaimana kamar mandi kamar.
"Semua pakaianmu sudah ditata rapi oleh pelayan. Ada di almari pintu kiri." Sean menjawab tenang. Entah Mio mendengar atau tidak. Sean maju untuk membuka jas nya dan duduk di tempat tidur. Memperhatikan kelakuan heboh Mio di depan pintu kamar mandi.
"Jacuzzi, shower, bak, peralatan mandi baru, wah! Sempurna!" Mio ingin menangis kesenangan ketika melihat betapa lengkapnya kamar mandi Sean. Itu sangat menajubkan. Bagaimanapun Mio adalah gadis yamg mencintai mandi. Di rumahnya, hanya ada bak mandi dan ofuro yang terbuat dari kayu untuk berendam. Itu saja harus berebut dengan Riou. Sekarang kamar mandi lengkap ini hanya menjadi miliknya seorang!
Itu adalah pemikiran Mio seorang diri. Namun lagi-lagi kata-kata Sean selanjutnya menghancurkan kesenangan Mio.
"sekarang kamu boleh ke kamarmu. Karena aku ingin segera tidur."
"Aku tidur disini."
Doeng...
Respon Mio agak lambat. Berbalik untuk melihat Sean. Lelaki itu duduk di ujung tempat tidur dengan hanya mengenakan kemeja putihnya yang terbuka dua kancing atas dan celana hitamnya. Lalu ketika sadar apa yang dikatakan Sean, Mio langsung melotot berteriak penuh energi.
"Apa maksudmu?!!"
***
Setengah jam lamanya Mio berdebat dengan Sean. Lebih tepatnya Mio terus mengomel tentang bagaimana buruknya moral Sean yang menintutnya untuk tidur bersama. Mereka belum menikah namun Sean sudah ingin tidur satu kamar dengannya. Namun ocehan itu segera berhenti ketika Mio mendengar notifikasi khusus dering sms banking di ponselnya. Memberi jeda, Mio melihat ponselnya hanya untuk mendapati pesan.
Tranfer rekening BGA senilai 2.000.000 dari Guan Osean O'neil...
Wajah sebal Mio langsung berubah ceria.
"Ah? Kamu ingin tidur disini? Tentu saja...aku akan menjamin tidurmu nyenyak. Sangat nyenyak. Sekali tidur dua juta kan? He he...yang kemarin tidak dihitung?"
Sean menaikkan alisnya. Sungguh, Mio adalah gadis pertama yang paling mudah bahagia dan merubah ekspresi karena kecintaannya pada uang.
Dan akhirnya perdebatan itu dimenangkan oleh Sean. Dengan bergandengan tangan, mereka jatuh tidur malam itu. Tidak ada perasaan apapun seperti di dalam film. Karena pada kenyataannya, saat kamu lelah, kamu bahkan akan mengabaikan lapar. Apalagi emosi lain selerti berdebar atau cinta? Itu kenyataan!
Mio merasa dia baru tidur sebentar ketika Mio me dengar nada dering ponselnya berbunyi. Enggan membuka mata namun Mio tetap bangun. Saat akan bangun, Mio merasa perutnya terasa dililit sesuatu. Pertama kali Mio kaget. Namun setelahnya Mio tersadar akan perjanjian semalam.
Mengamati betapa lelapnya Sean tidur bahkan tidak mendengar suara ponselnya, Mio mencibir sekaligus bangga.
"Lihat? Kamu tidur dari insomia akut menjadi babi gemuk yang pulas. Itu karena kehebatanku!" Tapi Mio tidak bisa berlama-lama membanggakan diri karena suara dering ponsel yang terus berbunyi. Melihat layar ponsel, ini jam dua pagi disini. Orang yang menelepon jelas tahu kalau disini dini hari bukan? Mio tidak bisa membantu untuk mengerutkan kening, "papa?"
Menekan tombol jawab, Mio mendekatkan ponsel di telinganya sambil duduk dengan perut masih dilingkupi oleh tangan Sean.
"Halo papa?"
(Mio.) Terdengar suara papanya di seberang.
***