1 Minggu kemudian.
Kirana POV.
Aku melemparkan tubuhku diatas kasur, ponselku kuletakkan dengan sembarang. Beberapa menit lalu, aku baru saja selesai chatting dengan Sofie. Ia bilang bahwa ia dan Karel kini sudah jadi sepasang kekasih. Sofie juga sudah diterima bekerja di salah satu rumah sakit di Leiden. Meskipun begitu ia tetap mendukung Karel. Rencananya mereka akan membuka cabang restoran baru dengan menu yang sehat. Menggabungkan minat Karel pada bidang masak dan Sofie yang memang seorang Dokter itu.
"Huh..." Jika Sofie saja sudah mendapatkan pekerjaan, mendapatkan kekasih, menemukan kebahagiaannya. Lalu bagaimana dengan aku?. Padahal sudah seminggu sejak aku kembali ke Bogor tapi aku masih tidak melakukan apapun.
aku hanya membantu Mama untuk membersihkan tanaman, membersihkan rumah dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil lainnya.
Lama-kelamaan aku mulai bosan dengan kegiatanku sehari-hari. Aku akan mencari pekerjaan.
Maka malam itu aki menyampaikan keinginan ku pada ibu.
"Bu, aku mau kerja" aku menyandarkan kepala ku di bahu ibu.
" Ya itu terserah kamu Na, yang kamu lakuin ibu bakal mendukung kamu" aku tersenyum manis mendengarnya.
keesokan harinya aku mulai pergi menjelajahi kota Bogor melihat setiap rumah sakit yang kira-kira butuh bantuan ku, pergi dari rumah sakit satu ke rumah sakit yang lainnya. Interview, ditolak, putus asa, interview lagi, ditolak lagi, putus asa lagi, begitu seterusnya. Kebanyakan tidak ada lagi lowongan pekerjaan untukku. Sampai akhirnya.....
:::
Dokter itu melihat map milikku dengan Teliti. Kacamata nya menambah kesan berwibawa pada dirinya. Aku masih saja memegang ujung rok ku dengan kencang, takut menerima penolakan untuk yang kesekian kalinya.
"Huhhh" ia menghela nafas panjang, menutup map milikku dan menaruhnya di samping. Keringat ku mengucur semakin deras, jika ini akan jadi penolakan lagi aku tidak tau lagi harus mencari kemana.
"Selamat ya ibu Kirana Anda diterima bekerja di sini" Aku tidak percaya apa yang dikatakan oleh dokter itu.
"Serius pak?" Ia mengangguk pasti membenarkan bahwa aku itu memang tidak salah dengar.
"Terima kasih ya pak saya tidak akan mengecewakan bapak" aku menjabat tangan kepala Rumah sakit itu. Dokter Irawan. Itulah namanya.
"Sama-sama bu, saya juga berharap kita bisa bekerja sama. Ibu bisa mulai bekerja besok hari" ia membalas jabatanku erat seraya tersenyum padaku. Meskipun ia sudah berumur tapi Dr. Irawan masih terlihat bugar.
Aku pulang dengan senyum yang mengembang. Tapi sebelum masuk ke arah rumahku. Aku melewati blok rumah Raka. Ada rasa ingin pergi ke rumahnya, tapi aku mengurungkan niatku dan tetap berjalan.
"Buu" panggilku. Kulihat ibu masih sibuk dengan tanaman nya. Minat ibu sejak dulu, dan sepertinya ibu mulai berbisnis tanaman hias. Kadang juga aku melihatnya sedang sibuk berbincang dengan beberapa langganan nya.
"Ada apa na? ibu sedang di halaman" jawabnya.
"Na diterima kerja Bu, Na di terima kerja di salah satu rumah sakit di Bogor, yang di pusat kotanya nya itu loh bu. Dan mulai besok Na bisa langsung kerja disana" aku menceritakan nya dengan semangat.
Mata ibu berbinar mendengar ucapanku.
"Beneran Na? ya ampun ibu senang banget" ia memelukku erat.
"Do'a kan Na ya bu" ucapku.
"Pasti dong" ia tertawa kecil.
:::
Aku masih saja berputar-putar di depan cermin memastikan bahwa jubah putih ini benar-benar bersih dan pas di badanku, name tag bernama Kirana Anastasia menempel sempurna di bagian sebelah kiri. Aku kembali menyisir rambutku, memakai sedikit lip tint dan polesan bedak, mengambil tas kerja lalu berangkat ke rumah sakit. ini adalah hari ketiga aku bekerja, awalnya aku ragu tapi karena aku masih baru jadi belum ada pasien yang harus aku tangani. Kudengar hari ini ada seseorang yang akan menjadi pasien baruku. Karena Aku bekerja di bagian saraf sepertinya pasienku ini mengalami gangguan saraf. Entahlah aku masih belum tahu pasti.
"Na berangkat ya bu" aku berpamitan pada ibuku yang lagi lagi masih sibuk dengan tanaman-tanaman hiasnya.
"Iya Na, hati-hati ya. Semangat kerjanya" ibu mencium pipiku pelan.
Aku menaiki taksi yang sengaja aku pesan beberapa menit yang lalu. Sekitar 30 menit kemudian taksiku sudah berhenti di depan rumah sakit.
"Semangat" batinku berkata pelan. Sekitar 20 menit kemudian aku sudah sampai di rumah sakit. Aku lalu membuka pintu rumah sakit dan melangkah masuk.
"Halo Eva" sapaku. Pada seorang resepsionis.
"Halo dokter" ia balas menyapaku sambil tersenyum manis.
"Kudengar hari ini ada pasien baru ya?" Tanya nya.
"Iya" jawab ku semangat, tanganku mengepal ke udara.
"Kalau begitu semoga lancar ya!!" Eva tak kalah semangat.
Aku lalu memasuki ruangan milikku sendiri. Ruangan yang masih didominasi oleh warna putih dengan satu meja, 2 kursi dan 1 sofa besar. Aku kemudian duduk di kursi milikku menaruh tas ku dan mulai membuka map tentang pasienku. di sana hanya ada keterangan jika pasienku ini seorang laki-laki yang sepertinya umur tidak jauh beda dengan ku.
Aku akhirnya memeriksa berkas berkas lainnya. aku berdiri dan berputar-putar kecil di sekitar meja. Aku masih sibuk membaca berkas-berkas yang ada di tanganku sampai sebuah ketukan di pintu itu kudengar.
Tok tok tok
"Masuk" jawabku singkat. aku berdiri membelakangi pasienku mataku masih sibuk menatapi berkas-berkas yang aku pegang di tanganku sampai detik aku membalikkan badan aku begitu terkejut. Mata itu, wajah itu, tatapan itu, dirinya nya dan semua hal yang ada padanya. Aku terdiam terpaku. Membisu. bibirku seakan kelu, tatapanku penuh akan rindu.
"Raka?" Panggil ku lirih.
"Iya saya dokter" ucapnya bingung.
"Kamu Raka?" Tanya ku lagi, berusaha memastikan
"Iya saya Raka. Ini benar kan ruangan dokter Anastasya?"
Anastasya? Apa barusan ia memanggil dokter Anastasya. Apa yang terjadi? apa ia tidak ingat bahwa aku adalah Kirana. Apa ia sudah benar-benar melupakanku?
"Iya saya dokter Anastasya" ucapku pasrah.
aku menatap Raka dengan tatapan kecewa, sementara ia menatapku dengan tatapan bingung. Mungkin ia benar-benar lupa aku ini siapa. Ya Aku bisa memahaminya jika Aku adalah dokter dan Raka datang ke bagian saraf itu berarti ada sesuatu yang bermasalah pada dirinya. Tapi aku masih belum bisa memastikannya hari ini pertemuan ku dan Raka hanya membahas hal-hal kecil konsultasi masalah-masalah sepele.
Setelah Raka pergi, soalnya aku buru-buru menemui Beni. awalnya 13 panggilan yang kukirimkan pada Beni tidak terjawab kupikir dia masih bekerja tapi akhirnya ia menjawabnya juga.
"Ada apa Kirana tumben sekali kau menelponku? " Tanya Beni.
"Beni, aku sudah berada di Bogor saat ini. Maaf aku meneleponmu secara mendadak tapi ada hal penting yang harus aku bicarakan padamu bisa kita ketemu sekarang juga?"
"APA KAMU ADA DI BOGOR??!! KENAPA KAMU TIDAK MEMBERITAHUKU KIRANA AKU KAN BISA MENJEMPUTMU DI BANDARA. lagipula sudah berapa lama kamu di sini?. Mengapa tidak mengabariku?"
Aku menjauhkan telingaku ketika mendengar kata-kata Beni.
"maaf Beni, akan aku jelaskan lain kali. Tapi, saat ini aku benar-benar ingin bertemu dengan kamu bisakah kita bertemu sekarang juga? aku mohon ini tentang Raka."
Aku mendengar hembusan nafas kasar dari Beni. Perasaanku tidak enak apakah selama aku pergi terjadi sesuatu yang buruk pada Raka? pikiranku benar-benar penuh dengan tanda tanya Dan aku harap Beni bisa memberikan jawabannya.
"Baiklah kita akan bertemu satu jam lagi. nanti alamat kita bertemu akan aku kirimkan setelah ini. Sampai jumpa disana Kirana"
Suara Beni terdengar menjadi lebih kecil suaranya terdengar samar seperti menahan pedih, menahan tangis.
"Baik terima kasih Beni" aku menutup teleponku. 5 menit kemudian pesan dari Beni masuk, dia memberikan sebuah alamat. Sebuah nama cafe tertera di sana sepertinya ini tidak jauh dari tempat aku bekerja.
Aku buru-buru menyelesaikan pekerjaanku saat itu. Aku tidak mau terbebani oleh pekerjaan menumpuk. Aku harus fokus pada Raka.
:::
Aku mengetuk tanganku di atas meja untuk yang kesekian kalinya. seorang pelayan perempuan sudah berkali-kali datang ke mejaku menanyakan menu apa yang akan kupesan namun untuk yang kesekian kalinya aku kembali menolaknya. karena tak tega aku memutuskan untuk memesan segelas jus strawberry kesukaanku. Aku masih menunggu kehadiran Beni. Dia tidak datang sejak tadi aku sudah menelpon nya tapi tidak terjawab sampai jus ku sudah tersisa setengah gelas Beni tidak kunjung menampakkan dirinya. Apakah ia lupa dengan janji kita?.
30 menit kemudian Beni datang wajahnya tidak berubah hanya saja dia kini terlihat lebih dewasa benar-benar terlihat seperti pegawai kantoran yang bekerja keras.
Aku menatapnya kesal, aku tidak suka dibuat menunggu.
"Kamu terlambat kemana saja?" Beni langsung duduk dihadapanku ia mengabaikan pertanyaanku, dan langsung berbincang dengan pelayan seraya memesan minum.
"maaf ya, aku terlambat. Tadi ada sedikit pekerjaan tambahan di kantor. Salah satu karyawan ku aku mendapatkan masalah jadi aku harus mengurusnya" aku hanya mengangguk mendengarkan perkataan Beni.
"Bisa kita berbicara sekarang Beni?"
Aku bertanya secara perlahan. Karena aku tahu sepertinya topik ya kan kita bicarakan agak sedikit sensitif.
Beni masih saja diam lagi-lagi yang mengabaikan perkataanku.
"Beni, tolong beritahu aku apa yang terjadi pada Raka? apa yang terjadi saat aku pergi?"
Beni menunduk. Ia mengambil nafas panjang memulai untuk bercerita.
"Setelah kamu pergi ke London semuanya jadi terasa berubah aku dan Raka mulai berpisah. Awalnya, aku masih menjaga komunikasi baik dengan Raka. Kami masih bertukar pesan, telepon, dan terkadang kami juga bertemu. Tapi lama kelamaan semuanya jadi berubah. Pesan lama-lama mulai singkat, tidak akan menelepon jika tidak punya keperluan, dan kami jadi jarang bertemu karena terlalu sibuk.
Aku ya sibuk mengurusi perusahaanku, dan Raka yang sibuk jadi seorang fotografer.
Sampai, kira-kira 3 atau 4 bulan yang lalu. Lebih tepatnya 1 minggu sebelum 'hari itu' Raka menemuiku. Dia bilang jika Karin yang saat itu berstatus sebagai kekasihnya. Raka merasa aneh dengan Karin ia merasa aneh dengan sifatnya, dan juga kelakuannya. setelah itu mereka bercerita panjang lebar tentang Karin tentang hubungan mereka dan semuanya. Seharian penuh Raka berada di rumahku.
Sampai....sampai.... Sampai Raka kecelakaan hari itu..."
Beni menggantungkan ceritanya, ia menunduk semakin dalam. Tak kuasa menahan sakit. Aku menutup mulut karena terkejut begitu syok mendengar apa yang Beni dikatakan.
"Maaf Kirana" dia menyeka matanya yang mulai basah, menarik nafas dan melanjutkan ceritanya.
"Aku mendengar sore itu ibu Raka menangis-nangis menelponku. Ia bilang Raka kecelakaan, Aku benar-benar kaget saat itu. Katanya Raka memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, sampai di perempatan jalan dia tidak sadar jika lampu merah sudah menyala, ia terus memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi dan akhirnya sebuah truk penabrak mobilnya sampai terpental dan terbalik setelah kecelakaan itu Raka koma kurang lebih 3 bulan dan beberapa hari yang lalu dia baru sadar dan siuman dari komanya tapi benturan yang terjadi saat dia kecelakaan membuat ia harus lupa ingatan."
Aku semakin tak kuasa mendengar nya.
"Tapi Beni, amnesia itu kan artinya kehilangan seluruh ingatan. Tapi kenapa Raka masih mengingat kamu dan keluarganya?"
"Dokter yang dulu sempat melawan Raka bilang, jika Raka mampu mengingat hal-hal yang terjadi 1 minggu sebelum ia kecelakaan, jadi jangka waktu Raka ingat sesuatu hanya satu minggu setelah 1 minggu berlalu ia kan kembali melupakan hal-hal lain jadi sebisa mungkin aku sering menemui Raka untuk menjaga ingatannya akan diriku. Tapi aku tidak menyangka jika kamu adalah dokter barunya takdir itu memang misterius ya"
Aku diam setelah mendengar cerita Beni, otakku berpikir dengan keras. Bagaimanapun juga aku adalah dokter, dan Raka adalah pasien ku. Aku akan melakukan apapun demi dia.
"Beni! Aku... akan... mengembalikan... ingatan Raka... dan aku...berjanji... akan hal itu." Aku mengucap setiap kata dengan tegas aku sudah bertekad akan aku kembalikan ingatan dia yang hilang.