Kirana pov.
"Kita mau kemana Beni?" Aku semakin kesal dengan keadaan yang semakin tidak jelas saat ini. Bagaimana tidak, aku rela izin dengan manajer hari ini agar tidak bekerja karena Beni bilang ia akan memberitahuku tentang gadis yang kemarin. Tapi bukan memberitahuku ia justru mengajak ke kantor Raka. kurang lebih 3 jam tanpa melakukan apapun. Padahal kantor Raka terletak tepat di seberang kami, tapi Beni tidak kunjung keluar ia justru memilih diam di mobil dan menunggu, dan aku terpaksa menemaninya.
"Shuuuttt diamlah Kirana" aku hanya mendengus kesal mendengar jawaban Beni.
Satu setengah jam kembali terlewati dan aku masih menunggu di dalam mobil. Sampai akhirnya jam pulang kantor tiba.
"Beni lihat, bukannya itu Raka?" Aku menunjuk ke arah seberang. Di sana terlihat Raka sedang berdiri di depan kantornya sambil memainkan handphone miliknya.
"Iya itu Raka, jangan sampai ia tau jika kita disini" ucap Beni
Baru saja mengatakan hal itu tiba-tiba aku melihat ke arah mobil kami. Sepertinya iya benar-benar mengenali warna, jenis, dan bahkan plat nomor milik mobil Beni.
"Menunduk" ucap Beni, untungnya Raka tidak menghampiri mobil Beni, jadi dapat dipastikan jika kami berdua tidak ketahuan
Triiingggg.
"Astaga Beni, Raka menelfonku" aku panik begitu melihat nama Raka tertera di ponselku. karena dapat dipastikan jika Ia tahu aku ada disini semuanya akan semakin runyam, dan bisa saja usaha ku menunggu selama berjam-jam disini sia-sia.
Beni juga ikutan panik. "Katakan jika kamu sedang sakit di rumah! Ayo cepat" aku langsung mengangguk patuh dan mengangkat telepon dari Raka.
"Hei Kirana, jangan lupa ubah suara mu menjadi lebih terdengar lemah" Beni berkata dengan berbisik. Dan aku lagi-lagi hanya bisa mengangguk.
'Halo Kirana' suara Raka terdengar dengan jelas
"Iya Raka" aku menjawab dengan suara yang kubuat terdengar serak dan lemah.
'kamu ada dimana?'
"Ah... Maaf, aku sedang demam" ucapku berbohong, sambil melirik Beni yang sedang terlihat panik sepertiku.
'kamu sakit?' suara Raka kini berubah menjadi terdengar khawatir.
"Iya, Sepertinya aku terlalu banyak main hujan"
'apa perlu aku menjengukmu' mendengar jawaban Raka aku semakin panik. Keringat dingin mengalir deras di dahiku, begitu juga dengan Beni
"Ah tidak perlu repot-repot, aku sudah minum obat"
'Benarkah?'
"Iya, Raka. Kanu istirahat saja, ini jam pulang kantor kan? Kamu pasti lelah"
Raka terdiam beberapa detik.
'baiklah, lekas sembuh Kirana' lalu telepon dimatikan secara sepihak.
Aku dan Beni menghela napas lega. Huhhh syukurlah Raka percaya. Kulihat juga Raka pergi sambil menaiki mobil miliknya.
"Kirana, itu dia" kali ini giliran Beni yang menunjuk ke arah seberang, mataku mengikuti kemana arah jarinya.
Dan kini kulihat sosok gadis yang kemarin. Tak lama gadis itu pergi sambil menaiki taxi.
"Ayo kita ikuti dia" Beni memajukan mobilnya perlahan. Mengikuti taxi yang ditumpangi gadis itu dengan hati-hati.
Sekitar 15 menit kami mengikuti gadis itu akhirnya taksi yang ditumpanginya berhenti. Jarak antara mobil kami, dan Taxi miliknya terpaut 10 meter. Jadi ini cukup aman. Aku dan Beni menunggu sampai gadis itu masuk ke dalam rumahnya.
Tanpa pikir panjang Beni langsung menghampiri gadis itu, meninggalkan aku sendirian di dalam mobilnya.
"Hei Beni tunggu aku" ucapku setengah berteriak. Aku langsung turun dari mobil Beni. Kulihat rumah milik gadis itu lekat-lekat rumah yang didominasi dengan warna putih dan pagar hitam yang menjulang tinggi di depannya. Terlihat seperti istana yang megah bagiku, jujur saja aku begitu takut saat ini. Feeling ku terasa buruk.
Ting tong...
Beni menekan bel rumah nya. Tak lama gadis itu keluar, tapi gini ya sudah memakai pakaian yang lebih santai di Bandung yang tadi.
"Selamat malam, Karin" Beni tersenyum kearah gadis yang dipanggilnya Karin itu. Sementara wajah Karin terlihat masih datar.
::::
Aku dan Beni duduk di sofa coklat besar milik Karin. Sementara ia duduk langsung berhadapan dengan kami. Suasana begitu mencekam, dan dingin. Tak ada satupun dari kami yang berani memulai pembicaraan, bahkan sampai ART di rumah Karin datang membawakan minuman kami masih belum ada yang berbicara.
"Ada apa kalian datang kesini?" Tanya Karin, membuka pembicaraan serius kami.
Beni menghela nafas panjang. "Begini, sebelum memulai pembicaraan kita tolong kenalkan dia adalah Kirana. Dia ini adalah dokter yang menangani Raka di rumah sakit."
Beni memperkenalkan ku pada Karin. Aku hanya mengangguk kecil seraya tersenyum. Sementara Karin masih memasang wajah datar.
"Perkenalkan saya Kirana dokter spesialis bagian saraf yang menangani Raka. Saat ini saya sedang berusaha untuk memulihkan kembali ingatan milik Raka, dan saya butuh bantuan orang-orang yang masih diingat olehnya. Kemarin saya sempat melihat anda bersama dengan Raka, dan sepertinya Raka mengingat anda. Terlihat jelas jika masih tau nama anda. Itu tandanya kira-kira 1 minggu sebelum kecelakaan itu terjadi apakah sempat bertemu dengan Anda kan? Tolong saya mohon sekali, tolong anda ceritakan apa yang terjadi." Bukannya menjawab pertanyaanku Karin justru memasang wajah yang semakin terlihat kejam, matanya menajam kearahku.
"Tidak bisa saya tidak akan menceritakannya silakan Anda pergi dari sini masih banyak hal yang harus saya lakukan" aku lantas terkejut dengan apa yang dikatakan nya. Lalu aku menatap ke arah Beni, berharap jika ia punya solusi.
"Tolonglah Karin ini demi Raka" Saat itu aku dapat melihat Dua hal yang ada dalam mata Beni. Satu, terlihat memelas. Dan disaat yang yang bersamaan matanya juga terlihat tajam, persis seperti mata Karin yang melihat ku tadi. Akhirnya Karin mengangguk setuju. Dia menarik nafas panjang sebelum memulai cerita.
::::
Dan detik berikutnya, kalimat demi kalimat dilontarkan oleh Karin. Setiap kata demi kata dirangkai menjadi sebuah cerita dan berbagai ekspresi sudah ku keluarkan malam itu dari kecewa, cemburu, sedih, bahkan takut. Karena Karin menceritakan semua dengan sangat detail. Mulai dari awal pertemuan mereka, makan malam pertama mereka, liburan bersama mereka di pantai.
Ditengah-tengah cerita Karin sempat Menghela nafas beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya kembali kini aku tahu kenapa Raka begitu membencinya perselingkuhan yang Karin lakukan lah yang jadi penyebab nya.
"Seandainya bisa aku ingin sekali mengulang semuanya dari awal dengan Raka. Tapi kini semuanya udah terlambat, dia bahkan nggak mau maafin aku. Aku benar-benar menyesal dengan apa yang udah aku lakuin ke Raka dulu." Karin terisak-isak air matanya meleleh membasahi pipinya. Mungkin waktu 45 menit terasa begitu lama untuk mengolah kembali semua kisah masa lalu dia dengan Raka.
Jujur saja saat itu bukan hanya dia yang menangis. Tapi juga aku. Aku ingin menangis saat itu, aku benar-benar kecewa dengan Raka. Dulu aku rela menolak Dev hanya untuk dia. Kupikir Raka juga mencintaiku, tapi ternyata selama ini hanya aku yang berfikir seperti itu bahkan selama aku pergi dia sudah membagi cintanya dengan perempuan lain. Entah siapa yang bodoh! dia yang tidak menghargaiku, atau aku yang terlalu mengharapkan ya?