Kerikil Resah

بسم الله الرحمن

اللهم صل على سيدنا محمد

Happy reading kawan😉

***

Safiyah Adzkiya Rofiqoh, itulah namaku. Kiya, orang-orang memanggilku dengan sebutan itu. Saat ini aku lagi perjalanan menuju ruang kelasku. Hari ini hari terakhir ujian untuk kenaikan kelas ke kelas XII.

Oh iya aku hampir lupa, aku ini tidak sekolah di sekolah negeri melainkan Madrasah Aliyah yang berbasis yayasan pondok pesantren. Tapi aku nggak mondok alasannya karena nanti Ummah sama Abah kesepian karena tinggal aku buah hatinya yang berada dirumah. Aku dua bersaudara, kakakku laki-laki sekarang lagi mondok di salah satu pondok yang terkenal di Jawa tengah. Kata Abah aku boleh mondok kalau mas ku benar-benar sudah pulang kerumah, itu artinya pas saat aku lulus dari As-Salam ini.

Kenapa sekolah disini, bukankah lebih baik sekolah negeri atau SMA? Jawabannya simpel orang tuaku mau anaknya lebih terdidik lagi agama dan Akhlakul Karimah nya sebab disini kami tidak hanya belajar pelajaran formal tapi juga sedikit tentang kitab yang biasa diajarkan di pondok pesantren contohnya ta'limul muta'alim.

Kata salah satu guru kami MA ini merupakan bengkel akhlak. Sebab senakal-nakalnya murid disini mereka tetap menjunjung tinggi adab kesopanan terhadap beliau yang lebih tua dan berilmu. Mereka tahu ilmu yang mereka peroleh tidaklah barokah jika tidak diridhoi oleh sang guru, maka dari itu mereka sangat hormat dan mematuhi apa yang beliau para guru ucapkan meskipun mereka terkenal dengan sebutan 'anak nakal'. Dan juga di MA ini selalu melahirkan generasi milenial dengan benteng agama yang kuat.

"Kiy, pinjam penghapus ada?"

"Oh, ada. Sebentar."

Rahmanul Muttaqin. Dia ketua kelasku. Kata teman dekatnya dia menyukaiku tapi ya gitu, aku abaikan. Bukanya nggak menghargai aku cuma mau fokus sama pendidikan ku. Masalah cowok dan segala hal yang berkaitan dengannya akan ada masanya sendiri.

"Ini." ucapku sambil meletakkan penghapus di mejanya.

"Makasih. Habis dari sini mau kemana?" tanyanya.

"Ya pulanglah. Emang ngapain lagi."

"Maksudku habis lulus dari sini mau kemana? Kuliah atau kerja gitu? Kan kita disini kalau dihitung-hitung cuma tinggal 7 sampai 8 bulan aja."

"Hehehe kirain habis ujian nanti. Pastinya mondok sama kuliah, mau cari ilmu agama yang lebih baik dan barokah. Udah ah mejamu mana ngapain di situ, balik sana 5 menit lagi bel masuk ntar ada pengawasan keburu masuk kena teguran kamu."

"Jadi ya." katanya yang ku balas dengan anggukan kepala. "Iya-iya ini juga mau balik. Terima kasih penghapusnya, jangan judes-judes nanti manisnya ilang." katanya sambil ketawa dan lari ke tempat duduknya.

"Biarin ngapa, sewot mulu." balasku.

***

Setelah terjadi insiden kecil antara Rahman dan Kiya bel masuk berbunyi menandakan ujian segera dimulai. Berdoa melantunkan kalamun qodimun dan Asmaul Husna sudah menjadi ciri khas MA As-Salam sebelum memulai kegiatan belajar dengan mengharap keberkahan atas ilmu yang akan dicari.

Sedari guru pengawas masuk kelas, Kiya merasa aneh dirinya seperti diperhatikan namun saat menghadap ke depan dia melihat gurunya sedang mengisi data peserta ujian.

"Mungkin perasaanku aja kali ya." batin Kiya setelah menghadap ke depan.

"Anak-anak jangan lupa tanda tangan daftar hadirnya dan yang paling terakhir mengumpulkan kedepan." kata Gus Ipul kepada seluruh penghuni kelas.

Karena MA As-Salam masih berbasis pesantren tidak heran juga jika gurunya masih dalam urutan dzuriyah Kyai dan Bu Nyai pengasuh pondok pesantren Mambaul Ulum yang menaungi MA As-Salam.

"Dia mirip seperti Nyai Aminah zaujah Kyai Abdullah Kranggan. Apa dia putri Kyai yang selama ini hilang?" batin Gus Ipul setelah melihat Kiya.

Kiya maju kedepan untuk mengumpulkan daftar hadir sebab dia berada di urutan paling bawah yang otomatis berada paling belakang.

"Benar-benar mirip. Tapi apa mungkin, ah paling cuma mirip yang mirip kan banyak." batin Gus Ipul lagi saat Kiya sampai didepan mejanya.

"Ini pak absennya." ucap Kiya sambil meletakkan selembar kertas kemeja guru.

"Oh iya, terima kasih mbak."

"Waktu tinggal sepuluh menit bagi yang sudah selesai boleh dikumpulkan soalnya dan biarkan lembar jawabannya diatas meja tapi dibalik dan keluar." kata Gus Ipul setelah melihat bahwa waktu hampir habis.

Satu persatu penghuni kelas mulai meninggalkan mejanya masing-masing dan keluar. Hari ini merupakan ujian terakhir untuk menuju kelas berikutnya jadi para siswa kelas X dan XI merasa lega.

Setelah mendapat pengarahan dari kepala sekolah bahwa boleh pulang Kiya langsung mencari keberadaan temannya.

"Nawa ayo pulang."

"Eh, ayo Kiy. Mau mampir nggak mumpung masih jam segini." ucap Nawa Alfiyatunnisa yang kerap dipanggil Nawa setelah melihat jam yang melingkar manis dipergelangan tangannya.

"Pulang ajalah lagian aku tadi bilang ke Ummah langsung pulang kalau udah selesai dan beliau masak makanan kesukaanku hari ini."

"Waahh pasti enak. Aku mampir ya, kalau langsung pulang aku dirumah sendirian ibuk belum pulang dari Malang."

"Bolehlah, Ummah pasti seneng kalau kamu mampir beliau kan udah lama nggak ketemu kamu."

"Ehehe iya lagian kan aku juga nggak berani kalau ada Mas Aziz dirumahmu Kiy." kata Nawa sambil cengengesan dan berjalan menuju tempat parkir motor.

"Iya-iya aku tau. Mumpung mas Aziz nggak dirumah."

Jika ditanya kenapa Nawa nggak berani kerumah Kiya kalau Aziz yang menyandang gelar kakak kandung dari Kiya itu ada dirumah jawabannya hanya satu yaitu 'takut'. Entah apa yang membuat Nawa takut apakah tubuh tinggi tegapnya atau rambut gondrong yang dimiliki Aziz itu hanya Nawa yang tau.

Aziz itu seorang santri disalah satu pondok pesantren Jawa tengah. Beberapa hari ini dia ada dirumah karena dipondoknya ada kegiatan keluarga Kyai jadi kegiatan belajar mengajar diliburkan. Namun sekarang dia ada dirumah eyang sepuh, lagi kangen katanya.

Setelah lima belas menit menempuh perjalanan dengan naik motor Nawa, mereka sampai dirumah Kiya dan disambut bahagia Ummah Kiya.

"Sudah pulang toh nduk, sama Nawa juga to ayo masuk-masuk sudah lama kamu ndak kemari Ummah kangen sama kamu."

"Maaf Ummah baru bisa datang kan dirumah bantu ibuk jagain adek." ucapnya sambil menyalami tangan Ummah Laila.

"Iya ndak papa yang penting ndak lupa sama Ummah. Makan dulu ya pasti lapar." kata Ummah Laila sambil menuntun Kiya dan Nawa masuk kedalam rumah.

"Iya Ummah, tapi Ummah sama Nawa duluan aja Kiya mau ke kamar naruh tas sama ganti baju." kata kiya.

"Ya sudah, sana cepet ganti. Ayo wa." kata Ummah Laila dan berlalu menuju meja makan.

Setelah menyelesaikan acara makan mereka berkumpul diruang tengah untuk berbagi cerita.

***

Secangkir kopi ditemani dengan rokok satu hal kenikmatan tersendiri bagiku. Aku berada di gazebo depan ndalem. Sejuk karena ini tempatnya berada di bawah pohon mangga yang rindang, dan sedikit tenang perasaanku sekarang, ya meskipun dawuh Abah kemarin malam masih terus berjalan di atas kepalaku.

Saat ini aku sedang berada di pos keamanan pondok kawasan putri, biasa keliling cek kondisi aman atau tidak.

"Gus, dipanggil Abah di teras samping ndalem." kata salah satu santri senior Abah yang juga sahabatku.

"Oh, suwun Nur. Kang saya ke ndalem dulu." ucapku kepada salah satu santri yang keliling denganku.

"Iya Gus, monggo."

"Assalamualaikum." ucapku sambil berjalan menuju teras ndalem yang lumayan jauh dari posisiku sekarang.

"Wa'alikumussalam, Gus."

Dari kejauhan kulihat Abah sedang bercengkrama dengan salah satu ustadz.

"Assalamualaikum Abah, ustadz." setelah sampai di teras dan langsung menyalami tangan Abah dan ustadz tersebut.

"Ya udah mam, pokok begitu ya kalau bisa lebih baik ya ndak papa. Sudah kamu istirahat sana." kata ustadz Umam selaku kepala pengajar di pondok Hidayatulloh.

"Kalau begitu saya pamit dulu Abah, Gus assalamualaikum." ucapnya dengan menyalami Abah menyalamiku.

"Wa'alikumussalam, mongo-monggo." Sahut kami.

"Abah ada yang mau dibicarakan sama Agam?" tanyaku hati-hati.

"Gini le, Abah sudah tua waktunya pensiun dari penanggung jawab pesantren Abah mau kamu menggantikan Abah. Tapi ya ada satu syaratnya." Abah menyesap kopinya.

"Syaratnya apa bah, kalau bisa pasti Agam lakukan yang penting abah bisa istirahat dan ndak mikir yang berat-berat."

"Ya harus bisa itu, kalau bisa secepatnya."

"Memang nopo bah." penasaran aku sama syarat dari Abah karena selama ini jika Abah mau aku melakukan sesuatu tidak ada syaratnya. Apakah sepenting itu syaratnya hingga Abah ingin dilakukan secepatnya.

"Menikah." kata Abah sambil melihat ke arahku.

Bukannya aku tak mau untuk menyempurnakan separuh agamaku tapi aku merasa umurku masih terlalu muda, rencananya aku akan menyempurnakannya pada 25 tahun nanti seperti Rasulullah, tapi itupun kalau ada yang sreg. Kalau dihitung itu 1 tahun dari sekarang, namun itu semua akan terealisasikan jika ada yang mau kalau tidak entahlah mungkin mundur dari itu.

***