15. Menyukai Wanita Yang Sama

Charlos menelepon Satria untuk bertemu di restoran Golden Ring miliknya. Charlos datang lebih dahulu. Tangannya memegang sebuah kotak. Ulang tahun Satria kemarin, ia belum sempat memberikan apa-apa.

Setelah beberapa saat menunggu kemudian Satria datang dengan motor sport kuning barunya.

"Wow, Sat! Motor baru?"

"Hehehe... Iya. Pemberian ayahku," Satria terkekeh sambil menarik kursi untuk duduk.

"Selamat ulang tahun, Sat!" kata Charlos sambil menyerahkan kotak itu pada Satria. "Maaf, aku telat mengatakannya."

"Tidak apa-apa. Terima kasih ya kadonya." Satria mengambil kotak kadonya sambil tersenyum-senyum. "Padahal tidak usah repot-repot."

Satria membukanya, ternyata isinya jam tangan mewah. Satria berdecak kagum. "Keren! Trims ya!" Satria langsung memakainya. "Ngomong-ngomong tumben kamu mengajakku makan di sini. Aku tidak biasa makan di tempat private seperti ini. Tidak ada yang datang lagi selain aku?"

Charlos tersenyum, "Sebenarnya..."

Kemudian Reva datang. Ia baru saja dari toilet. Reva duduk di sebelah Charlos. Satria melongo memandangnya.

"Charlos... Dia ini..."

"Mmm... Iya Sat. Aku mau kalian saling kenal. Satria, ini Revaldo. Rev, ini Satria."

"Hai Satria. Apa kabar?" sapa Reva sambil tersenyum. Ia menjabat tangan Satria. Satria meringis sambil mengangguk pelan. "Aku sudah mendengar banyak tentangmu. Oh ya, selamat ulang tahun ya."

"Terima kasih," jawab Satria, kaku.

Charlos melihat tangan Satria, lalu Charlos menariknya. "Tangan kamu kenapa?" Satria langsung menariknya kembali.

"Ceritanya panjang. Kemarin ini Rissa terkunci di kantornya."

"Apa?" Charlos terkejut. Wajahnya benar-benar serius. Reva langsung meliriknya sinis.

"Iya. Dia terkunci. Katanya, ponselnya tertinggal di kantor. Jadi dia kembali lagi ke dalam, lalu tiba-tiba ada yang menguncinya dari luar. Kebetulan aku sedang ada di sana..."

"Kamu ada di sana?" tanya Charlos heran.

"Iya. Tadinya aku mau menjemputnya pulang kerja. Tapi dia lama sekali. Dia lembur terus sampai semua staff sudah pulang. Lalu aku mencari-cari satpam, tapi satpamnya tidak tahu ke mana. Aku tidak bisa membuka kuncinya, jadi aku lempar saja pintunya dengan tabung pemadan kebakaran. Preng!" Satria menggerakkan tangannya. "Kacanya pecah mengenai tanganku."

"Lalu Rissa bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" Charlos berusaha menyembunyikan nada khawatir di suaranya.

Pelayan restoran datang membawa menu makanan dan minuman mereka.

"Rissa? Dia... dia agak shock." Satria menatap Reva tidak suka. Sama halnya dengan Reva.

"Ah. Begitu saja, kenapa harus heboh seperti itu?" Reva mencemooh.

"Apa?" Satria mengangkat alisnya sebelah.

Reva tersenyum. "Bukankah itu terlalu berlebihan? Sayang sekali mengorbankan diri sampai sebegitunya."

Satria memandang Reva dengan heran. "Apa maksudmu? Saat itu dia benar-benar ketakutan. Sebelumnya dia habis melewati malam yang sangat buruk." Mata Satria menyipit. "Siapa saja yang mengalami hal semacam itu, pasti akan panik."

Reva terkekeh.

"Kenapa kamu?" tanya Satria kesal.

"Tidak. Aku berpikir, apa kamu hanya pamer di depan wanita itu supaya kamu mendapatkan perhatian?" kata Reva.

"Rev." Charlos mencoba memperingati Reva.

Satria mendadak berdiri dari tempat duduknya sambil menggebrak meja. "Kalau bicara hati-hati ya!" bentak Satria. Suasana semakin memanas. Beberapa orang memandangi mereka.

Reva dengan santai masih dalam posisi duduk sambil melipat kakinya. Matanya memandang Satria jijik.

"Hei hei! Tenang tenang." Charlos ikut berdiri berusaha meredam emosi "Yang penting Rissa baik-baik saja kan. Kita tidak perlu membahas soal ini lagi. Oke?"

"Dasar wanita murahan." Reva mendecak sambil memutar bola matanya.

"Rev, jangan bicara gitu," kata Charlos.

Satria geram, tangannya terkepal.

"Satria! Tenang, Sat!" Charlos menekan bahu Satria supaya ia kembali duduk.

Satria melepaskan tangan Charlos dari bahunya. Ia menerjang Reva, menarik kerah jaketnya. "Kalau bukan karena apa yang sudah kamu lakukan dengan orang ini..." Wajah mereka hanya berjarak satu senti. "...Rissa tidak akan sesedih itu." Satria mendorong Reva.

Reva merapihkan kerah jaketnya sambil menyunggingkan senyum sinisnya. Ia menatap Satria tajam.

Charlos menghampirinya. "Kamu tidak apa-apa, Rev?"

"Sekarang aku mengerti," kata Reva dengan tenang sambil menepuk bahu. Ia menarik kursi kemudian kembali duduk dengan anggun.

"Apa yang kamu mengerti?" Satria berteriak.

"Kalian berdua menyukai wanita yang sama. Membuatku muak saja," kata Reva. Wajahnya tampak bosan.

"Apa? Charlos... Kamu..." Satria memandang Charlos, tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Wajahnya menyiratkan kengerian. Charlos hanya menunduk.

"Yang perlu kamu ingat," lanjut Reva. "tidak ada yang sulit bagiku melakukan apa saja yang aku mau. Kamu tinggal lakukan saja bagianmu."

"Apa maksudmu, Rev?" tanya Charlos. Wajahnya berubah curiga.

"Aku sudah pernah menjelaskan semuanya padamu, Charl." Wajah Reva sedingin es.

"Kamu tidak akan berani." Charlos menatap Reva tajam sambil menyipitkan matanya.

"Aku tidak mengerti," ucap Satria sambil menggelengkan kepalanya.

Charlos menghela napas, ia tampak lelah.

"Ada apa sebenarnya, Charlos?" desak Satria.

Susah payah Charlos memilih kata-kata. Ia hanya berkata, "Rissa."

Satria langsung paham. Ia membelalak. "Jangan pernah mengganggunya! Atau..."

"Atau apa?" tantang Reva.

"Atau... atau kamu akan berurusan denganku!" bentak Satria sambil menunjuk Reva. "Dasar orang gila!"

Ia pergi begitu saja dengan amarah yang masih membara. Beberapa karyawan melihat kejadian itu. Tapi saat Charlos menatap mereka, mereka langsung menunduk dan kembali ke tempat masing-masing.

Satria melesat pergi dengan motor sport kuningnya, suara mesin motornya menandakan betapa marahnya ia.

Dengan tenang dan santai Reva mulai menyantap makan malamnya. Charlos kemudian duduk. Wajahnya masih tegang.

"Dasar pengecut! Langsung pergi begitu saja." Reva mengernyitkan wajahnya.

"Seharusnya kamu jangan bersikap seperti itu pada Satria," ujar Charlos berusaha setenang mungkin.

"Jangan ajari aku bagaimana aku harus bersikap!" bentak Reva.

"Tapi kamu yang mulai duluan, Rev."

"Jadi sekarang kamu membelanya?" Reva memandang Charlos tak percaya. "Charl, dia telah menarik bajuku! Itu sama sekali tidak sopan," Reva kesal.

Charlos terdiam. Ia memikirkan apa yang sejak tadi Reva ungkapkan tentang dirinya.

"Kenapa kamu bilang kalau aku juga menyukai Rissa?"

"Oh bukankah itu sudah jelas? Aku ada di sana saat kalian berdua berdansa di acara pernikahan. Aku melihat saat kamu menyusul wanita itu dan menangkapnya saat wanita itu hampir jatuh."

Jantung Charlos berdetak cepat. Hatinya mencelos. Bagaimana bisa Reva berada di sana? Itu mustahil. Seharusnya Reva berada di Jakarta. Charlos jadi berpikir kalau selama ini bisa saja Reva berada di sekitarnya tanpa terdeteksi. Ini sangat berbahaya.

"Aku bisa melihatnya dari caramu menatap wanita itu," lanjut Reva. "Betapa kamu mengkhawatirkannya saat kamu mendengar cerita dari Satria. Aku tahu. Kamu tidak benar-benar mencintaiku, Charl."

"Reva!"

"Aku tidak butuh penjelasanmu. Aku..." Wajah Reva berubah sedih. Ia memalingkan wajahnya. Charlos berharap tidak ada yang mendengar permbicaraannya dengan Reva.

Charlos menarik wajah Reva. "Kamu tidak mempercayaiku, Rev?"

Setitik air mata membasahi pipi Reva. Charlos mengusapnya perlahan.

"Entahlah, Charl..."

"Aku harus bagaimana supaya kamu mempercayaiku lagi?"

Reva terdiam sambil memandangi Charlos, menimbang-nimbang. "Sekarang jawab aku, Charl. Apa kamu menyukai wanita itu?"

Charlos mendengus sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan.

"Please, jawab aku, Charl!" Reva menarik tangan Charlos. Wajahnya putus asa.

"Kamu sendiri yang bilang begitu!"

Reva berubah cemberut. "Jadi itu sama sekali tidak benar?"

Charlos melepaskan tangan Reva. "Sekarang aku mau bertanya padamu. Apa yang kamu rencanakan pada Rissa? Jawab aku, Rev!"

Reva menggelengkan kepalanya perlahan. Wajahnya tampak kecewa. Ia meneguk minumannya.

"Aku pikir, aku tidak pernah salah," kata Reva. Ia menatap jam tangannya lalu bangkit berdiri. "Aku mau istirahat."

"Kamu mau ke mana?" tanya Charlos.

"Ke mana pun bersamamu asal tidak ada Rissa-nya."

Charlos mengikuti Reva menuju parkiran, mengabaikan tatapan curiga karyawannya.

Dalam hati dan pikirannya, Charlos merasa semakin yakin apa yang Reva katakan itu memang benar. Ia memang pernah mencintai Reva, sangat menginginkannya, merindukannya. Sikapnya yang lembut, perhatian, sabar setiap kali Charlos menceritakan tentang masalahnya, tentang kesendiriannya. Hanya Reva yang telah membuatnya berani untuk hidup dan kembali ke dunia nyata.

Tapi setelah ia berpacaran dengan Reva, rasanya semuanya tidak seindah saat mereka masih berkomunikasi melalui internet. Bahkan saat ini ia merasa Reva seperti orang lain baginya. Terlalu agresif, sensitif, cemburuan. Membuatnya sulit untuk bergerak.

Perasaannya pada Rissa telah menuduhnya begitu jelas. Ia telah membagi hatinya dengan wanita itu. Ia tidak benar-benar mencintai Reva sepenuh hati. Ia masih meragukan dirinya dan mulai kembali ke dirinya yang dahulu.

Charlos tidak dapat melupakan wajah Rissa yang begitu sedih dan terluka saat melihatnya sedang bersama dengan Reva. Ia jadi merasa malu pada dirinya sendiri. Reva yang selama ini mereka bicarakan adalah seorang pria. Rasa ragu bahwa dirinya adalah gay terasa begitu kuat sekarang. Mungkin ia tidak benar-benar gay. Ia masih menyukai wanita.

Ia menghela napas. Pemikiran menyukai Rissa terasa terlalu cepat. Charlos menyetir menuju rumahnya. Ia melirik Reva yang terlihat sangat murung sepanjang jalan. Walaupun pikiran mengenai Rissa mungkin ada benarnya, tapi hatinya masih mencintai Reva. Ia ingin mengembalikan semuanya seperti semula.

"Reva." Charlos menggenggam tangan Reva.

Reva berbalik. "Apa?" Ia tampak lelah.

"Maafkan aku ya." Charlos berusaha terdengar tulus. Reva mengangguk kemudian ia memalingkan wajahnya kembali ke arah jendela.

Akhirnya mereka tiba di rumah Charlos. Ia memarkirkan mobilnya ke basement. Reva turun terlebih dahulu. Charlos segera menyusulnya.

Ia menarik Reva lalu memeluknya dalam dekapannya. Rasanya hangat dan nyaman. Tubuh Reva lebih tinggi darinya. Ia membenamkan wajahnya di leher Reva.

Reva balas memeluknya sebentar lalu berusaha melepaskan diri, Charlos menahannya. Charlos mendekatkan wajahnya lalu menciumnya perlahan. Ia masih bisa merasakan getaran saat bibir mereka bertemu. Perasaannya pada Reva belum hilang sepenuhnya. Ia yakin masih mencintai Reva.

"Hentikan, Charl!" Reva melepas ciumannya.

Charlos terkejut. Ia lalu mundur.

"Maafkan aku, Charl. Aku lelah. Aku mau istirahat dulu."

Charlos berharap kalau malam ini Reva tidur lagi bersamanya, tapi pria berambut ikal itu berjalan menuju kamar tamu.

"I love you, Rev!" Langkah Reva terhenti. "Aku harap kamu percaya padaku. Kamu tidak perlu merencanakan apa-apa pada Rissa. Perasaanku padamu tidak akan pernah berubah."

Reva berbalik lalu berkata, "Aku tidak mau mendengar penjelasan apapun. Kita tidak perlu membahas tentang itu lagi. Oke? Pokoknya sampai kapanpun, kamu akan tetap menjadi milikku!"

Malam itu Charlos tidak bisa terlelap. Ia masih saja memikirkan tentang Reva dan Rissa. Saat ia mengatakan : I love you pada Reva, suaranya bahkan terdengar palsu. Ia tidak ingin menghilangkan kesempatannya untuk bersama dengan Reva sirna begitu saja. Perjuangannya selama ini untuk sampai pada tahap ini begitu berat dan menyakitkan.

Reva telah merencanakan hidup bersama Charlos di Kanada, tempat di mana mereka tidak perlu malu terlihat orang banyak, tempat di mana mereka bebas menyatakan diri bahwa mereka adalah pasangan sesama jenis.

Charlos masih belum mengiyakan gagasan tersebut. Terlalu berat baginya untuk meninggalkan Bandung. Semua upaya yang telah ia bangun demi perusahaan ayahnya, tidak semudah itu ia lepaskan.

Charlos mengingat betapa rasa cemburu Reva terasa begitu pahit dan memuakkan. Ia jadi bertanya-tanya hal apa yang akan Reva lakukan pada Rissa. Entah mengapa tiba-tiba saja perasaan kagumnya pada Reva lenyap seketika.

***

Setelah kejadian kemarin, Rissa mendapatkan Surat Peringatan karena telah merusak pintu kantor. Gajinya dipotong untuk membayar uang ganti rugi. Ia tidak mau membebankan itu pada Satria karena ia merasa hutang budi pada Satria yang telah menolongnya waktu itu.

Ingatannya akan Charlos masih sesekali mengganggu pikirannya. Bagaimanapun kerasnya ia berusaha melupakan kejadian mengerikan itu, tetap saja tidak berhasil. Kenangan akan wajah Charlos yang tampan sedang berciuman dengan seorang pria begitu terpatri di kepalanya.

Hampir setiap malam ia memimpikan hal yang sama. Ia terbangun di tengah malam dengan bermandikan keringat dan kemudian gelisah sampai pagi. Begitu pula ia mengulanginya keesokan harinya.

Rissa begitu lelah sampai-sampai ia tidak ingat untuk latihan paduan suara. Pamela meneleponnya dan mengajaknya untuk bertemu, tapi ia masih belum siap untuk bercerita. Ia juga masih belum bisa bercerita pada Esther.

Sekarang ia baru mengerti apa yang Esther maksud mengenai Charlos. Sudah sejak lama pasti Esther mengetahui bahwa Charlos memiliki ketertarikan pada pria.

Kondisi Esther saat ini tidak begitu baik. Ibu hamil itu sekarang benci sekali mencium bau kopi. Setiap kali aroma kopi menguar sedikit saja, Esther pasti langsung mual-mual dan berjalan secepat mungkin ke toilet untuk muntah.

Perjanjian kontrak dengan Golden Group akan ditandatangani. Sebenarnya Rissa tidak perlu ikut ke kantor Golden Group karena tim Pak Agung sudah cukup. Jabatannya yang hanya sebagai asisten pengganti Esther sama sekali tidak diperlukan di sana. Tapi Pak Agung sendiri yang memerintahkannya untuk ikut. Jadi, mau tidak mau hari itu Rissa ikut bersama Pak Agung ke kantor Golden Group yang terletak di daerah Bandung Timur.

Saat menjejakkan kakinya ke kantor tersebut, ketegangan mendadak menyerang Rissa begitu rupa sampai ia berpegang erat pada pegangan pintu mobil untuk mencegah dirinya jatuh. Ia ingin sekali memeluk dirinya sendiri agar tidak bergetar.

Ingatan akan hari di mana pertama kali ia ke tempat ini dan kemudian Rendra mengantarnya ke rumah Charlos, terasa begitu jelas dan menyakitkan. Ia benci sekali harus berada di tempat ini lagi. Logo Golden Group bersinar tertimpa cahaya matahari saat mereka melewati resepsionis. Seseorang mengantar mereka sampai ke ruangan yang telah disiapkan.

Sapaan ramah CEO Golden Group disambut antusias oleh Pak Agung. Suara tawa Pak Agung yang begitu menggetarkan nyaris membuat Rissa terlonjak. Ia tak sanggup menatap wajah tampan yang kini hanya berjarak beberapa meter darinya.

Suaranya yang dalam dan terkesan berkharisma masih sama seperti saat pertama Rissa mengenalnya sebagai seorang malaikat. Saat itu Rissa melihatnya sebagai seorang pria yang begitu gagah, sanggup melindungi wanita yang dikasihinya. Genggaman tangannya saat mereka berdansa terasa begitu mantap, sampai Rissa merasa dunia tidak akan jatuh karena kekuatannya. Tapi kini, itu semua hanyalah kenangan yang telah lama dan semoga saja Rissa bisa melupakannya.

Rissa sama sekali tidak memperhatikan acara yang berlangsung. Seperti dugaannya, dirinya memang tidak banyak berguna di sini. Semua dokumen sudah dipersiapkan. Sekertaris Pak Agung sendiri yang sepertinya lebih banyak bekerja daripada dirinya.

Selesai acara penandatanganan kontrak, Rissa bersyukur ia tidak perlu berjabat tangan dengannya. Semua pihak yang bersangkutan seolah melindungi dirinya dari tatapan tajam sang CEO. Anggap saja kalau dirinya tidak ada, doa Rissa dalam hati.

Di sini ia hanya hadir sesuai perintah Pak Agung dan tidak perlu ada sangkut pautnya dengan perasaan pribadi. Ia hanya seorang asisten yang hastanya begitu jauh dengan sang CEO. Jadi pria itu sesungguhnya tidak perlu menatapnya sebegitu rupa hingga Rissa menyenggol air minumnya sampai tumpah mengenai kemeja dan roknya.

Tak ada yang benar-benar memperhatikannya. Tapi pria tampan itu membuatnya begitu jelas sehingga akhirnya semua orang menatap Rissa. Ada seseorang yang baik hati memberinya sapu tangan. Rissa merasakan pipinya memerah karena malu.

Untung saja kejadian itu begitu singkat, sehingga mudah bagi Rissa untuk melarikan diri ke toilet. Di toilet ia menatap wajahnya yang tampak kusut dan berantakan. Tangannya masih gemetaran. Ia menarik napas dalam-dalam berusaha menenangkan diri.

Kemejanya yang berbahan agak tebal pasti akan lama sekali keringnya. Ia memeras bagian depannya supaya cepat kering, kemudian mencoba mengeringkannya di bawah alat pengering tangan. Sia-sia saja, alat pengering itu terlalu atas. Panasnya tidak begitu terasa sampai ke kemejanya yang basah. Perutnya terasa dingin.

Selesai dengan usahanya yang sia-sia, ia kembali ke ruangan pertemuan. Para pejabat telah membubarkan diri, tinggal Rissa sendiri. Oh tidak! Pak Agung tidak boleh meninggalkannya sendiri!

Rissa segera berlari menyusul bosnya yang sedang menuju tangga turun. Kakinya terlalu bersemangat, ia sulit untuk mengerem. Sampai kemudian ia menabrak sang CEO dari belakang.

"Maaf, maaf, Pak! Maaf saya tidak sengaja." Rissa mengangguk-angguk minta maaf. Rambutnya berantakan tidak karuan. Sekali lagi ia berhasil menjadi tontonan semua orang.

"Tidak apa-apa," Charlos terkekeh. Pria itu menatapnya dengan cara yang berbeda.

Untuk pertama kalinya semenjak kejadian hari itu, Rissa kembali menatap langsung ke mata Charlos. Tatapannya begitu dalam, terasa jujur dan menenangkan. Ia nyaris merasa bahwa Charlos sepertinya sedang berusaha memberitahu sesuatu dengan matanya, tapi ia tidak mengerti apa itu.

Beberapa detik berlalu, Pak Agung yang menyadarkan Rissa dari pengaruh hipnotis dengan dehamannya yang membahana.

"Kamu ke mana saja, Rissa? Ayo kita pulang! Ah... maafkan karyawan saya ya, Pak Charlos," Pak Agung merubah nada suaranya menjadi lebih ramah pada Charlos. "Dia memang ceroboh. Berlari-lari seperti anak kecil. Hahaha..." Pak Agung tertawa berlebihan.

"Sungguh tidak apa-apa, Pak Agung. Tidak masalah. Silahkan. Saya antar sampai depan." Charlos menjulurkan tangannya dengan sopan.

Rombongan pejabat kembali melanjutkan langkahnya. Seketika Rissa merasakan lirikan mata Pak Agung yang memperingatkan. Ia hanya menunduk menunggu bosnya jalan duluan.

Saat sudah di dalam mobil, Rissa teringat akan ponselnya yang tertinggal di ruangan pertemuan. Ceroboh. Pak Agung memang benar, ia itu memang ceroboh sekali.

Akhirnya dengan dengusan kesal Pak Agung, Rissa kembali ke dalam gedung kantor itu dengan resiko kembali ke rumah sendiri karena Pak Agung tidak mau menunggunya. Padahal malam itu Pak Agung telah berencana untuk mengajak para stafnya untuk makan malam bersama.

Ya sudah, tidak apa-apa tidak ikut makan malam dengan mereka. Pastinya acara makan malam yang membosankan. Rissa sering kali merasa seperti kambing congek setiap kali mendengar obrolan para pejabat. Urusan bisnis, luar negeri, acara main golf, kapal pesiar, sampai wanita simpanan. Semuanya terdengar tidak masuk akal bagi Rissa.

Rasanya sangat memalukan saat Rendra, sekertaris Charlos menghampirinya. Pria itu tersenyum ramah.

"Rissa, ada apa? Apa ada yang tertinggal?" tanyanya. Matanya menatap kemeja Rissa yang basah.

"Rendra, ponsel saya tertinggal. Apa kamu bisa menemani saya ke ruangan yang tadi lagi?" pinta Rissa.

Rendra menyetujuinya kemudian mereka kembali lagi ke ruangan pertemuan itu. Beberapa orang sedang membereskan ruangan itu. Dengan cepat Rissa kembali ke mejanya yang tadi. Ia nyaris tidak ingat tempat duduknya di mana. Semuanya tampak sama. Ponselnya tidak ada. Ia terpaksa memeriksa semua meja dari depan ke belakang dan tidak menemukan apa-apa.

"Mas, tadi lihat ada ponsel saya di meja tidak ya?" tanya Rissa pada seorang petugas kebersihan.

"Oh. Sepertinya tadi diambil Bapak," jawabnya.

"Bapak siapa?"

"Ya, Pak Charlos. Tapi... saya tidak yakin. Coba ditanya saja sama sekertarisnya."

Bahu Rissa merosot. Kalau memang Charlos yang menemukan ponselnya, berarti ia harus berhadapan lagi dengan pria itu. Ponselnya bukanlah ponsel yang canggih. Tidak masalah kalau ia membeli ponsel yang baru. Ia bisa mengambil sedikit tabungannya, walaupun itu berarti ia nyaris mengosongkannya.

Ia berjalan keluar. Rendra tidak ada di sana. Mungkin pria itu sibuk. Bukan tanggung jawabnya untuk menunggu Rissa sampai menemukan ponselnya. Tidak apa-apa, kata Rissa dalam hati. Ia akan baik-baik saja. Rissa kembali mengambil napas dalam-dalam.

Hari ini begitu indah; ia berada di kantor Golden Group, bertemu dengan Charlos, kemejanya basah, ponselnya hilang. Dan kini langkahnya terhenti karena seseorang menghalangi jalannya. Ia mendongak untuk melihat.

"Charlos?"

Sempurna.

"Kamu tidak memanggilku 'bapak' lagi?" Charlos tersenyum. Ya Tuhan, dunia serasa berputar. "Kamu mau ke mana?"

Rissa berbalik badan, berusaha berjalan memutar ke mana saja asal tidak perlu berhadapan dengan pria itu. Kakinya lemas sekali. Ternyata kecerobohannya masih terus berlanjut sampai ke jenjang di mana pinggulnya menabrak ujung meja.

Rasanya memang sakit, tapi Rissa yakin ia bisa menahan diri untuk tidak mengusap pinggulnya yang berdenyut-denyut sampai ia tidak terlihat lagi oleh Charlos.

Jalan buntu.

Di ujung jalan ternyata hanya ada sebuah pintu. Tidak ada tangga turun atau pun lift. Ia tidak bisa ke mana-mana lagi. Oh tidak. Rissa meringis. Ia bisa merasakan langkah kaki pria tampan itu semakin mendekatinya.

"Kamu mau ke ruanganku?" tanyanya. "Aku pikir kamu mau pulang. Tapi kalau kamu mau mengobrol denganku, kita bisa berbicara di dalam."

Charlos melewatinya dan membuka pintu di depannya. Ruangan itu begitu luas dan mewah. Di ujungnya terdapat meja kerja lebar. Kursi direktur bertengger di belakang meja, menanti sang pemilik untuk mendudukinya.

"Ayo masuk!" Charlos memiringkan kepalanya.

"Maaf, Pak. Saya... Tadi saya... Ponsel saya..." Rissa terbata-bata. "Sebaiknya saya pulang. Permisi."

"Tunggu!" Charlos menahan bahu Rissa yang telah berbalik untuk kabur. "Kamu mau mengambil ponselmu kan? Kenapa kita tidak mengobrol sebentar?"

Dengan perlahan Rissa menurunkan tangan Charlos dari bahunya. "Saya memang mau mencari ponsel saya yang tertinggal, tapi di sana tidak ada. Jadi sebaiknya saya pulang saja. Permisi."

"Kenapa kamu menghindar? Ponselmu ada di sini."

Rissa menghentikan langkahnya lalu berbalik. Charlos sedang menggoyang-goyangkan ponselnya di tangannya. Terpaksa ia masuk ke dalam ruangan besar itu. Rissa hendak mengambilnya tapi Charlos menahannya. Ia menutup pintu ruangannya lalu menguncinya.

Jantung Rissa terasa melompat sampai ke tenggorokannya. Semoga saja Charlos tidak memperhatikan tangannya yang gemetaran.

"Baju kamu basah," kata Charlos. Ia menatap kemeja Rissa dengan pandangan khawatir. "Apa aku perlu meminjamkanmu jaketku lagi?"

Pria tampan itu sungguh tidak perlu sebegitu perhatiannya pada Rissa. Ia bisa memberikan semua perhatian itu pada kekasihnya.

"Saya..." Rissa menunduk, "Saya hanya mau mengambil ponsel saya saja. Kalau Bapak tidak keberatan..."

Charlos menjulurkan tangannya, ponsel Rissa di tangannya. Perlahan Rissa mengambilnya lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Terima kasih, Pak. Permisi."

Kali ini Charlos menyambar pergelangan tangannya.

"Sejak tadi kamu pamit terus. Kenapa? Apa kamu tidak mau bericara lagi denganku?" todong Charlos. Pria itu menatapnya tajam, nyaris menusuk hati Rissa.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan," jawab Rissa dingin. "Lepaskan tanganku!"

"Hei! Memangnya apa salahku? Kenapa kamu jadi judes seperti itu?"

Pria itu bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya malu dan menyesal karena Rissa telah melihatnya sedang bermesraan dengan kekasih prianya.

Rissa menarik napas dalam-dalam. "Pak Charlos..."

"Kamu terus menerus memanggilku bapak!" bentak Charlos sambil melepaskan tangan Rissa. Ia melakukan gerakan seperti menjenggut rambutnya sendiri. "Aku tidak suka. Sekarang jelaskan sikapmu itu! Aku tidak mengerti di mana salahnya! Kamu mendukungku untuk menyatakan perasaanku pada Reva, padahal dari awal kamu memang tidak tahu kalau Reva itu seorang pria, ya kan!"

Rissa terdiam. Jantungnya berdetak cepat, antara emosi dan juga takut. Ia tidak pernah melihat Charlos segalak itu padanya. Matanya yang tajam menyipit, terlihat menyeramkan. Rahangnya mengeras siap menerkam.

"Maaf..." kata Rissa parau.

Charlos mendekat. Rissa mundur, Charlos terus tergerak maju. Sampai akhirnya punggung Rissa menabrak tembok. Rissa tidak sanggup menatap matanya. Wajah mereka begitu dekatnya sampai Rissa bisa merasakan hembusan napas Charlos yang memburu, meniup wajahnya. Charlos memiringkan wajahnya. Rissa mengelak. Tangan Charlos meraih dagunya. Rissa berusaha melepaskan tangan Charlos, tapi pria itu tenaganya lebih besar. Charlos memaksanya bagaimanapun Rissa menolaknya. Lalu akhirnya pria itu menekankan bibirnya ke bibir Rissa.

Rissa melonjak. Tangannya terangkat lalu menampar Charlos. Ia mendorong Charlos sekuat tenaga. Pria itu diam saja. Rissa berbalik cepat, membuka kunci pintu yang syukurlah masih tergantung. Ia melesat pergi meninggalkan gedung Golden Group. Ia tidak akan menengok lagi ke belakang, tidak akan.

Matahari sudah hampir tenggelam. Menandakan sudah habis riwayatnya dengan Charlos. Tidak ada kenangan apapun yang tersisa. Ia tidak bisa memperhitungkan itu sebagai sebuah ciuman. Sikapnya begitu kasar. Ia mengelap pipinya yang basah oleh air mata.

Ia berjanji pada dirinya, ia tidak akan bertemu lagi dengan Charlos. Perjanjian kontrak telah ditanda tangani. Ia tidak perlu ikut latihan paduan suara lagi. Lagipula pria sibuk itu tidak mungkin berkomitmen untuk terus ikut latihan dan benar-benar pentas saat natal nanti.

Langkahnya begitu berat dan lemas. Ia telah kehabisan seluruh tenaganya. Penglihatan Rissa semakin kabur saat matanya tergenang air mata. Pria itu telah memilih jalannya sendiri dan ia tidak melihat ada yang salah dengan perbuatannya. Rissa berpikir tidak ada seorang pun yang dapat menyadarkannya selain dari dalam dirinya sendiri.

Untuk apa Charlos memaksa menciumnya? Apa ia semacam kelinci percobaan? Pria itu pasti berpikir kalau dirinya hanyalah wanita murahan yang begitu mudah untuk diperdaya. Rissa menjerit.

Ia sama sekali bukan wanita seperti itu. Ciuman pertamanya begitu buruk dan mengerikan. Ia berciuman dengan pria tampan yang sangat ia cintai tapi pria itu pernah berciuman dengan pria lain. Itu benar-benar sulit untuk diterima.

Sebuah mobil berhenti di depannya. Seorang pria keluar dari dalam mobil, menghampirinya. Pria itu memakai jas hitam. Tubuhnya jangkung sekali. Rambutnya ikal sebahu. Kulit wajahnya putih dan mulus. Si pria tokoh kartun yang seperti di imajinasi Rissa, yang pernah ia lihat waktu itu di rumah Charlos, tersenyum ramah.