***
Aku dan Dina berjalan di jalan setapak yang licin dan menanjak. Di kanan dan kiri jalan setapak itu tumbuh semak belukar yang rimbun dan bunga-bunga liar yang mengeluarkan aroma khas hutan. Pemandangan hutan yang lebat dengan pepohonan besar yang menjulang mendominasi mata kami. Atas petunjuk Tante Ratih, aku dan Dina pergi ke daerah Pegunungan Seribu ini untuk mencari seorang penyihir yang sangat hebat, tapi orang-orang bilang menyebutnya sebagai orang pintar, bernama Nenek Lintar. Tanteku bilang Nenek Lintar memiliki kemampuan yang mirip dengan Tante Ratih. Nenek Lintar hidup sendirian di daerah pegunungan. Setelah mendengar penjelasan Tante Ratih, tanpa membuang waktu aku segera mengajak Dina menemuinya. Mumpung ini hari Minggu juga kan? Dan di sinilah kami. Berjalan di jalan setapak di tengah hutan pegunungan yang sepi.
"Haaah. Capek sekali. Kenapa ada orang yang mau tinggal di tempat seperti ini sih?" gerutu Dina yang berjalan di depanku.
"Sabar Dina. Sebentar lagi kita sampai kok." kataku pada Dina sok tahu. Padahal aku sama sekali tidak tahu berapa jauh lagi tujuan kami itu.
"Kenapa kita tidak minta Agni atau Reza menemani kita?" tanya Dina.
"Dina, sahabatku yang baik. Apa kau sadar peristiwa pembunuhan teman-teman kita terjadi saat sekolah kita kedatangan orang-orang asing seperti Agni, Bagas dan Reza. Walaupun Tante Ratih bilang tidak mendeteksi energi supranatural dari mereka, tapi aku tidak mempercayai mereka." jawabku sambil terus berjalan.
"Apa maksudmu Bulan?" Dina berhenti dan berbalik menatapku. Aku menghela nafas.
"Mereka semua adalah tersangka, Dina. Tersangka pembunuhan teman-teman kita. Bagaimana kalau di tempat yang sunyi ini mereka membunuh kita lalu membuang mayat kita di tengah hutan? Kau mau itu terjadi?" tanyaku yang langsung membuat Dina mencengkeram lenganku.
"Kau jangan mengatakan hal mengerikan seperti itu dong! Kau membuatku takut!" jerit Dina.
"Tapi memang begitu kan? Coba kau pikir lagi?" kataku pada Dina. Dina mendelik ketakutan. Cengkeramannya di lenganku semakin kuat hingga terasa sakit.
"Lepaskan tanganku Dina. Sakit tau!" teriakku sambil melepaskan cengkeraman Dina dari tanganku.
"Salah siapa menakutiku!" balas Dina kesal. Dina berbalik lalu berjalan cepat meninggalkanku. Sesampai di puncak bukit Dina tiba-tiba berhenti. Aku segera menyusulnya.
"Kenapa berhenti?" tanyaku.
"Kurasa kita sudah sampai." kata Dina sambil menunjuk ke suatu arah.
Aku melihat ke arah tempat yang ditunjuk oleh Dina. Di balik beberapa pohon gamal yang sedang berbunga lebat berwarna pink keunguan terdapat sebuah rumah sederhana. Rumah itu terletak di dataran yang terlihat seperti sebuah lembah yang tidak terlalu luas yang posisinya yang lebih rendah tempat aku dan Dina berdiri. Di belakang rumah itu tampak sebuah bukit berbatu yang hanya ditumbuhi semak belukar, rumput ilalang dan beberapa gelintir pohon jambu monyet dan pohon berdaun bulat yang tidak aku kenal namanya.
"Kau benar Dina. Aku rasa itu memang rumah yang kita tuju." Aku segera melangkah mendekati rumah itu. Kami harus sedikit lebih berhati-hati karena jalanan yang menurun dan sedikit basah.
Rumah itu tampak sangat terawat walaupun sederhana. Halamannya dipagari dengan pagar hidup berupa semak berbunga ungu berbentuk teropet kecil dengan beberapa pohon gamal yang berbau khas menyengat yang sedang berbunga lebat menyelinginya. Halamannya yang luas itu terbagi dua oleh jalan masuk selebar kira-kira satu meter yang menghubungkan rumah dengan pintu pagar halaman sebagai pematangnya. Halaman di tiap sisi dibagi menjadi beberapa bedeng. Tiap bedeng ditanami dengan tanaman sayur yang berbeda-beda. Ada yang ditanami bayam, cabai yang sedang berbuah lebat, tomat yang sedang berbunga dan juga terong yang kelihatannya baru saja ditanam, juga selada hijau yang tumbuh subur. Sebuah pagar dari kayu berfungsi sebagai pintu pagar halaman terpasang pada sebuah pohon gamal dengan kawat yang diikatkan pada pohon itu sebagai engselnya. Aku dan Dina berdiri di depan pintu pagar kayu itu sambil saling menatap.
"Cepat tekan belnya, Bulan." kata Dina tiba-tiba sambil terkikik geli. Aku hanya memutar bola mataku sebal dengan candaan Dina yang garing itu.
"Masuklah. Aku sudah menunggu kalian."
Tiba-tiba suara perempuan tua terdengar dari dalam rumah. Aku dan Dina kembali saling menatap dengan perasaan kaget dan bingung.
" Kenapa dia bisa tahu kedatangan kita? Tidak mungkin kan dia memasang kamera cctv?" tanya Dina terlihat takut. Aku memutar bola mataku menanggapi omongan ngawur Dina itu.
"Mana ku tahu?" jawabku.
"Apalagi yang kalian tunggu? Cepat masuklah." Suara perempuan tua itu terdengar lagi.
Aku segera membuka pagar kayu itu lalu memasuki halaman, atau lebih tepatnya kebun sayur itu. Dina mencengkeram lenganku erat dan tidak mau melepaskannya hingga kami mencapai beranda rumah. Beranda itu berlantai semen dan lebih tinggi sekitar tiga puluh senti dari halaman rumah, dengan pagar kayu di sisi kanan dan kiri. Terdapat sebuah amben dari bambu di sudut beranda dekat pagar beranda di bawah jendela kayu yang terbuka. Aku mendekati pintu rumah yang terbuat dari kayu tanpa cat itu. Cengkeraman Dina di lenganku terasa semakin kuat dan mulai terasa sakit.
"Lepas!" Aku melepaskan cengkeraman Dina dari lenganku. Dina hanya mendengus kesal.
" Permisi." kataku setelah mengetuk pintu perlahan.
"Masuklah. Pintunya tidak dikunci." Suara itu mempersilahkan kami.
Aku membuka pintu perlahan. Sebuah ruang tamu sederhana berlantai keramik berwarna putih terlihat. Tidak ada meja atau pun kursi tamu di ruangan itu. Sebuah tikar plastik lebar berwarna hijau terhampar di tengah ruang tamu dengan meja rendah terdapat di atasnya. Seorang nenek tua berambut putih duduk di belakang meja itu. Rambut putihnya disanggul ke atas. Ada sebuah tusuk konde emas berkilauan menghiasi sanggulnya itu. Nenek itu menatap kami sambil tersenyum ramah.
"Masuklah." kata nenek itu.
Aku segera melepas sepatuku lalu masuk. Dina meniru perbuatanku. Dengan perasaan tegang dan jantung yang berdebar kencang, aku berjalan memasuki rumah itu. Aku berhenti dan berdiri di hadapan nenek itu.
"Duduklah." suruh nenek itu.
Aku dan Dina menurut. Kami duduk di hamparan tikar di hadapan nenek itu dibatasi oleh meja kecil.
"Permisi Nek. Nama saya Bulan dan ini teman saya Dina. Kami berasal dari Jogja. Kedatangan kami ke sini bermaksud untuk menemui Nenek Lintar. Apakah.. Apakah nenek yang bernama Nenek Lintar?" tanyaku dengan perasaan gugup.
"Iya benar. Aku Nenek Lintar." jawab nenek itu sambil tersenyum.
"Kami kesini bermaksud meminta pertolongan pada Nenek Lintar. Kami mohon pada Nenek agar mau membantu kami menemukan seseorang." Aku memohon.
"Aku tahu. Tapi yang kalian lakukan saat ini bukanlah tindakan yang bijaksana. Aku tahu orang yang kalian cari. Sebaiknya kalian tidak berurusan dengannya. Dia adalah orang yang berbahaya, terutama untukmu Bulan." Nenek Lintar memperingati.
Aku tahu benar maksud dari ucapan Nenek Lintar itu.
"Saya tahu Nek. Oleh karena itu kami mohon bantu kami untuk menemukannya agar kami bisa menghentikannya." Aku kembali memohon.
"Bukannya aku tidak mau Bulan. Tapi penyihir yang sedang kau cari ini menutupi dirinya dengan tabir gaib yang sangat kuat. Aku sudah berkali-kali mencoba menemukan penyihir itu tapi kekuatan penyihir itu sangat kuat. Aku tidak bisa menembus tabir yang menyembunyikan keberadaannya itu." kata nenek itu.
"Kalau begitu bantulah kami melawannya, Nenek. Saya mohon." Aku memohon dengan penuh harap.
"Aku tidak akan bisa, Bulan. Kekuatan orang itu lebih besar dari kekuatanku karena ritual yang dilakukannya sudah hampir selesai. Jika dia berhasil menyelesaikan ritual itu, dia tidak akan terkalahkan oleh penyihir mana pun." jawab Nenek Lintar. Perempuan tua itu terlihat cemas.
"Oleh sebab itulah saya harus menemukannya dan menghentikannya. Paling tidak berilah kami petunjuk untuk melawan kekuatan orang itu, Nek" Aku kembali memohon.
"Dalam buku ritual itu hanya tertulis sebuah kalimat yang bunyinya, "Darah hanya bisa dibasuh dengan darah. Darah perawan yang paling suci adalah cahaya. Penawar bagi kegelapan dan kejahatan"." kata Nenek Lintar memberi petunjuk yang malah membuatku mengernyitkan dahi karena bingung dan tidak mengerti.
"Apa arti kalimat itu Nek?" tanyaku bingung.
"Aku rasa belum pernah ada penyihir yang mencari tahu arti dari petunjuk itu. Selama ini belum pernah ada satu pun penyihir yang mampu dan berhasil menyelesaikan ritual bulan darah itu. Selain peristiwa bulan merah sangat jarang sekali terjadi, bahkan bisa dibilang peristiwa yang langka, banyaknya jumlah korban yang harus ditumbalkan juga sangat menyulitkan karena mengundang kecurigaan masyarakat, pihak polisi dan pihak keamanan lainnya." terang Nenek Lintar panjang lebar.
"Meskipun kita bisa menemukan arti dari petunjuk itu kalau kita tidak bisa menemukan penyihir itu kan juga percuma." Aku mengeluh. Nenek Lintar tersenyum.
"Karena masa lalu dan sejarah sering mencatat para penyihir sebagai kelompok yang menentang para nabi dan para pembawa perintah Tuhan, semua orang selalu menganggap penyihir adalah orang yang berbahaya dan harus dibasmi. Oleh karena itulah para penyihir biasanya menyembunyikan kekuatannya agar terlihat sebagai manusia biasa." ucap Nenek Lintar. Orang tua itu menarik nafas lalu menghembuskannya pelan.
"Akan tetapi ada juga penyihir yang gila kekuatan dan menggunakannya untuk tujuan yang biasanya tidak baik. Dan karena didorong rasa superior-nya itu, penyihir seperti itu selalu ingin menunjukkan kekuatannya pada orang lain." lanjut Nenek Lintar.
"Seperti penyihir yang melakukan ritual bulan darah itu?" tanyaku.
"Benar sekali. Dia pasti berencana melakukan sesuatu yang besar hingga memerlukan kekuatan yang mengerikan seperti itu. Penyihir semacam itu pasti selalu menggunakan kekuatannya untuk mempermudahnya untuk melakukan ritualnya. Ingat. Ritual itu membutuhkan korban manusia. Oleh karena itu, penyihir itu pasti menggunakan kekuatan sihirnya untuk memanipulasi korban dan orang-orang di sekitarnya agar perbuatannya tidak ketahuan." jelas Nenek Lintar.
"Maksudnya Nek?" tanya Dina dari tadi hanya diam saja.
"Kalau misalnya kau adalah penyihir yang akan melakukan ritual itu, kau akan membutuhkan seorang korban dan sebuah tempat yang terbuka. Bagaimana bisa kau membunuh dan melakukan ritual di sebuah sekolah yang dijaga dua orang satpam tanpa ketahuan? Bagaimana bisa kau membuat orang di sekitar tempatmu melakukan ritual tidak mendengar jeritan dan teriakan korban saat kau menumbalkan mereka? Semua itu mereka lakukan dengan kekuatan sihir." Nenek Lintar menjelaskan.
Aku mendengarkan semua penjelasan Nenek Lintar itu dengan rasa penasaran yang makin besar.
"Memangnya apa yang bisa penyihir lakukan dengan kekuatannya?" tanya Dina penasaran.
"Melihat masa lalu dan masa depan seseorang seperti Bulan, telekinesis atau menggerakkan benda, membuat ramuan sihir, hipnotis, membuat ilusi pada pikiran seseorang atau mempengaruhi dan mengendalikan pikiran orang itu, membuat tabir gaib yang bisa menyembunyikan sesuatu atau seseorang, merasakan dan mencari keberadaan seseorang meski berjarak sangat jauh seperti Tantenya Bulan itu, santet, tenung, dan masih banyak kemampuan lainnya. Semakin kuat penyihir itu semakin banyak pula kemampuan yang dimilikinya. Skala kekuatan dan cakupannya juga semakin besar dan luas." Nenek Lintar kembali menghela nafas setelah menerangkan panjang lebar. Nenek itu terlihat semakin tidak suka dengan apa yang akan diungkapkannya.
"Para penyihir menyebut ritual bulan darah itu adalah ritual untuk mendapat kekuatan dewa. Aku tidak bisa membayangkan sebesar apa kekuatan yang diperoleh penyihir itu saat dia menyelesaikan ritual itu." Nenek Lintar terlihat sangat khawatir.
"Karena itu kita harus menemukannya secepatnya Nek. Kita tidak bisa membiarkan penyihir yang jahat itu memiliki kekuatan sebesar itu begitu saja kan?" Aku jadi ikut khawatir.
"Tapi bagaimana cara membedakan penyihir dengan manusia biasa tanpa punya kemampuan seperti Nenek Lintar dan Tante Ratih? Apakah penyihir mempunyai ciri fisik yang khusus yang bisa dikenali oleh orang biasa Nek?" tanyaku.
"Kau itu gadis yang pemberani ya?" Nenek Lintar tersenyum sambil memandangku.
"Mereka itu terlihat seperti manusia normal lainnya, kecuali saat mereka menggunakan kekuatannya. Penyihir akan fokus menatap obyek sasaran sihirnya. Pada saat itu mata seorang penyihir akan bersinar seperti mata kucing tanda dia sedang mengerahkan kekuatannya." kata Nenek Lintar menerangkan.
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Nenek Lintar itu Dina terlihat kecewa. Wajahnya terlihat khawatir.
"Sepertinya kunjungan kita ke rumah Nenek Lintar sia-sia saja. Dan bahkan nenek yang dibilang penyihir kuat itu pun tidak bisa membantu kita." kata Dina cemas.
"Tidak juga. Kita kan mendapat petunjuk untuk bisa mengalahkan kekuatan penyihir itu." kataku optimis.
"Maksudmu puisi tidak jelas itu. Kalau menurutku sih itu bukan petunjuk namanya, tapi teka-teki. Mending kalau gampang. Lha ini malah buat kita makin pusing saja." omel Dina kesal.
****
TEEET! TEEET! TEEET! Suara bel tanda pelajaran usai telah terdengar dari gedung sekolah bercat hijau, yaitu sekolahku, SMU Tunas Bangsa. Para siswa segera keluar dengan tergesa dengan wajah gembira seakan baru saja bebas dari siksaan, yaitu siksaan pada otak mereka yang dijejali berbagai pelajaran sejak pagi hingga menjelang sore ini. Tapi bukan hanya pelajaran saja yang menyiksa siswa-siswi SMU Tunas Bangsa akhir-akhir ini, tapi juga kehadiran para wartawan dari berbagai media di sekolah ini. Para wartawan itu sedang mencari berita tentang pembunuhan gadis putri penjaga kantin yang mayatnya ditemukan di sebuah kebun kosong di dekat rumahnya yang ada di kampung di seberang jalan di depan sekolahku ini. Meski peristiwa itu sudah lebih dari seminggu yang lalu, masih ada saja wartawan yang datang mencari berita.
"Bulan. Besok aku mau ketemuan dengan teman SMP ku saat aku sekolah di Bandung dulu. Kita mau ketemuan di mall. Kau mau ikut tidak? Sekalian jalan-jalan. Besok kan hari Minggu. Nanti aku kenalin kalian deh. Dia itu sahabat dekatku lhoo." kata Dina antusias. Dina terlihat senang sekali.
"Tidak mau ah. Aku capek. Aku mau tidur saja." jawabku.
"Hai adik-adik manis. Boleh aku mewawancarai kalian?"
Sebuah suara dengan pertanyaan yang sangat kami benci menyapa kami. Amarahku langsung keluar. Aku dan Dina serempak berbalik, dan menemukan Reza yang tersenyum sambil menghampiri kami.
"Reza! Kau mengagetkan kami!" Dina mendelik kesal.
"Hampir saja aku mau menghajarmu. Huh! Aku benci wartawan!" kataku kesal.
"Hey! Jangan begitu dong. Kami kan hanya menjalankan pekerjaan kami saja." kata Reza membela diri.
"Tetap saja kalian itu mengganggu!" Dina berteriak kesal pada Reza.
"Sudahlah. Kenapa kalian jadi berkelahi sih?" Aku berusaha menengahi keduanya.
"Maafkan aku. Aku tadi hanya bercanda kok. Oh iya. Aku juga mau menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya gadis itu. Kalian pasti merasa sedih dan sangat kecewa." kata Reza.
"Kau benar. Kami telah kecolongan. Gadis itu tidak ada dalam daftar kami." kataku sedih.
"Itu semua salahku. Pagi itu, sebelum kita ke rumah Bagas, saat aku sarapan di kantin, aku melihat ada yang memberi ucapan selamat ulang tahun pada gadis itu. Tapi aku lupa mengatakannya padamu Bulan. Maafkan aku." ucap Dina sambil menunduk sedih.
Oh. Aku ingat sekarang. Jadi itu sebabnya kalender di kantin pada hari itu tanggalnya dilingkari dengan spidol merah. Ternyata hari itu adalah ulang tahun gadis itu dan sekaligus hari kematiannya. Benar-benar tragis. Senyuman gadis itu ternyata senyum terakhir yang aku terima dari gadis baik itu.
"Sudahlah Dina. Itu bukan salahmu. Kita kan sudah berusaha sebaik mungkin untuk mencegah pembunuhan itu." hiburku. Aku merangkul pundak sahabatku itu.
"Lagi pula penyihir itu pasti menutupi ritualnya dengan kekuatan sihirnya hingga tidak ada seorang pun tahu meski dia melakukan ritualnya di tempat terbuka sekalipun. Apalagi kekuatan penyihir itu semakin bertambah karena dia hampir menyelesaikan ritualnya." tambah Reza. Nenek Lintar juga berkata seperti itu, batinku.
Aku jadi teringat Bagas yang tiba-tiba menghilang dari rumahnya dan muncul di dekat tempat pembunuhan gadis itu. Ditambah lagi Bagas juga sudah mengakui kalau dirinya telah membunuh seseorang meski saat ditanya dia tidak ingat siapa yang dia bunuh. Semua bukti menunjukan jika Bagas adalah pelaku pembunuhan itu. Meski aku tidak yakin orang seperti Bagas bisa membunuh orang. Selain itu Tante Ratih juga tidak bisa mendeteksi kekuatan supranatural darinya. Aku jadi bingung apakah Bagas itu pembunuh atau bukan?
"Apakah ada kemungkinan penyihir itu menggunakan orang lain untuk mendapatkan korbannya? Maksudku seperti menyihir seseorang untuk menuruti perintahnya?" tanyaku.
Dina menatapku. Dia pasti tahu hal yang kutanyakan itu pasti menyangkut tentang Bagas. Dina tahu aku belum mau menerima kalau Bagas adalah pembunuh itu. Dina hanya menggelengkan kepalanya. Tapi Dina juga tidak berkata apa pun pada Reza. Dia memang sahabatku yang sangat pengertian.
"Itu bisa saja. Untuk menghindari kecurigaan dan juga menjadikan seseorang sebagai kambing hitam atas perbuatannya, kemungkinan penyihir menghipnotis seseorang untuk jadi kaki tangannya dalam kejahatannya itu." terang Reza.
"Oya. Aku sudah menemukan buku tentang ritual bulan darah itu. Ada petunjuk untuk mengalahkan kekuatan penyihir yang melakukan ritual itu. Tapi aku belum bisa mengungkap arti dan maksud dari petunjuk itu. Aku akan membacakannya untuk kalian. Mungkin kalian punya pandangan mengenai arti dari petunjuk itu" ucap Reza.
Reza mengeluarkan buku catatannya. Tapi sebelum Reza membacakan bukunya Dina sudah mengacungkan telapak tangannya di depan Reza untuk mencegahnya membaca petunjuk itu.
"'Darah hanya bisa dibasuh dengan darah. Darah perawan yang paling suci adalah cahaya. Penawar bagi kegelapan dan kejahatan'. Kami sudah tahu. Tapi kami juga belum menemukan arti dari puisi teka-teki memusingkan itu." Dina terlihat kesal.
Reza terbelalak kaget saat mendengar Dina membacakan petunjuk itu dengan tepat.
"Dari mana kalian tahu kalimat petunjuk itu?" tanya Reza heran.
"Anggap saja kami sudah mengerjakan PR kami." jawaban Dina sombong menirukan ucapan yang pernah aku katakan pada Reza dulu. Aku tersenyum geli.
"Kalian ini benar-benar anak pintar dan pemberani. Aku jadi kagum pada kalian." puji Reza.
"Kami gitu lhoo." Dina menepuk dadanya bangga. Atau sombong? Hah. Sudahlah.
"Hey! Kalian masih main detektif-detektifan yaa?"
Terdengar suara yang langsung membuat wajah Dina berubah menjadi kesal. Aku menoleh ke arah asal suara dan mendapati Agni sedang berjalan menghampiri kami.
"Kami ini tidak sedang main-main tahu!" sembur Dina marah.
"Yayaya. Terserah apa katamu saja deh." jawab Agni enteng sambil terus berjalan ke arahku. Begitu sampai di dekatku Agni langsung merangkul pundakku.
"Hai Bulan sayang. Kau terlihat emm..." Agni menatapku sejenak.
"..agak mengantuk? Tapi walaupun begitu kau tetap manis kok." gombalnya. Aku memutar bola mataku, bosan dengan gombalannya yang tidak bermutu itu.
"Lepaskan. Apa kau tidak malu sama mereka?" Aku menjauhkan tangan Agni dari pundakku.
"Kenapa harus malu? Kau kan pacarku?" Agni kembali mendekatiku. Aku mendelik kesal.
"Aku kan belum bilang setuju! Lagi pula Tanteku tidak mengijinkanku pacaran. Aku tidak mau membuatnya marah. Aku tidak mau diusir dari rumah Tante Sekar karena melawan perintahnya." kataku lantang dan mantab. Sekarang aku punya alasan kuat untuk menolak Agni. Sejenak Agni menatapku.
"Jadi Tante Ratih melarangmu pacaran yaa?" tanya Agni. Dia menggaruk kepalanya sejenak, lalu tiba-tiba dia tersenyum.
"Kalau begitu kita pacaran diam-diam saja. Oke?" katanya enteng. Aku mendengus kesal.
"Kamu ini nggak ngerti juga yaa?! Dilarang pacaran itu artinya tidak boleh, meski pacarannya diam-diam, terang-terangan, gelap-gelapan atau pun remang-remang. Kau itu bodoh atau apa sih?!" teriak Dina jengkel.
"Biarin. Pokoknya aku tidak mau pisah dari Bulan dan aku tetap jadi pacarnya Bulan. Titik!" kata Agni cuek. Lalu menatap Reza.
"Dan kau jangan dekat-dekat dengan Bulan!" Agni menunjuk Reza.
"Hey! Kami kan ketemu untuk membicarakan soal.."
" Aku tidak peduli yang kau bicarakan dengan Bulan. Aku bosan mendengarnya." Agni memotong ucapan Reza sebelum pemuda itu menyelesaikannya.
"Bulan, sebaiknya kau jangan dengarkan kata-kata wartawan gadungan itu yaa. Dan sebaiknya kau tidak mengurusi masalah yang berbahaya seperti itu. Kan sudah ada polisi." Agni berkata sambil membelai kepalaku.
Aku menjauhkan tangannya dari kepalaku sambil menahan rasa kesalku. Sudah memaksa aku jadi pacarnya, dia juga berani pegang-pegang kepalaku, kini sok menasehati lagi. Menyebalkan sekali.
"Oya. Aku tidak bisa menemanimu lama-lama. Aku ada balapan untuk dimenangkan. Nanti hadiahnya buat Bulan deh. Daaah Bulan sayang."
Agni langsung pergi begitu saja. Aku jadi ingat ada tugas kelompok Bahasa Indonesia dari Pak Hendry yang harus dikumpulkan besok. Sialnya aku satu kelompok dengan Agni.
"Hey! Kau Mau ke mana? Kita harus mengerjakan tugas kelompok dari Pak Hendry yang dikumpulkan besok!" teriakku pada Agni.
Agni terus saja berlalu dan hanya melambaikan tangannya sebagai jawabannya yang artinya aku harus mengerjakan tugas kelompok itu sendiri. Huh. Sial!
"Dia itu sering ikut balap liar?" tanya Reza.
"Padahal aku sudah bilang padanya untuk tidak ikut-ikutan balap liar itu. Tapi mana mau dia mendengarkan aku. Agni itu selalu saja berbuat semaunya. Ucapanku hanya dianggap angin lalu saja!" Aku marah-marah.
"Yah begitulah kalau kau pacaran sama cowok berandalan." ejek Dina.
"Kau jangan memancing emosiku Dina!" Aku menatap Dina dengan perasaan kesal.
"Yang memancingmu itu kan pacarmu yang berandalan itu! Kau jangan suka nyalahin orang dong!" balas Dina.
Dina juga mulai marah. Reza tampak menghela nafas melihat pertengkaran antara aku dan Dina.
"Padahal besok sore itu adalah malam bulan purnama merah. Fenomena langka yang sangat ditunggu oleh penyihir itu. Tapi kalian masih bertengkar seperti ini. Bulan kau ingat kan?" kata Reza menatapku.
"Benar juga. Kenapa aku jadi lupa."
Aku jadi berdebar mengingat sasaran selanjutnya adalah gadis yang lahir pada saat bulan purnama yaitu aku sendiri.
"Oya. Mengenai korban ritual itu, aku menemukan sesuatu yang mengejutkan. Apakah kalian tahu kalau salah satu korban ritual di Bandung adalah teman dekat Bagas, atau lebih tepatnya tunangannya?" Pertanyaan Reza itu membuatku sangat terkejut. Begitu juga dengan Dina.
"Apa kau bilang? Tunangan Bagas?" tanyaku setelah sadar dari rasa terkejutku.
"Iya. Namanya Shelina. Kau pasti terkejut saat melihat fotonya." ucap Reza antusias.
Reza memberikan sebuah guntingan koran berisi berita lengkap dengan foto. Aku terbelalak kaget melihat foto dalam guntingan koran itu. Tanganku bergetar saat menyentuh foto seraut wajah itu.
"Ini.. siapa?" tanyaku dengan perasaan tidak percaya. Bagaimana tidak? Wajah itu dan rambut panjang yang membingkainya, dan juga poni lurus itu. Aku seperti melihat fotoku sendiri.
"Coba aku lihat." Dina mengambil potongan koran itu dari tanganku. Dina tampak melotot kaget. Dia menatapku lalu kembali melihat potongan koran di tangannya.
"Benar-benar mirip dirimu, Bulan. Kau tinggal melepas kunciranmu dan wajah kalian akan sama persis, bagai kembar identik. Dia kembaranmu? Kenapa kau tidak pernah cerita punya saudara kembar?" tanya Dina yang mendadak jadi heboh sendiri. Aku hanya diam.
Shelina. Gadis itu bernama Shelina, tunangan Bagas. Aku jadi ingat. Malam bulan purnama itu saat kami semua berkumpul di rumah Tante Ratih, saat menciumku, Bagas juga memanggilku dengan nama itu. Dia juga bilang sangat merindukan Shelina. Mungkin malam itu Bagas menganggapku sebagai Shelina saat menciumku. Padahal itu adalah first kiss untukku, tapi Bagas bahkan menganggap yang diciumnya bukanlah aku, tapi Shelina, tunangannya. Entah kenapa ada rasa sakit yang tiba-tiba terasa di hatiku.
"Bulan. Kau tidak apa-apa?"
Suara Reza mengagetkanku. Aku mendongak, menatap wajah Reza yang entah sejak kapan sudah berdiri di depanku.
"Aku tidak apa-apa." jawabku sambil tersenyum. Reza mengusap kepalaku sejenak.
"Aku tahu kau takut. Tapi kau kan tidak sendirian. Ada aku dan Dina. Setelah ini aku mau menyusul Agni dan minta agar dia menjagamu. Aku pamit dulu." pamit Reza.
Reza berbalik lalu berjalan ke arah gerbang sekolah. Sebelum sampai gerbang Reza menoleh.
"Aku akan datang ke rumahmu besok, Bulan. Kau hati-hati yaa.." pesan Reza.
Pemuda itu melambaikan tangannya lalu pergi. Aku membalas melambaikan tangan sekali. Aku menatap Reza yang berjalan menyeberangi jalan. Kulihat dia menghampiri sebuah motor sport warna biru yang terparkir di depan kedai mie ayam dan menaikinya. Sesaat kemudian Reza sudah melesat dengan motornya. Aku menghela nafas. Dina merangkul pundakku.
"Tenanglah. Besok aku juga akan ikut menjagamu. Setelah menemui temanku, aku akan langsung ke rumahmu. Aku juga akan mengajak Ryan." Dina mengusap pundakku. Aku tersenyum.
"Terima kasih ya. Kalian semua sangat baik padaku." Aku balas memeluk sahabatku itu dengan erat.
Bersambung..