Tak pernah Max kira jika ia akan mensyukuri kemunculan Axton, oleh karenanya ia bisa menghela nafas lega. Ia bisa membandingkan Axton kali ini seolah titisan sesuatu yang suci yang turun dari langit karena rasa bersyukurnya.
'Syukurlah kau selamat saat ini sayang.' Batin Max. Tetapi Max tau jika Axton adalah masalah lain yang harus ia hadapi bersama Patricia. Terlebih anggota Blackfire ini sudah mengetahui jika ia menyerahkan chip bukti kejahatan Smith pada Dimitri.
Axton tidak menyadari jika adiknya pergi dari ruangan penjara Max dengan perasaan tidak karuan. Perhatian Axton yang terus menatap Patricia mengalihkan fokusnya yang biasanya peka terhadap perasaan sang adik. Pemandangan berupa gadis molek hampir telanjang sempurna meraih semua perhatiannya.
"Ck, kebiasaan buruk Smith tidak berubah." Axton mendesah sambil menggelengkan kepalanya.
Axton tak pernah melepaskan pandangannya dan mengamati tubuh wanita setengah telanjang ini dengan rakus. Dia mengulurkan tangan untuk mengangkat gadis ini dari lantai.
"Ngh... "
Tanpa sadar Axton mengeram ketika tangannya menyentuh kulit Patricia. Tak bisa dipungkiri jika darahnya juga berdesir hebat saat kulit tangannya menyentuh kulit telanjang Patricia. Terlebih aroma wine yang menguar dari tubuh gadis itu menambah kesan lezat yang menggoda.
"Axton, kau bawa kemana adikku!? " Max sedikit berteriak. Ia tidak bisa begitu saja membiarkan pria berbahaya membawa adiknya meski ia sudah menyelamatkan Patricia.
"Aku akan membawanya ke tempat yang layak, " jawab Axton dingin. "Jangan menguji kesabaranku, Max. Masalah yang timbulkan cukup untuk membuatku membunuhmu. Berterimakasihlah pada adikmu yang bisa kujadikan objek pertukaran. "
Max terdiam, ia tau tentang masalah itu. Tetapi mereka lupa jika Smith yang memaksanya melakukan hal tersebut. "Jaga adikku. Kumohon. "
"Jika aku menjaga adikmu itu hanya karena aku melakukan kesepakatan dengan Dimitri. "
Blam.
Dalam gendongannya, Patricia masih tertidur karena mabuk. Gadis itu terlihat sangat menggiurkan untuk dinikmati. Dan Axton bukanlah orang suci yang melepaskan sesuatu yang lezat.
"Aku berjanji melindungi mu dari Smith, tapi aku tidak berjanji melindungi mu dari ku.' batin Axton.
Dia melangkah ke markas khusus dirinya. Bibirnya tak bisa berhenti tersenyum saat membayangkan dia akan menjamah tubuh Patricia.
'Maaf saja, aku bukan orang suci. Aku adalah bajingan yang berada di dunia hitam.'
Yah, Axton begitu menginginkan tubuh Patricia. Melihat adik bodohnya yang ingin menjamah tubuh Patricia membuatnya terbakar. Jadi dia segera menghentikan perbuatan Smith sebelum terlambat. Padahal jika Axton mau, Smith bisa menikmati tubuh Patricia sepuasnya. Sangat konyol mengkhawatirkan jika Dimitri tau tentang pelecehan yang terjadi pada Patricia. Mana mungkin Dimitri tau informasi yang berada di markas. Bahkan lalatpun jika keluar harus seijin dirinya.
Kepala godfather itu sampai di kamar markas besarnya. Markas ini jauh lebih besar dan ketat dari markas Smitb. Penjagaan dan berbagai jebakan ada di sekeliling markas untuk melindungi dari serangan musuh.
"Selamat datang di ranjangku sayang..."
Tanpa membuang banyak waktu-- Axton menarik penutup terakhir yang dimiliki Patricia. Axton mendaratkan ciuman ke bibir Patricia. Lidahnya ikut mencicipi kulit yang terendam wine itu.
"Ini jauh lebih baik dari yang kubayangkan."
Sesaat kemudian terdengar suara khas orang bercinta di kamar milik Axton. Kedua orang itu terus menjerit dengan penuh gairah.
Patricia yang dalam keadaan tidak sadar terus mendesah tanpa tau jika pria yang berada di atasnya bukanlah pria yang berada dalam pikirannya.
.
.
.
.
Max telah dilepaskan dari penjara Smith, tapi dia beralih menjadi tawanan di markas Axton. Ini lebih baik dari pada tersiksa karena mengkhawatirkan kondisi Patricia. Ketika dia tiba di markas ini, Max di giring ke dalam kamar. Bibirnya tersenyum saat melihat Patricia tertidur pulas dengan piyama panjang yang membalut tubuhnya.
"Aku bersyukur di markas ini kau tidak mengalami pelecehan, sayang."
Max pun ikut membaringkan tubuhnya yang penuh luka di samping Patricia. Tak lama dia juga tertidur karena merasa cukup aman disini. Akhirnya ia merasakan ketenangan setelah beberapa hari ini tersiksa.
.
.
.
Di sisi lain, Axton mendiskusikan rencana agar Sean memberikan Terecia padanya. Bagaimanapun Axton tidak bisa berbuat seenaknya disini. Terlebih Sean adalah pria jenius yang setara dengan dirinya. Axton harus berhati-hati dalam menghadapi orang jenius seperti itu.
"Apa rencana kita sekarang, Kak?"
Smith bertanya dengan malas, bagaimanapun kakaknya ini telah menganggu kesenangannya. Tetapi sang kakak justru tidak menyadari jika dirinya tertarik pada wanita.
"Aku akan berbicara dengan Sean."
"Kau yakin?"
"Pasti, jangan lupa pancing Terecia untuk berada di tempat yang aku tunjukkan."
"Baik."
'Baiklah anak-anak, ayo kita bermain sedikit.' Axton menyeringai sambil melipat kedua tangannya.
Matanya terus mengawasi gerak-gerik wanita pirang pendek berpakaian minim. Wanita itu sedang belanja di mall yang berada di Kenned. Seakan tanpa beban dia menguras seluruh isi kartu ajaib milik sang suami. Wajahnya yang angkuh terus menyeringai seolah ia ratu yang bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan.
"Wow, aku tidak percaya jika Sean jatuh cinta pada wanita seperti itu. " Smith ikut memperhatikan Terecia yang sedang berbelanja.
"Bearti kau harus memperbaiki agen mu Smith. Aku tidak menyangka kau tidak menyadari sesuatu tentang Terecia yang membuat Sean memanjakannya. "
Smith tertegun, jadi ada sesuatu di balik ini semua.
'Aku sangat ketinggalan dengan informasi."
"Terecia, bersiaplah untuk kematian mu. Anggap saja kau sedang sial karena menjadi mangsa kami. " Axton memperbaiki zoot suitnya dan berdiri. Dia harus mempersiapkan segalanya agar masalah ini cepat selesai. Ini merupakan aksi pertamanya setelah beberapa waktu tidak mencampuri urusan tentang dunia hitam. Jadi Axton sedikit bersemangat karena bisa mengusir sedikit rasa bosannya. Tentu semua ini karena adik bodohnya yang kemampuannya masih di bawah standart.
TBC