Kediaman Sean, tepatnya di kamar pribadi sang pemilik, tergolek wanita berambut pirang pendek tengah terlentang di ranjang--terlentang dan menantang.
Lingerie hitam yang ia kenakan mempertontonkan bagian tubuh seksinya dengan sangat baik, tanpa menyisakan sedikitpun ruang bagi pria untuk berimajinasi.
Teresia menghadap langit-langit kamarnya yang bercat merah. Sangat kontras dengan warna cat dinding kamarnya yang berwarna lembut. Matanya terpejam seolah menikmati sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa ia raih.
"Dimitri..." Bibirnya mendesah menyebut nama adik tiri.
"Dimitri, kau begitu tampan..." Teresia membayangkan wajah Dimitri yang mempesona.
"Dimitri, aku terpesona dengan matamu meskipun mata itu kau memandangku dengan dingin tanpa perasaan."
"Aku mencintai bibirmu meskipun itu kau gunakan untuk menolak dan memuji wanita lain. "
"Oh Dimitri... Ngh."
Tetesia mencintai Dimitri dengan penuh kegilaan. Dia ingin memiliki adik tirinya itu tidak perduli apapun yang terjadi. Perasaan yang ia rasakan pada Dimitri tumbuh begitu saja tidak bisa ia kendalikan.
Terkutuk lah dengan ibunya yang menikahi ayah Dimitri, menjadikan dirinya kakak tiri dari pria yang diam-diam ia cintai. Terpaksa Teresia menahan perasaannya karena takut akan sang ibu. Teresia yakin ibunya akan menghabisinya jika berani mengusik posisinya sebagai nyonya Redford yang ia impikan dengan mencintai Dimitri.
Kini semua berlalu. Kematian Redford senior dan ibunya membawa kebebasan yang ia impikan. Teresia yakin jika kematian mereka membuka jalan baginya untuk mencintai Dimitri. Sayangnya Dimitri justru mencintai wanita lain--Vivian.
Itu adalah salah satu cerita masa lalunya. Kini ia adalah istri dari Sean Vionard, seorang tangan kanan Smith Blackfire.
Tiap malam ketika suaminya tidak berada di rumah, ia selalu membayangkan Dimitri. Seperti hari ini. Teresia mulai membelai tubuhnya sensual. Lalu meremas dadanya sendiri sambil membayangkan jika tangan yang mengerayangi tubuhnya adalah tangan Dimitri. Tak lupa bibirnya menyebut nama yang membuatnya tergila-gila itu.
"Dimitri... "Mata birunya masih menatap sayu foto pria merah bermata jade itu. Foto itu dipegang salah satu tangannya. Sementara tangan yang lain masih membelai tubuhnya.
"Begitu Dimitri, kau hebat oh."
Tangannya semakin aktif dalam membelai dirinya sendiri. Hanya dengan begini dia bisa merasakan klimaks, sangat berbeda jauh ketika Sean--sang suami yang menjelajahi dirinya.
Agar tidak mengecewakan Sean, ia harus selalu berpura-pura puas. Lalu bertingkah seolah telah klimaks agar tidak membuat Sean rendah diri karena tidak mampu memuaskan dirinya.
"Yah, Dimitri... Aku datang! "
Akhirnya jeritan kepuasan terdengar hebat dikamar pribadi Teresia. Sekali lagi ia mendapatkan klimaksnya dengan melakukan masturbasi dengan cara membayangkan Dimitri.
"Hahaha... Hiks hiks." Seperti malam yang sudah - sudah. Setelah melakukan masturbasi, Teresia menangis sekaligus tertawa. Dia menertawakan kelakuan bodohnya yang menyedihkan.
Waktu itu, cintanya yang bertepuk sebelah tangan membuatnya frustrasi hingga memprovokasi anak buah Dimitri untuk membunuh Vivian. Istri Dimitri yang sangat ia benci. Waktu itu dia berteriak minta tolong dan menunjuk Vivian yang memegang pistol yang ia lemparkan ke arah Vivian. Dia berteriak jika Vivian akan membunuhnya karena ketahuan akan membunuh Dimitri. Tanpa ragu anak buah Dimitri langsung menyerang Vivian, tapi anak buah Dimitri yang bertugas melindungi Vivian tidak membiarkan nyonya nya terluka. Hal itu menjadi penyebab bentrokan di antara mereka. Baru setelah Dimitri datang keributan itu berhenti. Sayangnya Vivian telah meninggal. Dan itu adalah ulah Teresia yang menembak Vivian untuk memuaskan hatinya.
Biarlah dia tidak mendapatkan Dimitri yang penting Vivian juga tidak bisa memiliki Dimitri.
Sadar jika berada dalam bahaya, Teresia segera meninggalkan lokasi saat Dimitri menginterogasi anak buahnya. Bermodal kecantikan yang mampu menarik perhatian Sean, dia menikah dengan pria jenius itu dan berlindung dari kejaran Dimitri. Berharap suatu hari Dimitri mendatangi dirinya dan menerima cinta tulusnya.
Temari mendesah panjang jika teringat kejadian itu.
Wanita pirang itu segera menuju kamar mandi dan membersihkan hasil masturbasi dirinya sesaat yang lalu.
Kenangan akan Vivian hadir di benak Dimitri. Duduk di mobil yang ia parkir di puncak bukit wilayah Kenned--Dimitri memandang ke arah lautan cahaya lampu di kota Kenned.
"Vivian, kau akan selalu di hatiku. Maafkan aku yang mulai mencintai gadis lain. "
"Aku jatuh cinta padanya dengan begitu mudah. Entah apa yang membuatnya istimewa, dia begitu mudah dicintai oleh siapapun. "
"Besok, akan menjadi hari dimana aku akan membalaskan dendammu. Juga hari di mana aku akan memulai cinta baru bersama Patricia. "
Dimitri memejamkan mata, perlahan dia menghembuskan nafas dari paru-parunya untuk melegakan perasaan kosong di hatinya. Perasaan kosong yang kembali ia rasakan ketika Patricia tidak lagi berada di sisinya.
Tangannya mengambil telepon. Setelah menekan angka di ponsel, Dimitri memasang alat di telinganya.
"Siapkan pesawatku. Besok aku akan berangkat ke London. "
"...."
"Aku butuh rumah untukku dan calon istriku, lalu mobil dan... Aku yakin kau bisa mengetahui apa yang kubutuhkan lebih dari diriku. "
"...."
"Secepatnya. "
Dimitri tersenyum sambil melihat teleponnya. Sebuah senyum yang sudah lama menghilang dari bibirnya. Kini dengan ribuan rencana untuk membangun kehidupan baru dengan Patricia maka senyum itu bisa kembali ke bibir Dimitri.
"Tunggu aku Patricia. Kita akan hidup baru jauh dari kota menyedihkan ini. "
Suara pintu mobil tertutup menandakan jika sang pemilik menaikinya. Sesaat kemudian mobil itu meluncur menuju markas Black fire.
Tbc.