Chapter 12

Patricia Pov.

Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Mr Dimitri memilih menginap di hotel. Tak banyak pilihan hotel yang bisa mereka dapatkan. Sebab kami telah sampai di kawasan jarang penduduk. Jadi mendapatkan hotel di tempat jarang penduduk itu merupakan suatu keberuntungan. Apalagi ini termasuk kawasan pegunungan.

Belum pernah aku bersyukur dalam hidupku hanya karena berhenti duduk. Pantatku sudah menjerit kesakitan karena terlalu lama duduk. Mereka perlu beristirahat, aku juga tidak boleh menganiaya mereka setelah melakukan tugasnya dengan baik.

Pandanganku melayang ke area ini. Aku mengakui jika pemandangan di sini sangat indah. Bahkan aku bisa mendengar suara burung yang berkicau di pohon-pohon momiji yang mengugurkan daunnya. Atau mencium aroma bunga cerry blossom yang tertata apik di pinggir danau kecil itu.

Aku sangat ingin berenang di sana bersama dengan pacar, pasti menyenangkan. Terlebih ada beberapa pengunjung yang memang melakukannya, ada juga yang memilih berlalu lalang di hutan pinus.

Selain itu, disudut sana ada tulisan jika beberapa meter dari tempat ini terdapat air terjun. Aku yakin para pemuda-pemudi tengah telanjang di bawah air terjun. Berciuman atau melakukan hal lainnya.

'Itu membuatku iri. '

Mataku jatuh pada pria ini. Dia masih stoick dengan raut serius. Sangat sulit dipercaya kalau akulah yang merasa ingin memakan pria ini. Aku seperti kucing yang dihadapkan dengan daging namun tidak bisa memakannya.

Sudahlah. Lupakan tentang libidoku yang tak tersampaikan. Mungkin nasibku yang menyandang status perawan harus bertahan sedikit lebih lama. Aku seharusnya mensyukuri pemandangan ini. Akhirnya setelah beberapa tahun terperangkap di tengah kota Kenned yang gersang, berpolusi dan penuh dengan gelandang. Aku bisa melihat suasana alam yang indah.

"Pemandangan yang cukup bagus. "

"Iya, aku bahkan takjub dengan keindahannya. "

"Aku mengerti, tetapi kita butuh istirahat."

Mr Dimitri mengajakku masuk ke dalam hotel. Tangannya melingkar di sekitar pinggangku dan hal itu berhasil membangunkan bulu kudukku. Aku merana karena tersiksa oleh panasnya darah masa mudaku. Pria dewasa di depanku ini berhasil membangunkan mereka setelah berpuasa untuk sekian lama.

'Rupanya sang empunya juga merangkap sebagai resepsionis.' Aku membatin.

Sementara Mr Dimitri memesan kamar. Aku tetap berdiri di sebelahnya. Mata emeraldku masih memindai sekitar hotel ini. Aku merasa ada yang salah di hotel ini. Hotel ini hanya diisi oleh pasangan kekasih saja yang terlihat. Bahkan tanpa malu-malu mereka berciuman di sudut-sudut ruangan.

Hotel itu tidak terlalu besar, hanya tiga tingkat tapi bersih dan nyaman. Aku melihat ada meja bartender menjadi satu dengan restauran. Hanya dipisahkan dengan kolam renang. Tapi lagi-lagi aku hanya melihat sepasang kekasih yang sedang bercumbu.

"Ayo."

Aku mengangguk, tapi ketika hanya satu kunci kunci kamar di tangannya--aku jadi ragu.

"Apa kita satu kamar?" Tanyaku ragu-ragu.

"Kenapa?"

"Ki..kita kan bukan...ano...itu."

"Kau malu? Untuk gadis membuka baju di depan banyak orang, aku tidak menyangka kau ternyata pemalu."

Kata-kata macam apa itu?

Aku merasa jengkel dengan ucapan Mr Dimutri. Cukup shock hingga membuat mulutnya membuka membentuk huruf o.

"Sungguh tidak sopan." Ucapku.

"Hm... Menarilah dan aku ingin tau apa itu sopan." Dia mengucapkan dengan sinis.

Wajahku langsung memerah karena malu dan marah. Hilang sudah kekaguman yang tadi sempat hinggap di benakku.

Baiklah, pria ini benar-benar melecehkannya. Meskipun dia menari telanjang di hadapan pengunjung club malam, tapi dia ditutupi oleh layar. Setidaknya itu lebih baik baik dari jalang atau penari striptis sungguhan.

"Memang pekerjaan kami tidak memiliki rasa malu dan sopan tuan merah. Itu karena tidak ada seorang pun yang perduli jika kami mati kelaparan maupun kehausan."

Dia meliriknyaku sekilas. Seharusnya dia tau tentang masalah sosial kota Kenned dengan segala ketidakperdulian pemerintah. Aku menyadari jika Kenned seperti neraka dunia dan pria yang berasal dari surga dunia tentu akan memandang rendah kami.

"Kenned tidak memanjakan penduduknya, sangat berbeda Nevada. "

"Bahkan tidak akan ada yang menolong kami ketika kami pingsan di jalan dalam kondisi sekarat atau berteriak minta tolong saat orang yang kau sayangi sakit."

"Setidaknya aku tidak menjual tubuhku."

Dia hanya memberikan tatapan dingin pada Patricia. Tatapan yang bermakna jika dia cukup menyesal tapi tidak perduli.

"Jika anda yang diposisi saya, apa yang anda lakukan?"

Aku masih ingat kejadian itu, di mana usiaku masih enam belas tahun. Ketika aku berjualan minuman di jalanan tiba-tiba nenek jatuh terbujur di jalan dan pingsan. Aku yang panik segera menghampiri nenek yang memuntahkan darah. Aku sangat bingung dan berteriak minta tolong agar ada yang bersedia menolong diriku.

Tapi hanya pandangan acuh yang aku dapatkan. Bagaimana kota ini begitu kejam karena berisi orang-orang yang kelaparan karena kesulitan mencari pekerjaan. Betapapun kerasnya aku menangis orang-orang masih tidak perduli. Karena putus asa, aku menggendong nenek ke rumah sakit di punggungku. Dengan susah payah, tubuhku yang kurus membawa nenek Jeni ke rumah sakit.

Setiba di sana, perawat itu hanya memeriksa tubuh neneknya dan memberikan dia resep obat dari dokter. Uangku bahkan tidak cukup untuk membeli seperempat resep dokter, itu karena kelompok Yakuza memungut pajak dari mereka yang bekerja di jalan. Akhirnya dia berlari menuju club malam milik Max.

Seharian tanpa makan, minum dan tidur aku menunggu Max keluar dari club, sebab penjaga di club tidak mengijinkan aku masuk. Waktu itu tubuhku mengigil kedinginan karena hujan semalaman. Disaat aku mulai putus asa akhirnya Max datang. Dari situlah dia mulai menggeluti dunia malam.

Tapi pria di depanku ini bicara dengan wajah datar mengkritik profesinya. Seandainya dia yang berada di posisiku, aku yakin pria ini sudah menjadi gigolo. Mengingat wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang kekar berotot.

Dimitri memalingkan wajahnya dariku. Dia mulai memesan pelayanan kamar hotel, dan ingin menambah satu kamar lagi, sayangnya pemilik hotel hanya memiliki satu kamar.

Bagaimana mungkin dia memberikan dua kamar pada sepasang kekasih ini. Sedangkan ini adalah love hotel yang terkenal di sini.

"Maaf tuan, hanya ada satu kamar." Sang pemilik hotel tersenyum, rambut pirang pucatnya berkilau seiring matanya yang ikut berkilau karena melihat uang dari Dimitri.

"Baiklah."

"Oya tuan, nanti malam ada pesta di hotel kami. Saya harap anda mau bergabung."

"Kita lihat saja nanti."

Mata pemilik hotel itu melirik ke arahku yang bersembunyi di belakang Dimitri. Wajah ku yang masam membuatnya seolah berpikir jika kami itu sedang bertengkar.

Aku cukup. Khawatir tentang apa yang ia pikirkan. Dalam matanya seolah berbicara, 'Huh tidak ada yang boleh bertengkar di hotel ku. Akan ku buat nanti malam menjadi malam terpanas kalian.'

Ku harap aku salah, tetapi melihatnya menyeringai lebar melihat mr Dimitri dan aku yang tengah menuju kamar, membuatku yakin dengan kecurigaanku.

"Walaupun kalian bertengkar, tapi nanti malam kalian akan bersenang-senang sampai pagi hehehe." Aku samar-samar mendengar si pemilik berkata pada asistennya.

"Bagaimana mungkin aku bersenang-senang, wajahnya saja seperti es. Hanya keajaiban yang bisa membuatnya bersenang-senang denganku. "

Akupun mengekori Dimitri. Setidaknya aku bisa bersenang-senang dengan melihat bokongnya yang seksi.

Tbc