Quarter 1-06: Bergabung?

Vander dan Viole menatap Sandra yang sejak tadi diam, termenung, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mereka berempat—termasuk Derby yang memang selalu kemana-mana dengan Vander—sedang duduk di bangku kantin sedang menunggu pesanan makanan mereka. Dan sejak tadi setelah memesan makanan, Sandra masih dengan posisi termenung.

“San!”

“Sandra!”

Panggilan Viole yang entah sudah keberapa kalinya itu berhasil menyentak lamunan Sandra. “Eh, apa?” tanya Sandra.

“Makanan lu keburu dingin kalau lu biarin aja,” jawab Viole. Sandra menatap semangkuk mi ayam yang tepat berada di depannya lengkap dengan es jeruk. Sandra mengaduk-aduk mi agar tercampur semua bumbu dan sausnya, sebelum akhirnya kembali termenung.

Vander dan Viole menghela napas melihat kelakuan sepupu mereka. Mereka berdua yakin kalau sedang ada yang mengganggu pikiran Sandra saat ini. Dan hal itu membuat mereka penasaran. Apakah yang membuat saudara mereka sampai seperti sekarang ini? Apa ada hubungannya dengan panggilan dari pak Andrean tadi?

“Lu kenapa sih, San?” tanya Viole.

Sandra menghela napas. Sebelum akhirnya menyuapkan sesuap mi ayam ke dalam mulutnya. Vander dan Viole melihat Sandra dengan tatapan yang aneh.

“Gue diminta pak Andrean buat gabung sama tim,” kata Sandra setelah menelan suapan mi ayamnya.

“Bagus dong, jadi kita bisa main bareng lagi,” sahut Viole yang diangguki oleh Vander.

Sandra menghela napas mendengar perkataan saudaranya. “Kenapa, Baby?” tanya Vander.

Viole menatap Sandra dalam diam, di kepala cantiknya sedang berputar kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan sepupunya itu menghela napas. “Lu, jangan bilang lu belum s—“

Sandra menutup mulut Viole menggunakan tangannya sambil memberikan pelototan tajam ke arah Viole. Dia melirik ke arah Derby yang sedang menikmati bakso pesanannya dengan tenang, seolah tak menghiraukan keberadaan tiga bersaudara yang berada di meja yang sama dengannya.

Viole mengangguk seolah mengerti dengan kode yang diberikan Sandra. “Jadi beneran karena itu, lu sejak tadi ngelamun?” Sandra mengangguk.

Vander mengerutkan keningnya tak mengerti perkataan dua saudara perempuannya. “Kalian ngomongin apa sih?” tanya Vander.

Viole menghela napas mendengar pertanyaan kembarannya, terkadang Vander bisa lemot diajak bicara, seperti sekarang ini, jadi membutuhkan usaha ekstra untuk mengajaknya bicara. “Jadi, rencana lu habis ini apa?” tanya Viole mengabaikan Vander. “Gabung aja lah, urusan itu kan, masih bisa terapi nanti.” Viole berbisik pelan pada Sandra saat mengatakan kalimat terakhir.

“Gue nggak tahu, tadi gue bilang ke pak Andrean kalau gue masih butuh mikir dulu,” kata Sandra. Dia menyesap es jeruk yang tadi dia pesan. Hening, tak ada yang mengeluarkan suara di meja itu, mereka menikmati santapan masing-masing.

Derby meminum es jeruk pesanannya sekali teguk lalu dia menoleh ke arah Sandra yang sedang menikmati mi ayamnya yang tinggal sedikit. “Kalau lu emang nggak mampu buat gabung sama tim, mending nggak usah, daripada bikin tim ini susah nantinya,” kata Derby tiba-tiba.

Tiga orang lain di meja itu menatap ke arah Derby dengan pandangan bingung. Siapa yang diajak ngomong sama Derby? Seperti itulah pertanyaan yang melintas di kepala mereka. Derby menghela napas. “Gue ngomong sama lu, Alexandra,” katanya dengan nada jengah.

“Maksud lu apa, ngomong kayak gitu ke gue? Lu nggak tahu siapa gue, jadi jangan asal ngomong!” kesal Sandra.

Aduh, bisa pecah ini perang dunia ketiga, batin Vander.

“Gue ngomong kenyataan kok, kalau lu cuma bisa bikin susah dan mundur perkembangan tim, mending nggak usah gabung.” Seperti biasa, ucapan Derby memang terkenal pedas dan nyelekit di hati. Tak hanya satu dua orang yang pernah mendapatkan kata-kata mutiara dari Derby.

“Udah-udah, jangan pada ribut. Mau jadi tontonan satu kantin?” tanya Vander memberikan tatapan ke seluruh penjuru ruangan sekilas. Viole membantu Vander menenangkan Sandra agar tidak meledak.

Sandra meninggalkan kantin dengan wajah yang menahan kesal dan amarah. Vander memberikan kode pada saudara kembarnya untuk mengikuti Sandra. Setelah Viole dan Sandra menghilang dari pandangannya, Vander menghela napas.

“Lu itu ya, kalau ngomong dari dulu masih aja pedes, kalahin cabe pedesnya.” Vander menggacak rambutnya kasar. Dia berharap, Sandra tidak benar-benar memasukkan perkataan Derby ke hati. Bisa gawat kalau sampai Sandra benar-benar tidak mau bergabung dengan tim karena ucapan Derby. Sandra bisa menjadi pilar kuat untuk tim basket putri mereka, meskipun sekarang dia belum bisa mengikuti latihan, tapi masih ada beberapa bulan lagi sebelum pertandingan di mulai akhir semester nanti. Dan Vander yakin dia pasti bisa mengikuti pertandingan itu.

“Gue cuma ngomong yang sebenarnya, kalau dia cuma nambah beban buat tim, nggak perlu gabung,” kata Derby. “Lagian kenapa juga pak Andrean, masukin anak sembarangan ke tim? Kita kan belum tahu kemampuan dia.”

Vander menghela napas. “Bukan kita, tapi lu yang nggak tahu siapa Sandra, Der. Gue sama Ole udah kenal dia dari masih bayi, jelas gue tahu dengan jelas kemampuan dia. Dan dia lebih dari kata mampu buat gabung di tim ini.”

“Ya, ya, ya, oke lah kalau dia memang mampu, tapi gue mau tes dia sebelum gabung di tim. Dan itu, harus!” Derby meninggalkan Vander yang masih duduk dengan tenang di tempatnya.

Vander mengerutu dalam hati karena masalah sepele yang berubah menjadi runyam. “Ah, tahu lah, gue pusing,” gumam Vander sebelum meninggalkan tempatnya.

***

Sepulang sekolah sesuai rencana tadi pagi, Sandra akan mengikuti Vander dan Viole latihan. Dia di sana hanya menunggui dua saudaranya, sekalian memperhatikan latihan mereka. Selama ini, Sandra menjadi pelatih pribadi dua saudaranya. Sejak kecil mereka bertiga memang sudah suka bermain basket, mungkin turunan dari papa mereka. jika tidak ada Vino atau Vano yang mengajari mereka, Sandra akan mengajari mereka beberapa teknik yang dia baca di buku atau dia lihat di Youtube. Dan sudah cukup lama Sandra tidak melihat perkembangan mereka karena satu hal yang menimpa Sandra.

Di sinilah Sandra sekarang, memperhatikan dari tepi lapangan, beberapa siswa-siswi yang sedang berlatih ditemani decitan sepatu mereka. Sandra memperhatikan satu persatu siswa yang ada di lapangan, sesekali dia menganggukkan kepalanya, entah apa yang dia lakukan. Dia memegang buku catatan kecil dan juga sebuah bulpoin di tangan, sesekali dia menorehkan tulisan di buku itu sebelum akhirnya memeprhatikan pemain di lapangan kembali.

Pak Andrean yang sejak tadi memperhatikan Sandra, sesekali, sedang mencatat di buku kecil penasaran dengan apa yang ada di dalam buku itu. Dia mendekati Sandra yang duduk sendirian di tepi lapangan. “Sudah mengambil keputusan, Sandra?” tanya pak Andrean.

Sandra menatap pelatih tim basket sekaligus guru olahraganya itu lalu menggeleng. “Masih berpikir, Pak.” Begitulah jawaban yang dia keluarkan.

Pak Andrean tidak sengaja melihat isi yang tertulis di buku Sandra. “Cowok yang pakai jersei nomor delapan, namanya Billy, dia pemain termuda di sini. Lalu, cowok yang pakai kaos coklat, namanya Gio. Cewek yang pakai kaos kuning, namanya Lina.”

Sandra sedikit terlonjak kaget mendengar perkataan pak Andrean. “Bapak intip catatan saya?” Pak Andrean tersenyum tipis. Lalu kembali memperhatikan jalannya latihan. Tak mendengar jawaban dari pak Andrean membuat Sandra mendengus, kesal.

“Kalau kamu tidak bisa bergabung dengan tim sebagai pemain, saya rasa kamu bisa bergabung dengan tim sebagai manajer tim.”

Sandra menoleh ke arah pak Andrean yang sudah menoleh ke arahnya. “Manajer tim? Saya?” tanya Sandra sambil menunjuk wajahnya sendiri.

Lagi. Pak Andrean tidak memberikan jawaban sesuai yang Sandra ingin dengar. Dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Sandra. Bunyi peluit yang ditiup oleh pak Andrean menghentikan semua anggota basket yang ada di lapangan. “Istirahat sepuluh menit!”

***