WebNovelNot Sweet37.50%

Bab 9

Keenan Pov

Aku meneguk juss jeruk yang ada dihadapanku dengan enggan. Juss ini terasa aneh sekali dilidahku. Atau ini karena aku kurang tidur?

Mommy baru saja pulang dengan daddy sementara aku masih belum berani untuk mencari tahu tentang Sonya.

Anak-anak dan suami?

"hubungan yang rumit..." dengusku pelan.

Aku mengusap wajahku dengan kesal.

Fokus Kee, elo balik Jakarta buat karier lo! Bukan urusan cinta lo yang berantakan!

Tegasku pada diriku sendiri.

Aku menoleh kesekitar dan mataku bertemu dengan mata biru itu.

"Ben? Ngapain dia disini?"

"astaga...." ucap pria bermata biru yang begitu bertemu muka dia langsung menghambur kearahku dan memelukku.

Dia, sahabat gilaku waktu kuliah di German. Tapi dia akhirnya pindah ke NY dan tentu saja aku heran apa yang dilakukannya di Indonesia.

"what are you doing Kee?" dia masih menatap geli padaku.

"ck...you need women!" putusnya setelah mengamatiku.

Yah, pria satu ini tidak pernah jauh dari kata women.

Dia, Benigno Aleansky dokter anak sama sepertiku. Alasannya jadi dokter? Hanya ingin dekat dengan wanita, ralat bukan wanita tapi ibu-ibu muda.

Obesesi hidupnya sepertinya.

"baby....come here...." dia melambai pada arah belakangnya.

Tampak dua wanita sedang berjalan kearah kami dengan membawa sepiring kentang dan milkshake.

Wanita itu...

Itukan wanita yang syuting FTV tadi?

"baby... Kenalin ini sahabatku waktu kuliah di German... Dia Keenan Smith.."

Wow...nih bule satu ternyata sudah lancar berbahasa Indonesia.

"Kee, kenalin ini tunanganku Stella dan ini sahabatnya Agnez.." dia memperkenalkan dua wanita tadi.

Aku hanya mengulurkan tanganku dengan sopan.

"Keenan Smith? KEE??" wanita bernama Agnez itu mengulang ucapan Ben dan terlihat marah?

Marah?

Wait... Apa aku melakukan salah?

Buggghh!

Sebuah tinju bersarang dirahangku dan itu membuatku mundur beberapa langkah.

"Shit!"

Bukan aku. Tapi itu suara pemukulku.

Aku mengusap sudut bibirku yang sedikit berdarah.

"Nez... Lo gila ya?!" pekik Ben seraya mencengkeram lengan wanita aneh bernama Agnez yang membalas uluran tanganku sebagai perkenalan dengan tinjunya.

Bagaimana rasa tinjunya?

Lumayan sakit untuk ukuran wanita cantik.

Untungnya aku sudah bertobat, kalau enggak akan aku cium dia disini.

"Sonya!" pekiknya geram.

Sonya?

"maksud lo apa sih Nez?" tunangan Ben bertanya tidak faham dengan apa yang baru saja terjadi.

"lo liat dia baik-baik Stell... Dia Kee...!"

Sumpah aku bingung.

Nih cewek stress kali ya?

"dia Keenan! Cinta matinya Sonya!"

"hah? Serius lo Nez?" Stella kini menatapku dengan serius.

Wait..wait... Sonya? Cinta matinya? Gue cinta matinya Sonya?

Sepertinya pukulan nih cewek berpengaruh sama gendang telingaku.

Harus ke THT kayanya.

Dokter THT mana yang bagus ya? Kafka? Atau Dean? Aku-

Plak!

Kurasakan pipi kananku panas.

Aku melotot kearah Stella tunangan Ben yang baru saja menamparku.

Fix! Kedua cewek ini sama-sama gila.

"babby...what are you doing?" Ben shock sepertinya melihat kebrutalan tunangannya.

"Elo sebaiknya jauhin Sonya! Atau kalau enggak elo berhadapan sama gue!" bentak Stella.

Sonya lagi?

Oh.. GOD..bisakah seseorang disini menjelaskan kenapa dua wanita ini menghajarku dengan alasan Sonya?

Aku menarik nafas menahan emosi, kepalaku serasa mau meledak saja.

"Sonya... Apa hubungan kalian dengan Sonya?" tanyaku sepelan mungkin supaya emosiku tidak meledak.

Mengingat mereka adalah wanita dan salah satunya adalah tunangan Ben.

"Ben... Kita putus!" vonis Stella yang membuatku dan Ben saling pandang karena bingung.

"jangan ikutin gue!!" ancam Stella saat Ben hendak mengikutinya.

Aku menaikkan alisku saat dengan patuh Ben menghentikan langkahnya dan angkat bahu.

"i'm still here baby..." teriak Ben yang dibalas Stella dengan mengangkat jari tengahnya.

"Love you baby..." teriak Ben lagi.

See...

Begitulah orang jatuh cinta.

"Sorry Kee..." ucap Ben saat kembali berdiri dihadapanku.

"for what?"

"this..." tunjuk Ben pada wajahku yang mungkin lebam dan tercetak telapak jari tunangannya.

"katakan padaku... Bagaimana kamu bisa berurusan dengan Sonya?" aku menaikkan alisku bingung.

"shit down please...you know my neck..." Ben menyentuh lehernya dan menggerakkan lehernya ke kiri dan ke kanan.

Aku menarik kursi dan duduk. Melihat kesekeliling dan saat mataku bertemu dengan tatapan kasihan atau tatapan menghina dari para pelayan cafetaria Rumah Sakit aku tersenyum kecut.

"so... Apa masalahmu dengan Sonya sehingga sahabat-sahabatnya itu mengamuk begitu melihatmu?" Ben meraih juss jeruk dihadapanku tadi dan meneguknya hingga habis tanpa bertanya padaku dahulu.

"Ck..." aku berdecak dan tertawa.

Pria besar dihadapanku ini ternyata tidak berubah.

"cinta mati? Kamu punya hubungan istimewa dengan pengacara cantik itu?! Woowwww.... " Ben tertawa dan itu membuatku jengkel.

"itu sudah lama... Dia pernah jadi pengacara Arion... Kakakku..." aku menarik nafas.

Sakit.

Yah, rasanya sangat nyeri setiap aku mengingat namanya. Rasa kagum dan cinta yang bercampur jadi satu itu masih ada.

"just lawyer??" Ben mengerutkan kedua alisnya hingga terlihat menyatu.

"oh...come on Kee, i know you, Kee..."

"fine!" ucapku akhirnya.

"Sonya sangat membenciku..." ucapku sambil mengangkat bahuku acuh.

"and??" tanya Ben lagi.

Shit!

Masa iya sih aku cerita sama Ben?

"and what Kee?" tuntut Ben.

"just ONS Ben..." ucapku sambil berdiri dengan gelisah.

"ONS??!" Ben mengulang ucapanku dengan keras.

Astaga... Nih bule minta ditimpuk asbak.

"One-Night Stand?!"

OMG! Pakai acara dipanjangin lagi nih Ben.

"Oh...God... Itu seperti terompet kematian Kee...."

Terompet kematian?

Yeahh, aku sudah merasakan kematian dari empat tahun lalu sejak aku tahu dia adalah istri pria lain.

"Agnez akan membunuhmu...!"

"Agnez??"

Aku bingung kenapa harus Agnez? Yang aku bayangkan adalah Segara, pria tetanggaku itu yang akan membunuhku kalau tahu aku pernah tidur dengan istrinya.

"dia yang paling gila diantara tiga sahabatnya. Tapi aku heran bagaimana seorang Jonathan Cruise bisa jadi pacarnya..." Ben tertawa lebar.

"hhh... Rupanya milyuner muda itu suka dengan wanita beranak tiga...siapa yang menyangka..." Ben mengetuk meja dan memintaku duduk kembali.

"aku baru tahu hobi barumu bergosip Ben..." sahutku kesal seraya menghempaskan pantatku kembali pada kursi dihadapan Ben.

"Ck!" Ben kembali tertawa.

"idiot!" umpatku yang membuat Ben tersenyum lebar.

"apa kau tahu... Aku merekomendasikan Agnez untuk menemuimu... Salah satu anak kembarnya menderita pneumonia..." kali ini Ben memasang wajah serius.

"wait... Anak kecil yang bersama Sonya... Itu anaknya siapa? Agnez?"

Serius aku penasaran.

Mereka kembar.

Aku juga kembar.

Tapi ucapan Sonya sangat mengangguku.

Saat Ben mengangguk entah kenapa ada rasa lega menyelimuti hatiku.

"Agnez punya anak kembar tiga... Yang dirawat ibunya di desa.." Ben termenung sesaat.

"lalu... Kenapa anak-anak itu memanggil mama ke Sonya??" tuntutku.

"mereka memanggil Stella mama juga... Bahkan mereka memanggilku papa..." Ben meringis bahagia.

"umm... Sonya... Apa dia sudah menikah??"

Ben menaikkan alisnya dan sekilas cengiran jahil muncul diwajah bulenya.

"aku hanya memastikan saja! Kau tahu Segara? Pria yang bersamanya itu tetanggaku dan Daddyku sangat cemburu padanya karena pria itu selalu mengirimkan makanan pada mommy..." potongku sebelum Ben berfikiran aneh-aneh.

Aneh-aneh, misalnya seperti aku cemburu, atau aku ada hubungan khusus dengan Sonya.

Tapi...

Jujur aku memang cemburu saat melihat pria itu bersama Sonya dan aku berharap punya hubungan khusus dengan Sonya.

Heel! Sepertinya sifat Daddy menurun padaku. Aku mengharapkan, bukan hanya berharap tapi aku menginginkan milik orang lain.

Aku pria lajang, dengan profesi sebagai dokter anak, ganteng banyak diminimati wanit tapi yang aku inginkan adalah istri orang lain?

Aku mengusah wajahku dengan kesal.

Aku berdiri dengan kasar dan membuat Ben kaget.

"mau kemana?" Ben tampak bingung.

"terjun bebas..." sahutku asal dan melangkah pergi tanpa menghiraukan Ben lagi.

Aku mendengar Ben berlari mengejarku dan berjajar disampingku.

"cinta mati Sonya... Kamu cinta mati Sonya... Dan Sonya cinta mati Keenan...hmm... Menarik.." ucapnya dengan suara meledek.

"jadi dia alasan kenapa juniormu tidak bisa berdiri dihadapan mantan-mantan pacarmu di German?" Ben tertawa geli dan aku hanya berdecak sebal.

"apa permainannya hebat? Sampai seorang Keenan Smith tidak bisa berkutik?" untung saja aku masih ingat ini rumah sakit kalau tidak akan kutendang Benigno bule sok tahu ini.

"wahh... Segara pasti beruntung sekali ya... " fix. Aku cemburu, terbukti spontan kakiku berhenti melangkah.

Aku menatap Ben dan ingin sekali merobek mulut bawelnya itu.

Jantungku bekerja lebih cepat dan tanpa kusadari tanganku mengepal kesal sampai Ben menepuk bahuku.

"jawab pertanyaanku dan akan kuberikan jawaban yang akan membuatmu senang..." bisik Ben pelan ditelingaku.

Aku menoleh sebal padanya.

Jika dia sudah mulai mengancam begini pasti akan bertanya aneh-aneh dan jawabanku akan dijadikannya bahan ledekannya padaku.

"aku akan memberitahukan status Sonya..." bisiknya lagi.

"aku tak peduli dengan statusnya..." aku melangkah dan Ben kembali menjajariku.

"benarkah?" Ben kini berjalan didepanku dan dia berjalan mundur.

"Ben..." geramku.

"apa kamu tahu setiap minggu Sonya mengadakan pesta dirumahnya? Pesta dengan banyak pria-pria kaya dan tampan..."

Shit!

Bule satu ini benar-benar menyebalkan.

"aku dengar di-"

"stop! Ok apa pertanyaanmu?" aku selalu saja masuk jebakan Ben. Aku memang selalu saja penasaran dan itu membuatku jadi bahan ledekannya dulu.

"ok... Ummmm... " dia menatapku. Melirik kekiri dan kekanan membuatku tidak nyaman pertanyaan apa yang akan diajukannya dan apakah sebanding dengan status Sonya yang membuatku sangat penasaran.

Ben mendekatkan bibirnya pada telingaku.

"apa benar setiap malam kamu mimpi basah karena Sonya?"

Grrrrr... See, rasanya aku ingin membunuhnya saja. Ini tidak sebanding dengan jawaban yang akan aku dapatkan.

"Fuck!" umpatku kesal.

Ben hanya tertawa lebar dan menaikkan kedua alisnya dengan jenaka, tapi jangan harap aku tertawa.

"forget it..." aku melambai kesal.

"apa itu artinya iya Kee?? Wooowww... Ckckck..." Ben berdecak kagum dan kemudian bersiul.

Dia mulai meledekku setelah tahu dan bodohnya aku yang terpancing dengan jebakannya.

"ayolah Kee... Aku ingin mendengar jawabannya... Dan aku akan memberikan jawabanku..."

"kita sudah dewasa Ben..." kataku mengingatkan.

"kamu ingin aku mengambil kesimpulan sendiri ya?" Ben berdiri lagi dihadapanku dan membuatku semakin jengah.

"just say yes or no Kee... " Ben kini berkacak pinggang dihadapanku layaknya seorang wanita yang menuntut tanggung jawab dari pacarnya.

"ok... Ok... Yes!" jawabku frustasi.

Nothing's funnier to me than laughing at myself.

"Oh God... Waoooww... Sekarang aku tahu, aku kira kamu gay saat kuliah...hahhaa" Ben tertawa riang.

Sahabat macam apa yang menertawakan sahabatnya sendiri.

"dan apa jawabannya??" tanyaku menuntut.

Ben menaikkan sebelah alisnya.

"jangan pura-pura bodoh Ben..." ucapku seraya menatapnya curiga.

Sudut bibir Ben tertarik keatas dan memperlihatkan deretan gigi putihnya yang terawat.

"jawabannya ya..." Ben kembali menoleh kekiri dan kekanan, itu adalah hal paling menyebalkan yang dilakukannya sejak tadi.

Rumah sakit ini masih sepi dan tidak ada seorangpun disekitar kami di lobi ini.

Ben menggerakkan jari telunjuknya, mengisyaratkan supaya aku mendekat padanya.

Refleks aku memajukan kepalaku dan mendekatkan telingaku pada bibir Ben, dan fokus dengan apa yang akan aku dengar.

Bagiku ini seperti sebuah vonis hukuman, apakah aku akan dijatuhi hukuman mati sekali lagi atau lolos.

Dulu saat Arion mengatakan bahwa Sonya bersuami adalah vonis hukuman mati pertamaku dan sekarang seperti kejadian ini terulang lagi. Apakah aku siap dengan apa yang akan aku dengar?

Tuhan, aku hanya ingin hatiku dan hidupku baik-baik saja saat mendengar jawaban Ben.

Aku sudah menjalani empat tahun nerakaku dengan siksaan patah hati. Ok mungkin ini berlebihan.

Deg.

Jantungku seakan berhenti berdetak saat Ben membisikkan kata-katanya.

Aku tidak berbicara saat Ben menjauhkan wajahnya dariku. Aku hanya bisa terdiam kaku disini.

Perih.

Ya, hatiku perih mendengar apa yang Ben bisikkan.