10

Jangan bilang ada yang menyakitimu,

Nanti orang itu akan hilang.

-Dilan -

--

Segala kata umpatan sudah Anggi lafalkan dalam hati. Kesal dan amarah berpadu dalam dadanya, tak terungkapkan. Masih tergambar kejadian saat istirahat dalam ingatan Anggi. Ketika Arkan mengejeknya karena ada kotoran di sudut mata Anggi.

Anggi memeriksa kedua sudut matanya. Memastikan tidak ada kotoran yang menempel. Dia tak ingin menjadi bahan ledekan Arkan atau siapa pun karena ada belek pada salah satu sudut matanya. Dia trauma.

"Hahaha, gue cuma becanda. Di mata lo nggak ada beleknya kok," Arkan tertawa puas saat itu.

Anggi mendengus. Dia mengehentakkan kaki ketika mengingat adegan berikutnya.

"Gue cabut dulu, ya. Tenang aja, lo sama Arya nggak bakal gue aduin ke guru BK walaupun udah main mesum di UKS," ujar Arkan sambil tersenyum konyol.

"Gue nggak main mesum," bantah Anggi.

"Oh iya, nanti kita pulang bareng."

"Hah?" pekik Anggi.

"Eyang yang nyuruh," Arkan langsung mengklarifikasi. "Gue tunggu di parkiran. Satu menit lo buat gue nunggu, maaf aja, lo langsung gue tinggal. Sampai jumpa pulang sekolah nanti."

Dengan ciri khas wajah tengil seperti biasa, Arkan langsung angkat kaki dari hadapan Anggi. Tak merasa bersalah. Tak merasa berdosa. Arkan tidak peduli bahwa dia baru saja memercik api kekesalan di hati Anggi. Tingkah cowok itu santai seperti biasa. Langkahnya begitu ringan dan riang saat meninggalkan Anggi ketika jam istirahat tadi.

Ugh, menyebalkan!

"Ck, Arya pasti lagi menghayal waktu bilang Arkan sayang dan suka sama gue," Anggi teringat kata-kata Arya ketika di UKS.

~o o~

Anggi menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas antara kebun depan sekolah dengan lahan parkir. Suasana sekolah sudah cukup sepi. Rencananya hari ini dia akan pulang bersama dengan Arkan sesuai dengan janji cowok itu.

Tadi, saat bel pulang berbunyi Anggi sempat bertemu dengan Arkan di kelas. Cowok itu meminta Anggi untuk menunggu di parkiran, sementara Arkan pergi sebentar untuk menemui Nita, sang pacar.

Anggi menghela napas, "Mana sih tuh cowok?"

"Anggi."

Seseorang memanggil Anggi. Ia menoleh dan mendapati Yuni datang menghampiri.

Entah apa lagi yang diinginkan cewek yang satu ini dari Anggi.

"Apa lagi sekarang?" tanya Anggi dengan nada tak bersahabat.

"Masih tentang Arya. Gue masih belum nyerah sampai lo batalin perjodohan sama dia," jawab Yuni dengan nada mantap.

Anggi mendengus lelah sambil mengibaskan rambutnya ke belakang dengan gaya sok. "Jawaban gue masih sama kayak yang kemarin," ujarnya.

"Anggi, tolong gue. Gue beneran sayang sama Arya," Yuni memelas.

"Tapi dia nggak sayang sama lo!"

"Gue bakal buat dia sayang sama gue," balas Yuni dengan yakin.

Dapat Anggi rasakan kegigihan Yuni. Tidak dipungkiri dari tatap mata Yuni betapa dia serius dengan kata-katanya. Sedikit berlebihan memang cinta yang Yuni miliki untuk ukuran anak SMA.

Ayolah, jalan Yuni masih panjang. Banyak yang akan terjadi pada masa mendatang. Mungkin didepan akan ada cinta baru yang akan menghampiri. Lagi pula banyak cowok yang lebih dari baik seorang Arya. Seharusnya Yuni tidak perlu seserius ini.

"Anggi," Yuni kembali memelas dengan nada memohon.

Anggi merasakan ponsel yang ia simpan di saku roknya bergetar. Dia segera mengambil benda persegi itu dan memeriksanya. Ada panggilan masuk dari Arkan via WA.

"Siapa yang nelpon lo? Arya?" tanya Yuni dengan nada tak sabaran.

"Bukan urusan lo!" jawab Anggi.

"Sini biar gue yang jawab." Yuni berusaha mengambil ponsel milik Anggi.

"Apaan sih lo?!" Anggi memekik tak suka. Dia menjauhkan ponselnya dari jangkauan Yuni.

Yuni menarik tangan kiri Anggi. "Sini biar gue yang jawab telpon dari Arya! Siniin hp lo!"

"Ini bukan telpon dari Arya. Lepasin tangan gue!" Anggi mengamuk sambil mencoba melepaskan tangannya dari Yuni.

"Lepasin!"

"Sini hp-nya!"

"Lepas! Lepasin! Arrrg."

Anggi kehilangan keseimbangan. Dia terhempas sedikit keras dan terjatuh. Siku kirinya tergores pada aspal.

"Asssh," Anggi meringis.

Mata Yuni berubah panik. Tidak ada maksud dalam hati Yuni untuk mendorong Anggi hingga terjatuh. Yuni akui bahwa ia menggunakan tenaga lebih untuk merebut ponsel Anggi, tapi bukan maksudnya untuk mencelakai cewek itu.

"Anggi," Yuni menghapiri Anggi. Ia berjongkok tepat di samping Anggi. "Lo baik-baik aja? Maaf, gue nggak bermaksud buat ngedorong lo."

"Uuuugh," Anggi membersihkan sikunya yang terluka. Ada sedikit darah di sana.

"Tunggu di sini. Biar gue cari obat merah di UKS," ucap Yuni panik. Dengan cepat dia berlalu dari sana.

Tidak sampai lima menit Yuni kembali dengan kotak P K. Ekspresinya masih sama, panik. Ada juga gurat khawatir yang tersirat pada wajah cantik cewek itu. Yuni membantu Anggi untuk berdiri dan menuntunnya duduk pada kursi taman yang ada di kebun depan sekolah mereka.

"Sini biar gue bantu obati." Yuni mengoleskan obat merah pada luka Anggi.

"Asssh, perih," desah Anggi.

"LO APAKAN ANGGI?"

Kedua cewek itu tersentak kaget mendengar teriakan kuat seseorang. Arya datang dengan teriakan yang tidak manusiawi. Menghampiri dengan langkah terburu-buru.

"Lo apakan Anggi?!" ulang Arya.

Cowok itu menarik tangan Yuni dengan sentakan dan mencengkram kuat, ia memaksa cewek itu untuk berdiri. Arya bertindak seolah Yuni adalah virus yang sangat berbahaya dan harus dijauhkan dari Anggi. Sontak saja tangan Yuni berubah dingin, ekspresinya berubah takut. Wajahnya pucat pasi.

Coba bayangkan perasaan Yuni saat orang yang sangat ia dipuja membentaknya? Yuni ingin menangis sekuat yang ia bisa, namum air mata itu tak kunjung jatuh. Dia terlalu takut untuk berekspresi, bahkan untuk mengeluarkan air mata.

"A-Arya, ini nggak seperti yang lo bayangkan," tegur Anggi. Ia bangun dari duduknya.

"Yuni sama sekali nggak salah. Gue jatuh kerena kelalaian gue sendiri. Asal lo tau, dia bahkan bantuin gue dengan ngambil obat di UKS," Anggi menjelaskan dalam satu tarikan napas.

"Lo nggak usah bela cewek ular ini," tunjuk Arya pada Yuni. "Dengar, Yuni! Kalau sampai lo buat Anggi terluka lagi, lo berurusan sama gue!"

Yuni menunduk. Dunia Yuni terasa hancur, dia merasa tak memiliki arti untuk hidup.

Dadanya sesak.

Sakit.

Malu.

Air matanya menumpuk di pelupuk mata. Sekuat tenaga Yuni mencoba untuk tetap berdiri tegar walau dia merasa hancur pada titik yang paling rendah.

Arya meraih pergelangan tangan Anggi. Pandangan Yuni terfokus pada kaitan tangan itu. Jari-jemari Arya bergitu erat mengandeng Anggi dan keduanya pergi tanpa peduli sakit hati Yuni.

Pandangan Yuni mengiringi kepergian Anggi dan Arya. Matanya tak lepas dari punggung dua anak manusia yang hilang dalam mobil milik Arya. Kuda besi itu melaju bersama angin yang berhembus.

"Arya itu diam-diam sayang banget sama Anggi," suara Arkan terdengar dari arah belakang punggung Yuni, membuatnya menoleh.

"Lo sebaiknya nyerah aja," tambah Arkan.

Yuni tidak merespon. Ia hanya menatap Arkan dengan mata berkaca-kaca.

"Kalo lo mau, lo sama gue aja. Ya ... asal lo mau nunggu gue putus dari Nita. Gue juga nggak kalah ganteng." Arkan coba mencairkan suasana.

Sayangnya lelucuan Arkan tidak mempan untuk mengurangi sakit yang ditorehkan oleh Arya. Sakit hatinya terlalu dalam dan mungkin tak akan pernah sembuh.