1. KUBURAN
Sore itu, cuaca tidak secerah senyuman Sanira. Dia sedang asyik bermanja-manja di pelukan Waluyo.
"Mas, apa kamu telah menyiapkan nama untuk anak kita?" Sanira mengelus lembut dada telanjang Waluyo yang berkeringat. Mereka baru saja menerjang badai asmara yang penuh gairah.
"Bukankah pamali, Sayang, kalau memberi nama anak sebelum ia lahir?" Waluyo mengembuskan asap rokok ke udara. Sembari jemari tangan kirinya mengusap rambut hitam istrinya itu.
"Aku tidak percaya dengan segala macam pamali, Mas. Siapkanlah satu nama. Hasil USG sudah menunjukkan kalau bayi kita ini lelaki." Jari-jemari Sanira semakin turun ke bagian perut Waluyo. Lelaki itu memejamkan mata merasakan usapan yang kian ke bawah. Lidahnya mendesis ketika jemari tersebut singgah di bagian pribadinya.
Berahi Waluyo kembali terpancing. Sanira di sampingnya terkikik.
"Kamu nakal, Sayang." Waluyo menaruh rokok yang tinggal separuh di asbak. Dia memeluk Sanira erat kemudian mencium bibir perempuan itu penuh nafsu.
Cukup lama mereka saling berciuman. Lalu mata mereka saling bersitatap. Menyatakan jutaan cinta yang tulus.
"Aku sayang kamu, Mas."
Waluyo semakin erat memeluk tubuh Sanira.
Bayangan itu adalah kenangan terindah dan terakhir yang diingat Waluyo. Sekarang hanya batu nisan yang bisa ia pandangi. Perempuan cantik yang telah menjadi istrinya selama empat tahun ini, kini telah pergi untuk selamanya.
Waluyo tidak saja marah pada Tuhan, ia juga marah pada dirinya sendiri yang tidak berada di samping Sanira, di saat-saat istrinya itu meregang nyawa.
"Maafkan aku, Sayang. Andai bisa kuputar kembali waktu yang berlalu, aku tidak akan meninggalkanmu sedetik pun. Aku menyesal. Aku benar-benar menyesal tidak ada di sisimu di saat-saat engkau memerlukan dukungan dan kekuatan dariku. Maafkan suamimu ini, Sayang."
Waluyo memeluk batu nisan Sanira dengan hati yang hancur berkeping-keping. Langit kian kelabu seakan-akan bisa merasakan kesedihan yang dialami oleh lelaki malang itu. Angin bertiup sendu, dingin dan seakan mencucuk tulang.
"Waluyo."
Isak tangis Waluyo terhenti. Dengan cepat ia seka air matanya dan menoleh ke samping, di mana suara panggilan tersebut bersumber.
Seketika tubuhnya mengejang. Seorang lelaki berdiri menjulang di sampingnya. Kejut Waluyo bukan alang kepalang mendapati siapa lelaki yang baru datang tersebut. Matanya mengitari sekitar. Hanya sunyinya kuburan dan mereka berdua di tempat itu. Sementara kelabunya langit bertindihan dengan senja yang kian merayap menjemput tabir gelap.
"Bang Arif?"
Waluyo segera berdiri dan mengambil sikap waspada. Dia menatap Arif dengan mata tajam dan menyelidik.
Arif memutar tubuh, berhadap-hadapan dengan Waluyo. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya mengandung bara kebencian.
"Apa kabarmu?" Suara Arif terdengar berat, wajahnya dingin. Aura yang ia keluarkan benar-benar membuat Waluyo tertekan.
"Aku ... baik ... baik saja." Waluyo mundur selangkah ketika Arif mendekatinya. Tangan Arif memegang bahunya kuat. Wajahnya hanya berjarak sekitar 10 cm dari wajah Waluyo.
"Kau jelas tidak baik-baik saja." Arif mendesis, kentara sekali kalau saat ini ia sedang sangat marah.
"Bagaimana ... Abang masih ... hidup?" Tubuh Waluyo menggigil. Kilasan-kilasan masa lalu seolah dipaksakan hadir di pelupuk matanya begitu menatap Arif.
Arif mendengkus, lalu meludah ke tanah. "Lima tahun sudah berlalu, Waluyo. Mungkin bagimu aku benar-benar sudah mati. Tapi tahukah kau, kalau Tuhan belum mengizinkan malaikat maut membunuhku. Mungkin Tuhan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Cara licikmu tidak mengantarkanku pada kematian, Bangsat!"
Tubuh Waluyo terpelanting ketika tamparan sangat kuat hinggap di pipinya. Waluyo menjerit ketika Arif mulai menendang perutnya.
"Aku telah terlalu banyak mengalah, Waluyo. Andai rasa sayangku tidak begitu besar terhadapmu, mungkin jauh-jauh hari kau sudah kubunuh. Dasar adik tidak tahu terima kasih! Demi mendapatkan Sanira, kau tega memfitnah dan hendak membunuhku! Bukankah sudah kukatakan, kalau Sanira tidak akan bisa kau miliki! Hati dan cintanya hanya untukku, Brengsek! Tahukah kau, di saat dia mau melahirkan siapa lelaki yang ada di sampingnya?"
Mata Waluyo terbelalak. Arif tertawa terbahak-bahak.
"Aku!" Arif menepuk dadanya kuat. "Akulah yang ada di sampingnya di saat-saat ia melahirkan anak kalian. Kehadiranku yang membuatnya tidak percaya, terkejut. Dia seakan-akan menduga aku adalah hantu yang datang menjemput ajalnya. Sayang sekali, walau aku sangat ingin membunuhnya, ia mati dengan sendirinya. Jantungnya tidak kuat melihatku, Waluyo!"
Waluyo seakan-akan merasakan langit runtuh. Kemarahan mulai memenuhi kepalanya. Dia berdiri dan menerjang Arif seketika.
Mereka saling bergumul, saling meninju, saling memiting dan pada puncaknya Waluyo mengeluarkan pistol yang terselip di pinggangnya. Moncong pistol tepat berada di kening Arif.
Posisi Arif yang ada di bawah Waluyo, membuat lelaki itu menjadi sasaran empuk. Dia tersenyum tanpa ada ketakutan di wajahnya.
"Mungkin waktu itu kau bisa selamat, Bangsat! Tapi tidak kali ini. Peluru di dalam pistol ini akan meledakkan kepalamu dan mencabut nyawa anjingmu!"
Arif tertawa mendengar ucapan Waluyo. "Dulu, aku membiarkanmu menyakitiku. Kau tahu karena apa? Karena aku masih tahu berterima kasih pada ibumu itu, yang telah merawat dan membesarkanku. Namun, sekarang ia telah tiada. Tak ada lagi kecemasan di hatiku untuk menghancurkanmu."
"Banyak bacot!" Waluyo benar-benar mewujudkan keinginan hatinya untuk membunuh. Pelatuk pistol ia tarik, tapi kemudian wajahnya pucat pasi.
Arif tertawa lalu secepat kilat menggunakan kelengahan Waluyo dengan menarik pistol di tangan Waluyo dan membuat lelaki itu sekarang berada di bawah kuasanya. Terhimpit di bawah tubuhnya yang besar dan tegap.
"Kau bingung?"
Jari-jari Arif yang kasar sekarang mencekik Waluyo ke tanah. Matanya menyiratkan seribu tanya.
"Abangmu yang kepala kampung itu, telah melucuti semua peluru dalam pistolmu itu. Aku sarankan itu agar kau tidak melukai orang lain. Walau tujuanku sebenarnya adalah agar aku bisa leluasa membunuhmu. Membunuh? Oh tidak, aku ... ingin menyiksamu dulu. Pelan-pelan. Kau masih ingat rumah hantu di tengah hutan? Di mana dulu kau pernah meninggalkanku dalam keadaan terikat di sana sendirian, sementara kau dan teman-temanmu pergi sembari tertawa terbahak-bahak. Akh, masa muda yang sangat indah, ya, Saudaraku? Dan aku akan mengulangnya kembali denganmu. Yah, hanya kita berdua!"
Dengan kemarahan yang sangat luar biasa, kedua tangan Arif terangkat ke udara, lalu secepat tiupan badai, ia hantamkan ke bagian telinga Waluyo kiri dan kanan.
Lelaki itu tidak mendengar jeritannya sendiri. Telinganya berdenging, matanya berkunang-kunang. Hal terakhir yang ia ingat, sebelum semua bayangan memudar menjadi gelap adalah wajah Arif yang menyeringai penuh kebencian.
Arif menatap langit yang kian memudar. Embusan angin kian kencang. Daun-daun dan ranting pepohonan melantunkan nada-nada kematian. Arif tertawa terkekeh sembari menyeret kaki Waluyo ke dalam hutan di tepi kuburan.
Tak ada lagi rasa sayang di hati. Semua kenangan indah yang mencoba mengingatkannya, ia tepis dengan cepat. Kilasan-kilasan Waluyo kecil berusaha memenuhi pikiran Arif.
"Aku pasti membunuhmu, Waluyo! Walau kutahu, kau adalah adik yang paling kusayang, tapi rasa benciku jauh lebih besar. Aku terlalu buta untuk melihat betapa jahatnya kau selama ini!"
Arif membiarkan matanya basah sementara kakinya terus melangkah kian jauh ke dalam hutan, dengan tubuh Waluyo yang sekali-kali terantuk ke batu-batu di antara tumbuhan rumput.
Semakin ke dalam, hutan semakin gelap. Langit pun seolah menghilang dari pandangan. Binatang malam berteriak-teriak ketakutan.
Akankah darah tumpah malam ini?