1. RUMAH TUA
Arif berlari secepat bayangan setan. Matanya seakan sudah terbiasa dengan kegelapan. Walau hujan masih mendera bumi, ia tetap menderap langkah, menjauhi bangunan tua yang semakin terlihat menyeramkan di kelamnya malam. Rasa benci yang selama ini tersimpan di dalam hatinya, seolah meluap keluar dan memuncak sampai ke ubun-ubun. Andai saja ia tidak menahan diri, Waluyo mungkin sudah menjadi bangkai saat ini.
“Kau bisa bernapas lega untuk sejenak, Waluyo. Jika kuturutkan hati, bisa saja aku menancapkan pisau tajam itu ke jantungmu. Atau mengoyak lehermu sampai putus. Tenang saja. Ini hanya masalah waktu. Bagiku saat ini adalah merebut anaknya Sanira dari Bang Andro. Kalian tidak layak mengasuhnya. Bahkan semua penghuni kampung itu akan aku musnahkan. Tidak ada yang berhati manusia. Semuanya jahanam dan layak mengisi neraka. Ini sumpahku. Tak akan kubiarkan satu pun dari mereka hidup!”
Semakin cepat ia melangkah, semakin kuat debaran jantungnya. Namun, Arif bergegas sembunyi di balik pohon besar, ketika di depannya, tepatnya di area kuburan, terlihat beberapa cahaya senter dan teriakan manusia.
“Waluyo!”
“Di mana kamu, Waluyo?”
Arif mencoba menerka-nerka siapa saja orang-orang tersebut.
Ada sepuluh orang. Tersebar di setiap area kuburan. Hmmm, Bang Andro mencari Waluyo? Bagus! Setdaknya dia mencemaskan adiknya itu. Arif tersenyum sinis. Menunggu dengan hati berdebar.
“Pak Kepala. Kita sudah hampir satu jam di sini. Di bawah derasnya hujan. Kami rasa Waluyo tidak mungkin di kuburan ini. Kalau dia masuk ke hutan, itu juga sangat mustahil. Kita tahu, betapa angkernya hutan ini.”
Lapat-lapat Arif mendengar suara seseorang. Matanya mencoba mengenali sosok tersebut. Wedon, lelaki bertampang jelek dan berkulit hitam. Wajahnya jelas terlihat kesal karena harus berjibaku dengan deraan hujan yang menggila.
Di depan Wedon, Andro terlihat semaki gelisah. “Lalu ke mana dia? Tidak mungkin dia hilang begitu saja bak ditelan bumi!”
Wedon menggaruk kepalanya yang basah. “Sudahlah, Pak. Waluyo itu sudah besar. Bisa saja sekarang dia sedang di kota. Mabuk-mabukan dan bercinta dengan pelacur. Bapak tahu sendiri bagaimana kebiasaan dia. Kalau sudah suntuk, tidak jauh-jauh dari perempuan dan minuman keras. Lebih baik kita akhiri saja malam ini. Hujan tidak juga berhenti. Nanti Bapak sakit pula."
Arif sangat tahu kalau Wedon tidak benar-benar peduli. Lelaki buruk rupa itu paling malas kalau disuruh-suruh. Bagi Arif, Wedon juga salah satu target yang harus ia singkirkan. Lalu juga saudara lelaki itu, Woden. Mereka memang tidak kembar, tapi jelas kelakuan keduanya sangat menjijikkan.
Dari balik pohon, Arif terus mengamati mereka. Woden, yang tadi dipikirkan Arif, dan tampangnya tak kalah mengerikan dibanding saudaranya, Wedon, mendekati Pak Kepala Kampung.
"Marilah kita sudahi hari ini, Pak. Kita sibuk nyari-nyari dia, tahu-tahunya Si Waluyo sedang berindehoy ria." Dia melempar pandang ke arah Wedon.
Karena memang tidak ada lagi titik terang atas keberadaan Waluyo, Andro memutuskan untuk segera kembali ke rumah.
"Atau begini saja, kau Wedon dan Woden, tetap tinggal di sini! Siapa tahu tiba-tiba saja, Waluyo muncul. Kalian bisa membawanya pulang."
Kejut dua saudara itu tidak terkira, "bagaimana mungkin, Pak? Kami mesti berteduh di mana?"
Andro menatap tajam. Dia meraih sesuatu dari belakang punggungnya.
"Masih sayang nyawa?" Andro menodongkan pistol ke kepala Wedon. Wajah lelaki itu langsung pucat.
"Ampun, Pak!"
Keduanya menjatuhkan diri berlutut.
"Kalian tahu aku tidak suka dibantah! Jika ingin berumur panjang, kerjakan apa yang kuperintah!"
Keduanya menyatukan dahi di tanah yang basah. Andro tersenyum sinis lalu mengajak tujuh orang lainnya untuk beranjak dari tempat tersebut.
"Bangsat! Dia benar-benar ingin membunuh kita, Wedon! Sampai kapan kita akan selalu menjadi anjingnya?"
"Kau benar! Andai dia tidak membawa senjata, ingin aku duel dengannya. Lama-lama si Andro ini kumatikan juga!"
Kedua orang itu mengeluarkan kutuk serapah sambil menendang batu-batu nisan yang ada di kuburan tersebut.
Namun, keduanya dikejutkan oleh suara tepuk tangan. Sontak, mereka berbalik dan menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari balik pohon besar.
Sosok tinggi besar, keluar sambil bertepuk tangan.
Awalnya, Wedon dan Woden menduga itu adalah setan, tapi ketika sosok itu mendekat dan wajahnya terlihat jelas, sontak kedua orang itu terkejut.
"Arif?"
Arif berdiri di depan mereka dengan tatapan penuh kebencian.
"Sedang apa kau di sini? Buk ... bukankah ... kau sudah ...?"
"Mati?" Arif memotong kalimat Wedon. "Kau takut?"
Kedua orang itu mundur selangkah demi selangkah.
"Kau mau apa?"
Arif terkekeh. Namun, wajahnya tetap dingin dan kelam. Mengeluarkan aura yang sangat menyeramkan.
"Tentu saja aku ingin mencabut nyawa anjing kalian!"
Wedon dan Woden saling pandang, lalu keduanya tertawa terbahak-bahak.
"Mencabut nyawa kami? Aku tidak salah dengar 'kan, Wedon?"
"Haha! Aku ingin tahu, atas dasar apa kau ingin membunuh kami!?" Woden bersiap dengan tubuh berdiri tegap. Dia tahu bakalan terjadi perkelahian di kuburan ini. Melihat gerak-gerik Arif yang mencurigakan.
"Kau mau tahu alasanku?" Arif menyeringai. Dia maju selangkah. Kedua orang di depannya semakin waspada.
"Bukankah kalian yang telah mengirim Hamidah ke luar kota lalu menjadikannya pelacur?"
Sontak tawa Wedon dan Woden tidak tertahankan. Tawa mereka benar-benar terdengar menjijikkan.
"Kau masih menyukai pelacur itu? Hahaha, kau tahu, Arif, kami juga sudah mencicipi tubuhnya. Memang benar-benar nikmat bercinta dengan mantan primadona desa!" Wedon menahan perutnya karena tertawa. Arif menggertakkan rahang.
"Aku hanya ingin tahu, siapa yang menyuruh kalian mengirim Hamidah ke luar kota? Siapa yang telah menjebak Hamidah sehingga dia menjadi pelacur?"
Suasana mencekam. Arif menautkan gigi saking geramnya.
"Santai, Arif! Semua orang tahu kalau kau tergila-gila pada jalang satu itu. Namun, apa kau tahu kalau Pak Kepala Kampung juga mengintai Hamidah!"
"Apaaa?" Arif sangat terkejut. "Jadi Bang Andro yang membuat Hamidah terjerumus ke lembah hitam itu?"
"Ooo, kau jangan salah sangka! Bukan dia! Tapi .... Hahaha."
Kedua orang itu memuaskan diri dengan tertawa terbahak-bahak. Seolah-olah apa yang mereka sampaikan adalah sesuatu yang lucu. Arif kian tidak sabar.
"Kalian membuatku muak! Matilah!" Tanpa diduga oleh Wedon, tangan Arif berkelebat. Sebilah pisau menyabet lehernya dalam sekali gerakan.
Woden yang melihat kejadian itu, berteriak ngeri. Darah menyembur dari leher saudaranya.
"Keparat! Apa yang kau lakukan?" Woden berusaha menahan tubuh Wedon. Namun, darah yang mengucur tak henti-henti membuatnya ikut terjatuh ke tanah yang basah. Wedon memegang lehernya. Matanya melotot tidak percaya.
Sesaat tubuhnya melejang-lejang lalu tewas dengan mata melotot. Melihat saudaranya tidak lagi berkutik, Woden berusaha untuk kabur karena teramat takut melihat Arif yang sekarang mencengkeram bahunya.
"Ampun ... ampuni aku, Arif! Ampuni akuuu! Jangan bunuh aku, Rif. Aku mohon!"
Arif menendang punggung Woden, membuat pria itu terjerembab dan kepalanya menghantam batu nisan. Sesaat ia merasa pusing.
"Kau ingin selamat?" Arif mengacungkan pisau di wajah lelaki malang itu. Woden mengangguk dan memegang kepalanya yang sakit.
"Kau gendong mayat saudaramu dan bawa ke tempat yang kuinginkan!"
Walau bingung, Woden berusaha berdiri. Dia mendekati mayat Wedon. "Ke mana?"
"Ke rumah tua di dalam hutan!"
Mendengar jawaban Arif, Woden berjengit. Bulu romanya berdiri. "Mau apa kita di sana?" tanyanya menyelidik. Arif menggoreskan ujung pisau di punggung Woden. Lelaki itu sontak menjerit kesakitan. Terasa perih dan darah pun keluar dari luka panjang di punggungnya.
"Jangan banyak tanya! Ikuti saja apa yang aku inginkan!"
Karena takut mati, Woden menggendong mayat Wedon yang terasa sangat berat. Sementara Arif berjalan di belakangnya dengan pisau terhunus.
Sudah begitu lama Woden tidak mengunjungi rumah hantu tersebut. Jangankan mendatangi rumah itu, memasuki hutan ini saja sudah bertahun-tahun tidak ia sambangi.
"Kau masih ingat rumah itu, Woden?"
Woden menjawab dengan deheman. Bagaimana ia tidak ingat. Bukankah rumah itu dulu adalah tempat paling sering mereka gunakan untuk mengerjai Arif. Dengan Waluyo sebagai ketua geng, mereka benar-benar membuat Arif diperlakukan tidak layaknya manusia.
"Kau tenang saja. Aku membawamu ke sana bukan untuk membalas dendam atas apa yang kau lakukan dulu. Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal kepadamu. Di sana adalah tempat paling rahasia, yang jauh dari mata dan telinga manusia." Arif tersenyum licik. matanya menyiratkan sejuta kebencian.
Perasaan Woden semakin tidak menentu. Ingin melawan, tapi mentalnya terlalu lemah. Takut jika Arif menyembelihnya seperti ayam.
"Hujan akan membasuh dan menghanyutkan semua darah Wedon. Alam pun sangat berpihak padaku sekarang. Aku minta maaf karena telah menghabisi saudaramu, Woden! Tapi percayalah, dia pasti bahagia saat ini. Hahaha."
Semakin mendekati rumah tua, jantung Woden semakin berdegup kencang.
"Sebenarnya, apa yang akan kau lakukan di sini, Rif?" Woden kian tidak sabar. Begitu sampai di halaman rumah, ia menghempaskan tubuh Wedon.
"Tentu saja ingin membunuhmu!"
"Apa?"
Woden tidak sempat mengelak ketika kayu sebesar lengan mendarat di kepalanya. Tubuhnya ambruk seketika. Pandangannya nanar, lalu semuanya gelap. Arif menyeret tubuh Wedon dan Woden ke dalam rumah. Waluyo berusaha mengenali siapa yang datang. Ia berteriak, mengira ada orang yang akan menolongnya.
"Siapaaaa? Tolong aaaku!"
Ruang yang tadinya gelap, mendadak mendapatkan cahaya suram. Terdengar kekehan yang sangat ia kenal.
"Kau masih hidup, Dik?"
Waluyo merasakan ketakutan kembali datang menyergap. Dari sela matanya yang bengkak, ia melihat Arif menyeret dua tubuh manusia.
"Bang??? Apa yang kau lakukan?"
Arif terkekeh. Napasnya terengah-engah. "Aku membawakan teman untukmu. Satunya sudah jadi bangkai, satunya lagi entahlah, apakah masih hidup atau sudah mati!"
Kepala Wedon dan Woden dia taroh tepat di depan Waluyo. Lelaki itu langsung kaget. "Woden? Wedon?"
Dia tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Apa maksud semua ini, Bang? Kenapa kau membunuh mereka?"
Arif menyeringai. "Mereka telah memperkosa Hamidah! Dan katanya, Bang Androlah yang menyebabkan Hamidah jadi pelacur!"
"Apaaa?"
Waluyo menggigit bibirnya. Tidak percaya dengan apa yang Arif sampaikan.
"Di belakang rumah ini ada sumur tua, bukan? Sebaiknya mayat Wedon kumasukkan ke sana. Nanti kalau Woden juga mati, bisa kumasukkan juga ke sana. Lalu kalau kau mati, juga kumasukkan ke sana. Bagaimana menurutmu, Dik?"
Pertanyaan Arif dijawab dengan ratapan oleh Waluyo.
Arif pun tertawa terkekeh-kekeh.