WebNovelReSTART100.00%

00. Putus

"Vin, aku ingin ... kita pisah...."

"Pisah?" Ia mengulang perkataan sang lawan bicara, mengonfirmasi. Lalu menarik nafasnya perlahan saat perempuan di hadapannya menganggukkan kepalanya. "Berapa lama?"

Kening perempuan itu mengerut dengan kedua alis yang sedikit menukik. Ekspresi bingung begitu kentara sekali di wajah perempuan itu saat ini. Mendapati raut bingung dari perempuan itu, membuatnya kembali menarik nafasnya. "Kamu biasanya meminta break denganku kalo kamu sedang mendekati deadline projek. Karenanya, aku tanya, berapa lama sampai projekmu selesai?"

Perempuan itu membuang muka ke arah lain. Sementara jemarinya bergerak di atas meja. Mengetuk-ngetuk pelan meja di dekat cangkir kopi panas. "Bukan begitu, Vin," sahut perempuan itu, "Maksudku, ayo akhiri hubungan kita sampai di sini aja. Aku ingin kita putus."

Ia terdiam sejenak. Kendati begitu, matanya terus menatap lurus pada sepasang mata di hadapannya. "Kenapa?"

"Aku..." Perempuan itu menelan ludah dengan sedikit gugup, "...udah nggak mencintaimu lagi."

Ia menarik nafas, lalu menarik tangannya yang hendak mengangkat secangkir kopi panas, dan bersedekap. Punggungnya dengan perlahan disandarkannya pada sandaran kursi kayu yang didudukinya. Alisnya menukik samar. Sementara matanya menatap ke arah sosok perempuan yang duduk di hadapannya sesaat, sebelum beralih menatap pemandangan di luar jendela.

Ditatapnya rintik air hujan yang perlahan jatuh dan membasahi bumi. Dia biasanya menyukai hujan. Aroma hujan selalu menenangkannya. Namun, saat ini, suara rintik air hujan sama sekali tidak membantunya menenangkan perasaannya yang tidak keruan. Pikirannya benar-benar campur-aduk. Terlebih saat memperhatikan air hujan yang jatuh ke tanah dan menghilang begitu saja.

Hilang...

Ia tahu, perasaaan adalah sesuatu yang misterius. Bahkan, meski ia sudah menjalin hubungan dengan seseorang selama empat tahun lamanya pun, dia tidak pernah bisa untuk benar-benar memahaminya.

Namun, ia juga tahu, banyak orang berkata, setiap manusia mempunyai titik jenuhnya sendiri.

Tapi, hilang... tidak bersisa...

Ia memejamkan matanya sejenak. Mencoba mengingat segala hal yang terjadi kemarin. Mencari-cari setitik kesalahan kecil yang mungkin menyebabkan lawan bicaranya ini mengucapkan kalimat sakral itu dengan mudahnya.

Keningnya mengerut samar. Ia benar-benar tidak tahu apa yang dilakukannya kemarin. Ia benar-benar tidak mengerti sesuatu yang dilakukannya kemarin. Terlebih yang dia ingat, perempuan di hadapannya masih sempat tertawa bersamanya saat mereka bersama kemarin sore.

"Jadi, kamu udah nggak mencintaiku lagi?"

Ia kembali melemparkan tanya. Mencoba mencari afirmasi, meski ia ketahui itu semua jelas-jelas bohong. Entah, dia yang terlalu handal untuk membaca perempuan di hadapannya seperti sebuah buku, atau pada nyatanya, hanyalah dirinya yang tidak rela untuk menerima kenyataan.

"Seharusnya kalo kamu memang nggak suka denganku, kamu bisa bilang itu pada dirimu empat tahun lalu saat kamu menyatakan perasaanmu padaku," lanjutnya diikuti dengan kekehan diujung kalimatnya. Entah bermaksud menyindir perempuan di hadapannya, entah menyindir dirinya sendiri yang percaya dengan kata cinta yang diucapkan oleh perempuan di hadapannya selama empat tahun ini.

Ia lagi-lagi menarik nafasnya. Ekspresi wajahnya perlahan melunak. "Memangnya aku melakukan apa hingga kamu ingin kita putus, Mei?"

Matanya memandang perempuan yang dipanggilnya Mei. Erika Gabi Meira. Kekasihnya yang sudah ia kencani sejak empat tahun lalu, saat mereka berada di tahun terakhir sekolah menengah atas.

Ekspresinya saat menatap Mei saat ini, mungkin terlihat seolah-olah ia sama sekali tidak peduli dengan permintaan putus dari Kekasihnya itu. Tapi pikirannya benar-benar berkecamuk. Mencari tahu apa yang salah.

Tangannya ia taruh di atas meja. Jemarinya perlahan mulai mengetuk meja dengan pelan. Sebuah kebiasaan yang dilakukannya kala berpikir.

"Aku lelah, Vin."

Mendengar perkataan Mei, membuat jemarinya terhenti. Sebelah alisnya terangkat tinggi secara spontan meski hanya sejenak.

Berbagai macam pertanyaan mulai terlintas di kepala, namun ia tetap memilih diam. Tidak ada niatan untuk mengeluarkan segala macam tanya yang berputar di kepala. Membiarkan perempuan di hadapannya untuk memuntahkan segala isi hati dan pikiran yang mungkin saja begitu mengusiknya.

"Aku merasa..." Perempuan itu menarik nafasnya. Lalu, bibirnya menyunggingkan senyum. Sebuah senyum penuh akan keprihatinan. "Aku seperti jatuh cinta seorang diri. Kamu menerimaku pasti karena terpaksa, kan? Padahal, aku pikir, setelah kita berpacaran seperti ini, aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku. Namun aku salah. Kamu nggak pernah bisa menyukaiku seperti aku menyukaimu. Dan, aku yakin, kamu pasti bosan, kan? Tapi kamu nggak pernah berani untuk bilang padaku?"

"Apa―"

"Karenanya ... aku ingin mengakhiri hubungan kita," sela Mei cepat tanpa membiarkan dirinya berbicara. "Aku harus segera pulang. Besok pagi, aku harus kembali ke asramaku."

Ia hanya bisa terdiam. Tidak ada niat untuk mengejar perempuan itu kendati matanya tidak luput sedetik pun dari punggung yang perlahan menjauh lalu menghilang dari balik pintu kafe. Ia terlalu sibuk berpikir. Mencoba mencerna segala kalimat yang dimuntahkan oleh Mei.

Kata-kata yang diucapkan Mei terasa janggal baginya. Aneh.

Bagaimana bisa Mei beransumsi seperti itu?

Dia bingung bukan main. Memangnya apa pula yang dilakukannya hingga membuat Mei berpikir dirinya tidak pernah mencintainya?

Ia menghela nafas kasar. Punggungnya kembali ia sandarkan pada kursi. Kembali ditatap trotoar dan pejalan kaki yang berlalu-lalang dengan payung di tangan dari balik jendela. Tatapan matanya refleks berubah sendu kala menatap figur Mei yang memegang payung bermotif kucing hitam yang berdiri di dekat zebra cross.

Matanya membelalak saat mendapati sebuah mobil berkecepatan tinggi menerobos lampu jalan dan menabrak pejalan kaki yang hendak menyebrangi zebra cross. Membuatnya dengan segera berlari keluar dari kafe dan menghampiri tubuh yang sudah dipenuhi dengan darah itu.

"MEI!"