Sudah beberapa hari ini aku jarang melihat si anak baru di sekolah, biasanya dia sering terlihat nongkrong di depan kelasnya atau di sekitar kantin belakang.
Kalau upacara, jangan ditanya sudah pasti dia tidak ada karena langganan kena jemur hormat bendera setelah tertangkap basah bolos upacara oleh Pak Baroto. Bukan cuma dia, tapi dengan teman-temannya yang memang aku tau dari dulu mereka adalah biang kerok di sekolah, selalu bikin masalah.
Aku bahkan tak pernah terpikirkan buat terlibat dengan mereka, ku tebak si anak baru bukan sengaja ingin masuk dalam Geng itu, hanya dia adalah orang yang tidak ambil pusing dengan siapa dia ngobrol, atau dengan siapa dia duduk bersama karena selama ini yang kulihat dia akan main atau ngobrol dengan siapa saja bahkan dengan pak Yono, juru bersih sekolah.
Jadi kupikir dia dan mereka hanya kebetulan satu visi tidak ingin hadir saat upacara jadilah mereka bolos bersama dan hasilnya Pak Baroto turun tangan untuk bikin mereka jera.
Pak Baroto itu guru sejarah yang juga adalah guru kesiswaan, tugasnya menangani siswa-siswa yang mebuat masalah. Beliau orang yang galak dan keras, terkadang mulutnya juga sangat pedas dan bikin aku punya cukup banyak alasan untuk tidak terlibat dengan beliau.
Si anak baru juga tidak pernah nongol namanya di ponselku, semenjak sms soal roti tempo hari. Bukannya aku kehilangan, hanya heran dan sedikiiit ... cuma sedikiit khawatir kalau-kalau terjadi hal buruk padanya, dia juga temanku kan?!
Aku tidak pernah tanya pada Dwi karena kupikir itu bukan hal yang masuk dalam urusanku, lagipula Dwi pasti akan menyipitkan matanya dan mulai menginterogasi kalau nama si anak baru keluar dari mulutku.
Apa?
Kirim pesan lebih dulu padanya? Gengsi ah! Selama ini dia yang selalu kirim pesan padaku lebih dulu, dan aku masih mau seperti itu.
Siang ini, di hari minggu aku dan keluarga pergi kondangan ke tempat saudara ayah karna salah seorang kakak sepupuku menikah, kami pergi naik mobil ayah dan tiba di tempat acara 45 menit kemudian, jalanan cukup lengang hari itu dibandingkan weekend biasanya membuat ayah bisa lebih sedikit ngebut.
Seperti halnya acara pesta pernikahan pada umumnya, selalu ramai dengan tamu undangan dan biduan-biduan yang tak kenal lelah memamerkan suara mereka. Ditambah semua saudara ayah ada disana dan biasanya melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang seringkali sulit untuk dijawab karena kamu bahkan tidak pernah terpikir untuk bertanya hal seperti itu pada orang lain atau mereka akan pamer kemampuan anak-anaknya, seolah-olah aku tidak akan bisa seperti itu.
Jujur saja, aku termasuk orang yang tidak terlalu nyaman dengan pesta dan hiruk-pikuk orang-orang di dalamnya, aku akan lebih suka duduk sambil baca buku di tempat yang nyaman dan tenang.
Ayah dan mamah masih ngobrol dengan saudara-saudara, Irin juga sedang sibuk ngobrol dengan sepupu-sepupu kami yang seumuran dengan dia, aku cuma duduk dengan es sirup manis di tanganku sambil nonton biduan yang sedang seru beraksi dengan suaranya.
Aku terkejut saat sadar ada seseorang berdiri di sebelahku, katanya dia sudah dari tadi memanggil tapi aku terlalu fokus dengan apa yang dilakukan biduan di panggung kecil itu.
Dan lebih kaget lagi setelah sadar orang itu adalah si anak baru. Dia ketawa.
"Hahaha, aku panggil dari tadi," katanya setelah menyusut tawa.
"Eh ... Oh, iya enggak denger, musiknya kenceng."
"Aku kira kamu suka nontonnya." sambil senyum penuh arti yang aku tau maksudnya.
"Hah? Haha, enggaklah, gak tau mau ngapain lagi." Jelasku, seolah hal itu penting untuk dijabarkan. Dia hanya semakin tertawa dengan responku. Aku baru sadar, bagaimana bisa kami kebetulan ada di acara yang sama dan aku pun tak pernah berpikir akan ketemu dia disini.
"Loh, ngapain disini?" Keluar juga pertanyaan aneh yang sejak tadi hanya berada di otakku.
"Hehe, nemenin mama, pengantin laki-lakinya anak temen mamaku." katanya sambil nunjuk pengantin di pelaminan.
"Ooh..." kataku sambil nurut melihat ke arah yg dia tunjuk.
"Aku gak sengaja lihat kamu tadi, jadi aku samperin," katanya sambil senyum melihatku.
"Hehe ...iya, oh iya berapa hari ini kayaknya kamu g pernah keliatan di sekolah."
"Aku diskors Pak Baroto, kamu gak tau?" Aku menggelengkan kepala tanda bahwa aku memang tidak tau.
"Hehe, pacarnya Bayu enggak bilang?"
"Enggak, diskors kenapa? Tapi Bayu gak di skors."
"Ketahuan merokok di kelas. Bayu enggak ketahuan, cuma aku. "
"Hah?! Udah gila ya ngaerokok di kelas?!" kataku agak keras.
"Hahahah..." dia malah cuma ketawa.
"Jangan kayak gitu"
"Iya, enggak lagi. kamu nyari aku di sekolah?" tanyanya sambil senyum-senyum padaku.
"Enggak! ih ge-er! Cuma aneh enggak pernah kelihatan beberapa hari, aku pikir sakit." jawabku cepat.
"Hehe, jadi khawatir nih?" Tengil wajahnya kala mengatakan hal itu.
"Enggak juga!" kataku jadi salah tingkah sendiri. Ah, apa harusnya aku tidak usah tanya ya.
"Hahahahaha."
"Ketawa terus."
"Lucu."
"Apa yang lucu?"
"Kamu."
"Aku kan enggak ngelawak."
"Hahaha iya tau, tapi tetep lucu," katanya sambil lihat wajahku lekat-lekat.
"Kenapa? Ada sesuatu di mukaku?" tanyaku sambil memegang pipi dan dahi, kalau sampai ada hal aneh yang nempel, atau ada sisa cabe di gigi, sepertinya aku akan malu sampai mati!
"Ada."
"Hah?! Dimana? Apa?" Aku kelabakan sambil mencari cermin kecil yang selalu aku bawa di dalam tasku.
"Ada senyumnya, bagus. Hehehe."
"Hah?!" Bingung sendiri aku.
"Hahahah, cuma mau lihat senyumnya lama-lama kok."
"Astaga ... aku kira beneran ada yg aneh di mukaku" kataku sedikit kesal.
"Hahaha, enggak aneh, cantik kok." Pujinya tiba-tiba.
"Hih ... apaan sih." Sedikit salah tingkah aku jadinya.
"Besok aku sudah masuk sekolah kok."dia alihkan pembicaraan.
"Oh, bagus deh." Sahutku sok cuek, dia terkekeh geli.
"Jangan nakal, kan baru pindah nanti kena masalah." kataku sok menasehati, tapi memang benarkan yang ku bilang? iya, ini wajar.
"Iya,enggak nakal lagi." Ucapnya masih dengan tawa gelinya yang tipis.
"Bim, hayu mama udah selesai." seorang perempuan paruh baya yang sepertinya seumur mamah datang menghampiri kami.
"Ohiya ma, hayu."
Oh, sepertinya ini ibu si anak baru.
"Eh, ini siapa? Temen kamu?" Beliau menoleh ke arahku, wajahnya ramah tersenyum cantik.
"Halo tante, saya Raya temen satu sekolah Bimo." kataku kikuk tapi mencoba tetap ramah.
"Iya calon pacar ma, sekarang masih temen." Dia bicara enteng sekali, aku cuma bisa melotot kearahnya, dan dia hanya terbahak melihat bagaimana reaksiku.
"Hih, kamu mah ada-ada aja, jangan gangguin anak gadis orang ih! udah hayu pulang. Duluan ya Raya." Pamit mamanya dengan ramah padaku.
"Iya tante, hati-hati," jawabku sopan.
"Aku duluan ya," katanya sambil senyum ke arahku. Kujawab hanya dengan anggukan.
Kemudian dia jalan mengikuti sang mama yang sudah melangkah lebih dulu, tapi dia berhenti dan berbalik lagi menghampiriku.
"Nanti malam aku telepon lagi boleh?" Katanya.
"Hah? Oh iya, boleh." Sedikit bingung aku menjawab pertanyaan tiba-tiba. Dia kembali melempar senyumnya padaku dan mulai benar-benar berjalan pergi, memang orang yang sukit ditebak.
"Cieee ... siapa mbak? Udah dapet kenalan aja." Irin tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.
"Apaan sih, itu temen satu sekolah, gak sengaja ketemu." Benarkan ucapanku?
"Iyadeeeh ... percaya aku," katanya ngeledek.
"Percayanya kamu tuh gabisa dipercaya." Omelku. Irin hanya tertawa, diikuti mamah yang juga mendengar ledekannya padaku barusan.
Punya adik usil memang terkadang bikin kesal, Irin sering kali menggodaku seperti sekarang ini karena biasanya dia memang jarang melihatku ngobrol dengan cowok kecuali Arif karena dia kadang main kerumahku—tanpa diundang—dan Irin tau aku tidak menyukai Arif secara romantis. Jadi kalau dia lihat aku ngobrol dengan cowok selain Arif dia akan mulai usil.
"Raya, Irin, yuk pulang, salim sama pakde-pakde sama tante-tante dulu sini."
Mamah yang sudah selesai ngobrol memanggil kami untuk pamitan pulang pada saudara-saudara ayah.
Jam 7 malam kami baru tiba dirumah, si bibi ternyata sudah masak makan malam dan mamah bilang untuk makan dulu sebelum istirahat, tapi aku capek dan masih kenyang karna es sirup manis dan kue-kue yang tadi aku makan sewaktu di pesta jadi aku bilang pada mamah tidak ikut makan dan ingin langsung istirahat saja.
Setelah mandi aku merebahkan badan di kasurku yang dingin karena seharian kosong, biasanya hari minggu aku akan nempel pada kasurku sambil baca semua novel yang sudah aku beli atau sewa, dan aku bisa melakukan itu seharian sampai lupa makan dan mandi yang bikin mamah jadi kerap mencak-mencak.
Ponselku bergetar tanda ada telepon masuk, tentu saja aku sudah memperkirakan siapa yang meneleponku sekarang ini. Aku langsung terduduk begitu melihat bahwa benar nama itu yang ada di layar.
Sedikit berdeham aku, agar suaraku tidak serak saat nanti bicara, beberapa detik kemudian ku tekan tombol untuk menerima panggilan.
"Halo."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Pasti udah mandi."
"Tau darimana?"
"Wangi samponya sampe sini."
"Hahaha, enggak jelas deh."
"Hehe, lagi baca buku?" Tanyanya, seperti basa-basi tapi entah kenapa aku nyaman saja.
"Enggak, rebahan aja."
"Ooh, suka baca kan kamu?"
"Iya, tau darimana?"
"Pernah ketemu di toko buku."
"Oh, yang waktu sama Arif?"
"Iya kayaknya, suka baca buku apa?"
"Apa aja, yang penting buku."
"Buku tulis juga buku."
"Hahaha, ya maksudnya bukan suka dengan tema tertentu, aku baca buku apa aja terutama yang ada ceritanya seperti novel."
"Hehehe, pinter berarti."
"Enggak juga."
"Aku juga biasanya baca buku, kecuali buku pelajaran."
"Hahaha, justru buku pelajaran yang harus rajin dibaca."
"Aku anak malas."
"Ahahah." Aneh, kenapa aku jadi ketawa terus setiap ngobrol sama dia? Kami ngobrol di telepon lumayan lama, bicara hal-hal ringan dan absurd yang aku sendiri pun takjub karena bisa leluasa ngobrol dengannya seperti sudah kenal lama.
Jam 11 akhirnya kami selesai bicara di telepon. Karena besok hari senin, aku harus segera tidur agar tidak kesiangan.
Entah kenapa sepertinya aku akan tidur nyenyak, mood ku cukup baik saat ini