WebNovelObjek 01146.81%

#Zac #020

Ketika Haidee bangun, jaket Adiwangsa ada di badannya. Begitu kesadarannya telah terkumpul sepenuhnya, ia melihat Adiwangsa berdiri di depannya. Pria itu meminum susu UHT kotak sembari melihat ke sana-kemari.

"Sudah bangun?" Adiwangsa berbalik dan berbicara pada Haidee. "Nih!" tambahnya melempar kopi instan kaleng.

Haidee telah bersiap untuk menangkap lemparan Adiwangsa, tapi tiba-tiba telinganya berdenging panjang. Sesaat Haidee bahkan tidak bisa mendengar apa pun yang ada di sekitarnya. Kesibukan segala aktivitas yang ada di stasiun, langkah kaki, dan suara percakapan orang-orang yang mulai berdatangan dan memenuhi stasiun mendadak hening. Kopi kemasan yang Adiwangsa lempar pun mengenai wajahnya.

"Kenapa? Masih belum sadar?" kata Adiwangsa lagi. Ia mengambil jaket miliknya dan mengebaskannya.

Haidee menggeleng, kemudian bangun. Fungsi pendengarannya telah kembali normal dan suara berdenging sudah tidak ada lagi. Haidee mulai meneguk koipnya dan seketika ia menjadi lebih baik.

"Jam berapa?" tanya Haidee. Ia masih mengenakan piama rumah sakit dan keberadaannya membuatnya menjadi pusat perhatian. Untungnya ia telah bercukur dan memendekkan potongan rambutnya jadi penampilannya tidak begitu berantakan.

"06.55. Lima menit lagi kereta datang," jawab Adiwangsa setelah melihat jam tangannya.

"Kalau begitu aku mau cuci muka dulu." Haidee mulai beranjak. Baru berjalan beberapa langkah, ia berhenti dan melihat Adiwangsa membuntut di belakang. "Apa?" tanyanya.

"Bosku bilang, aku terlalu naif jika mempercayaimu begitu saja. Jadi aku bisa apa?" Adiwangsa mengangkat kedua bahunya bersamaan.

"Terserah!"

Adiwangsa benar-benar membuntut sampai ke dalam toilet. Bahkan saat Haidee masuk ke dalam bilik, Adiwangsa berjaga di depan pintu.

Sampai akhirnya kereta datang, Haidee sama sekali tidak melakukan tindakan-tindakan yang mencurigakan atau berusaha melarikan diri. Mungkin sedang dalam mode penurut atau sedang mencari-cari kesempatan lain. Meski begitu Adiwangsa sama sekali tidak melonggarkan pengawasannya.

Setelah turun dari kereta, mereka berjalan kaki sekitar lima menit dan tiba di depan sebuah apartemen kelas menengah.

"Halo, Pak Tua! Beri aku satu kilo apel." Adiwangsa berhenti di depan sebuah kios buah depan bangunan apartemen.

"Sudah pulang, Zac!

Zac, ini nama kedua yang Haidee dengar dari orang yang berbeda. Nama pertama Zen Adnan, didengarnya dari Hana Lutfia yang tempo hari menemuinya di rumah sakit.

"Ini pertama kalinya aku melihatmu membawa pulang seorang teman," kata Pak Tua lagi. Ia melirik ke arah Haidee. "Padahal aku berpikir saat melihatmu membawa pulang seseorang, itu adalah wanita paling cantik di Pulau Gama."

Adiwangsa hanya tersenyum.

"Bagaimana bisa dia membawa seorang wanita pulang, kalau saat didatangi saja kabur," Haidee menimpali.

"Benarkah?" Pak Tua tertawa. Ia mulai menimbang apel yang ia pilihkan untuk Adiwangsa. "Aku tidak berpikir kalau kamu telah kehilangan kejantananmu, Zac."

"Jangan percaya omong kosongnya, Pak Tua! Lihat pakaiannya, aku baru membawanya kabur dari rumah sakit jiwa. Dia sering mengalami halusinasi. Jadi kusarankan, Pak Tua, jangan percaya apa pun yang dia katakan." Adiwangsa membela diri.

Pak Tua tidak menanggapi. Ia hanya tertawa.

Ketika Adiwangsa telah menerima apel miliknya, ia berjalan lebih dulu menaiki anak tangga pendek, dan memasuki lobi apartemen. Haidee membuntut, tapi kemudian ia berhenti dan berbalik pada Pak Tua.

"Maaf," kata Haidee membuat kesan baik agar tidak dikira benar-benar gila. "Apa Anda tahu apa pekerjaan orang itu?"

"Pekerjaan Zac?" Pak Tua balik bertanya dan Haidee mengangguk. Pak Tua kemudian menggerakkan telunjuknya sebagai isyarat agar Haidee mendekat. "Mata-mata," jawab Pak Tua.

Haidee terkejut. Keningnya berkerut dalam.

Di mana ada seorang mata-mata yang membuka identitas dan memamerkan pekerjaannya pada orang lain. Atau jangan-jangan Adiwangsa dan Pak Tua memiliki hubungan yang begitu dekat sampai-sampai Adiwangsa harus berkata jujur mengenai pekerjaannya. Atau kemungkinan lain, Adiwangsa dan Pak Tua adalah satu komplotan.

Benar! Kemungkinan kedua lebih terdengar masuk akal.

Melihat ekspresi Haidee yang begitu serius, Pak Tua kemudian tertawa. "Kamu percaya?" Pak Tua masih tidak berhenti tertawa. "Atau jangan-jangan Zac sendiri yang bilang kalau dia mata-mata?"

"Jadi bukan?"

"Jangan percaya omong kosongnya!" Pak Tua mengingatkan. "Dia berkata seperti itu hanya agar terlihat keren. Zac bekerja di sebuah perusahaan keamanan. Dia sering menyamar sebagai tukang bersih-bersih, teknisi, badut, dan pengawal saat mendapat tugas untuk menjaga klien diam-diam. Makanya dia sering membual tentang mata-mata."

Haidee mencoba ikut tersenyum meski ia merasa tidak ada hal yang lucu. Ia kemudian pamit pada Pak Tua dan mengejar langkah Adiwangsa yang telah berada di depan lift.

Dalam lift, Haidee memandangi Adiwangsa dalam diam. Pria itu benar-benar tidak bisa dianggap remeh. Haidee harus menyusun rencana dengan matang jika ingin menang.

Keluar dari lift, mereka melewati beberapa pintu. Pintu 303 atas nama Adiwangsa, kemudian berhenti di papan 304 atas nama Zac. Adiwangsa memasukkan kunci dan membuka pintu.

Ruangan di balik pintu 304 cukup luas. Mereka berada di ruang depan yang difungsikan sebagai ruang tamu. Haidee sedang sibuk mengamati setiap sudut ketika melihat Adiwangsa mendorong sebuah rak buku yang terlihat berat yang merapat di dinding.

Begitu rak buku digeser, sebuah pintu terlihat. Adiwangsa berjalan masuk, Haidee masih membuntut dalam diam. Ketika mereka telah masuk, pintu tertutup dan otomatis rak buku kembali bergeser ke tempatnya.

"Ruang rahasia?" pikir Haidee masih belum sadar kalau mereka sebenarnya telah berpindah ke ruangan di balik pintu 303.

"Silakan istirahat di mana saja. Sesukamu." Adiwangsa melempar jaketnya sembarangan, memasukkan apel dalam kulkas, dan menjatuhkan dirinya di atas kasur.

Meski dikatakan istirahat di mana saja dan sesukanya, Haidee tidak bisa menemukan tempat selain duduk di lantai.

Ruangan kali ini lebih luas dibanding ruang sebelumnya. Haidee bisa melihat semua tempat hanya dengan memutar kepala dan bola matanya. Hanya ada satu ruangan tertutup yang Haidee yakin tempat itu adalah kamar mandi sekaligus toilet.

Tidak ingin duduk di lantai tanpa alas, Haidee menarik kursi yang berada di depan meja satu set komputer. Ia duduk dengan nyaman. Mengistirahatkan kaki dan punggungnya.

"Jadi, aku harus memanggilmu siapa? Zen Adnan? Zac? Tuan mata-mata? Atau apa?" Haidee bertanya.

"Adiwangsa," sahut Adiwangsa.

"Kamu bahkan terang-terangan mencomot nama tetangga di samping ruanganmu. Apa kamu tidak tahu malu?"

"Mau kuberitahu 77 nama yang kupakai selama 10 tahun ini?"

Haidee tidak menjawab. Ia tidak tertarik dengan nama-nama yang semua palsu. Apa gunanya. Toh, ia tidak akan bisa mendapatkan identitas dari nama-nama itu bahkan jika ia mendatangi Dinas Kependudukan.

"Jadi Adiwangsa, kapan kamu akan membunuhku?" Haidee beralih pada pembahasan lain.

"Jangan buru-buru!" jawab Adiwangsa dengan malas. Matanya bahkan sudah terpejam. "Misiku adalah memastikan proyek Rekayasa Emosi Manusia berhenti. Selama tidak ada objek, proyek tidak akan bisa dilanjutkan. Jadi, asal kamu bersedia bekerja sama, aku akan mengirimmu meninggalkan Negara ini. Kalau menolak, terpaksa aku harus membunuhmu."

Haidee akhirnya mengerti posisinya. Pantas saja ia tidak segera dibunuh setelah dikirim keluar dari lab. Tidak masalah, artinya ia masih memiliki waktu untuk menyusun strategi.

"Negara mana yang mengirimmu?"

"Kamu tidak familier dengan nama Adiwangsa? Adiwangsa bukan nama yang mudah ditemukan di Negara lain bukan," Adiwangsa menyombong.

Haidee mengingat sebentar, berpikir, kemudian sebuah Negara yang pernah ia kunjungi untuk turnamen melintas di benaknya. "Indonesia?"

Adiwangsa tidak menyahut yang berarti tebakan Haidee benar.

"Berapa lama kamu mengikuti proyek Rekayasa... yang kamu bilang tadi?" tanya Haidee lagi. Tampaknya ia sedang menggunakan waktunya untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

Adiwangsa menghela napas kesal. Ia ingin beristirahat tapi Haidee terus saja bertanya. Adiwangsa akhirnya membuka mata dan beranjak dari kasurnya. "Satu tahun penuh mengamati dari luar, dua tahun dari dalam."

"Bagaimana kamu bisa masuk dan menjadi Zen Adnan?" Haidee mungkin merasa dirinya adalah seorang polisi yang sedang melaksanakan tugas menginterogasi tersangka karena pertanyaan demi pertanyaan terus ia ajukan.

"Mudah." Adiwangsa berhenti di depan Haidee. "Memilih orang yang bisa kugantikan posisinya, mematahkan satu kakinya, dan..." Adiwangsa sengaja mengantung kalimatnya yang kemudian ditutup dengan mengangkat kedua bahunya bersamaan.

"Aku tidak percaya Negara yang katanya santun melakukan hal-hal memalukan dan licik seperti ini."

Adiwangsa spontan saja tergelak. "Tunggu, tunggu!" Adiwangsa berusaha mengendalikan tawanya yang tidak mau berhenti. "Memalukan? Licik? Dua hal itu bukannya Negara kalian ahlinya. Kenapa? Setelah tidur selama tujuh tahun kamu lupa bagaimana cara Negara kalian mendapat pengakuan selama ini?"

Haidee hanya bungkam, bukan tidak tahu tapi tidak ingin berkomentar.

Adiwangsa berhenti di depan kulkas dan mengambil roti tawar. Ia kemudian mengoleskannya dengan banyak selai nanas. Setelah melapisi satu lembar roti tawar lagi, Adiwangsa menuangkan susu cair ke dalam gelas, duduk di atas meja dapur, dan mulai menggigiti rotinya.

"Kalau kamu lapar dan ingin menganjal perutmu, masih ada beberapa roti di kulkas. Jangan malu-malu, anggap saja rumah sendiri. Aku tidak masalah asal jangan kurang ajar," Adiwangsa mempersilakan.

Setelah dipersilakan, Haidee tidak lagi merasa segan. Ia mengambil gelas dan membuka kulkas. Terkejut melihat isi kulkas, Haidee tanpa sengaja menjatuhkan gelas kaca di tangannya dan pecah.

"Hei!"

Rencananya Haidee akan membuat kopi, tapi ia tertarik untuk mengintip isi kulkas lebih dulu, barangkali ada makanan lain selain roti. Memang ada. Telur mentah, sayur, dan apel yang baru dibeli dari Pak Tua. Selain tiga macam itu, yang memenuhi isi kulkas Adiwangsa adalah susu UHT.

Ada lima kotak susu UHT ukuran satu liter full cream di pintu kulkas dan berpuluh-puluh kotak ukuran 250 ml di segala tepat, penuh, mendominasi.

"Apa kamu bayi?" cemooh Haidee. Ia beralih ke tempat lain untuk mencari kopi. "Di mana kopinya?" tanya Haidee pada Adiwangsa yang masih menggigiti rotinya yang tinggal setengah.

"Aku tidak suka kopi, jadi untuk apa menyimpan kopi."

"Tapi aku peminum kopi. Sebagai orang yang diundang bukankah kamu harus bertanggung jawab?!"

"Wah, kenapa jadi terkesan seperti seorang wanita yang sedang hamil dan memaksa untuk dinikahi?" Adiwangsa menimpali asal.

Haidee yang tidak terima mengambil piring kemudian menjatuhkannya di lantai. Padahal pecahan gelas yang sebelumnya belum ia bersihkan. Padahal sebelumnya Adiwangsa sudah memperingatkan agar tidak kurang ajar.

Melihat tingkah Haidee, Adiwangsa yang akan kembali menggigit roti untuk yang terakhir kalinya berhenti. Ia berbalik menatap Haidee sembari melotot. Tidak ingin terintimidasi, Haidee mengambil satu piring lagi di rak dan memasang wajah mengancam.

"Baik, baik. Di rumahku sudah tidak ada apa-apa lagi. Bisa habis semua barang-barangku kalau kamu pecahkan." Adiwangsa menghela napas, merasa menyesal membawa Haidee ke rumahnya.

###