Langit Aldebaran nama yang begitu indah untuk seorang anak laki-laki yang rupawan bahkan dari saat masa kanak-kanak sekalipun sudah membuat banyak orang terkesima akan ketampanan nya.
Tuhan selalu adil, seorang Langit yang selalu di kira memiliki hidup yang begitu sempurna oleh orang banyak pun memiliki kekurangan.
Kesepian,
Iya, tidak memiliki keluarga yang harmonis seperti kebanyakan teman- teman sekolah nya, ibu nya yang seorang desainer terkenal dan ayah seorang pebisnis yang wajah nya selalu tampil dalam majalah majalah Forbes ataupun televisi televisi nasional maupun swasta.
Tidak pernah merasakan rasanya di cintai oleh seseorang dengan begitu tulus,
hingga dia bertemu dengan seorang gadis kecil yang begitu ceroboh di awal pertemuan mereka. Nama nya Aurora Arabella sangat cantik, apalagi di padukan dengan wajah nya yang seakan semesta begitu tidak tega jika menghilangkan senyum ceria di wajah nya.
"Aduh, kamu kalo jalan tuh hati- hati dong nanti kalo aku gepeng di tabrak kamu gimana?!" ujar Aurora yang hampir jatuh ke lantai.
Langit begitu malas untuk menjawab pertanyaan yang menurut nya tidak perlu jawaban karna menang yang menabrak nya gadis ceroboh itu tapi ia sendiri yang marah- marah tidak terima dasar bodoh begitu pikirnya.
"Kamu ko diam aja? tidak mau minta maaf kepada ku memang nya?" ujar Aurora memperbaiki posis berdiri nya.
"Kau yang salah." balas Langit berjalan meninggalkan Aurora yang terperanjat atas tindakan Langit.
Apa- apaan cowok itu. Dasar aneh begitulah pikir Aurora sesaat setelah Langit meninggalkan nya dengan wajah datar.
"Iiiiissss, aku tidak puas mengatai nya hanya dalam hati. Dasar sok keren." misuh Aurora berjalan meninggalkan lorong sekolah yang sudah sepi karna menang sudah lewat sepuluh menit jam masuk kelas.
"Awas saja, jika aku sampai kena omel Bu Dewi karna telat. Aku sumpahi agar cowo yang tadi menjadi pacar ku." ujar Aurora yang memilih berlari agar lebih dulu sampai kelas di banding Bu Dewi yang sudah terlihat baru saja keluar dari ruang guru.
Berpindah ke Langit yang sedang berjalan menuju ruang kepala sekolah yang ternyata letak nya di dekat ruang guru.
Tau gini aku ga usah muter-muter sekolah hanya untuk mencari ruang kepala sekolah nyatanya ada di dekat lobby aku masuk tadi, keluh Langit dalam hati.
Tok tok tok
Langit lebih memilih mengetuk pintu di banding mengucap permisi untuk masuk ke ruangan kepal sekolah itu.
"Ya, silakan masuk." Ujar suara dari dalam ruangan mendengar ada yang mengetuk pintu.
Langit melangkah kan kaki nya dengan tegas tanpa merasa terintimidasi oleh ruangan kepala sekolah yang katanya hanya murid-murid yang bengal yang masuk setelah sekian kali masuk ruang bk tanpa ada perubahan dengan sikapnya.
"Kamu murid baru itu ya?" tanya Pak Herman selaku kepala sekolah yang di jawab Langi dengan anggukan kepala saja.
"Kamu masuk ke kelas dua belas mipa satu ya, kelas nya berada di sebrang gedung ini di lantai dua." ujar Pak Herman yang masih melihat buku laporan agenda yang masih memiliki persediaan tempat duduk untuk Langit.
"kamu tidak keberatan kan pergi ke kelas sendiri? karna saya habis ini ada rapat dengan para kepala sekolah seluruh Jakarta untuk membahas masalah anak-anak yang sering melakukan tauran antar pelajar." ucap Pak Herman lagi dengan menatap Langit yang hanya diam mendengarkan.
"Iya pak." jawab Langit saat melihat mimik wajah kepala sekolah baru nya itu menunggu jawaban dari nya.
Pak Herman memperhatikan Langit yang tetap diam setelah jawabannya itu. "Baik, kamu bisa langsung ke kelas dan saat pulang sekolah nanti kamu bisa ke koprasi untuk mengambil seragam sekolah mu." dan lagi- lagi hanya di jawab anggukan oleh Langit.
"Saya keluar pak. Terima kasih." ujar Langi sedikit menundukkan kepala dan langsung berlalu keluar ruangan kepala sekolah tersebut.
"Anak muda zaman sekarang, sudah berkurang sopan santun nya." keluh Pak Herman menghela napas lalu berdiri dari kursi kerja nya untuk bersiap menghadiri rapat.
Dan apa yang baru saja di keluhkan oleh kepala sekolah itu terdengar oleh Langit yang memang memiliki ketajaman pendengaran lebih baik dari orang lain.
Langit membiarkan nya karena memang tidak penting untuk di urusi, itu urusan kepala sekolah tersebut yang menilai ia tidak sopan.
"Huh, aku harus berjalan lagi lalu menaiki tangga untuk sampai di kelas dua belas mipa dua merepotkan saja. Aku tidak tau akan seperti apa satu tahun ku di sekolah ini semoga saja memiliki kesan sedikit baik dari masa sekolah ku yang sebelumnya." ucap Langit dalam hati hingga sampai di depan kelas yang akan menjadi kelas nya selama satu tahun belakangan.
tok tok tok
Dan lagi-lagi Langit lebih memilih mengganggu kelas tersebut yang ada guru sedang menerangi di depan kelas dengan mengetuk pintu dari pada mengucapkan permisi.
Guru yang sedang menerangi pelajaran itu pun menghentikan pembelajaran nya sebentar untuk menghampiri Langit.
"Ada apa, nak?" tanya ibu guru itu.
"Saya murid baru di kelas ini, Bu." jawab Langit dengan nada suara lebih sopan di banding dengan kepala sekolah tadi karna menurut nya seorang laki-laki sehebat apapun jika tidak menghormati seorang wanita ia adalah pecundang.
"Ooh kamu nak Langit? Yasudah silakan masuk."
"Baik bu, terima kasih."
Guru yang kelihatannya sudah berumur lebih dari empat puluh tahun itu menginterupsi kelas yang ramai sesat setelah Langit melangkahkan kaki nya, tapi bukan berhenti malah semakin heboh para cewek-cewek itu.
"Bu Dew itu yang murid baru kan ya?"
"Bu, ya ampun ganteng banget."
"Bakal rajin sekolah ini mah gua, punya temen sekelas ganteng banget cuuy."
"Gantengan juga gua."
"Eh dia udah punya pacar belom si?"
"Kaya nya si udah. Ganteng banget gitu sayang kalo ga ada gandengan nya, mending sama gue aja."
"Mauan."
"Ya Allah Alhamdulillah jodoh Cecil udah dateng." teriak salah satu dari para cewek-cewek yang histeris melihat Langit.
"WOOOOO." sahut para cewek yang tidak setuju dengan apa yang di ucapkan cewek tersebut.
"Sudah-sudah kalian ini kenapa si? seperti tidak pernah melihat cowok tampan saja. Jika masih pada tidak bisa diam akan ibu suruh lari sepuluh putaran lapangan upacara " ujar Bu Dewi memberi ultimatum dan kelas pun kembali kondusif setelah mendengar ancaman dari Bu Dewi.
Langit yang di perlakukan seperti itu hanya diam memperhatikan sekeliling kelas dan matanya bertemu pandang dengan cewek ceroboh yang menabrak nya di lorong dekat ruang guru tapi malah menyalahkan nya itu di banjar pertama dari pintu dan baris terakhir yang sedang menatap nya dengan melototkan mata cantik nya.
"Lucu." ujar Langi lirih dengan tidak sadar saat mengucapkan nya dan Aurora yang bisa membaca gerak bibir Langit langsung mengalihkan wajah nya yang bersemu merah.