Mencoba Menerima

Tara menyalakan kompor yang diatasnya sudah diletakkan panci berisi air untuk memasak mie instan yang ia jadikan makan malamnya. hari ini sungguh menguras tenaganya, belum lagi pikirannya masih mengelana entah dimana. yang ia tahu ia hanya menginginkan mie ini ada dalam mulutnya dan turun ke perutnya.

Tara memilih memainkan handphone yang ada di genggamannya dan memilih membuka media sosial yang ia miliki. Tanpa sadar jari-jemarinya mengarahkan dirinya ke laman media sosial milik Flo. Baru kali ini Tara mencari tau akun media sosial milik Flo-nya, sebelumnya ia sama sekali tak sempat mencarinya. Ya, Tara begitu sibuk dengan pekerjaannya yang sengaja ia kerjakan lebih awal sejak setahun belakangan. Agar ia dan Flo bisa berkeliling kota selama satu bulan. Alih-alih bulan madu, Tara lebih memilih menyebutnya berkeliling.

Tara terkaget di tempat kala melihat air rebusan mie sudah bertumpahan karena didihan yang tak tertahankan. Ia mematikan kompornya dan mengaduk mie yang masih dalam panci kecil itu lalu memindahkannya ke mangkok. Tara menuangkan bumbunya, setelah itu mengaduknya hingga bumbu dan mie tercampur rata.

Tara memakannya dengan tidak sabarnya. ia sungguh kelaparan. Persetan dengan urusannya dengan Bunga lebih tepatnya Flo. Mie sekiranya bisa menjadi pelampiasannya saat ini. Meskipun ia lebih menginginkan untuk merokok, tapi ia urungkan. Ia mengingat respon Flo saat di balkon tadi. Agaknya ia akan menghentikan kebiasaan buruknya untuk merokok setiap kali pikirannya berantakan.

Tara meletakkan piring kotor di wastafel dapur dan merebahkan badannya di kasur kamar. Ia memejamkan mata dan merasa tak sabar sebentar lagi akan menikah dengan Flo-nya seorang. Telah lama ia menantikan waktu-waktu menjelang pernikahannya. Yang memang benar bahwa ia akan menjadi pribadi yang tidak sabar setelah hari pernikahan tinggal menghitung hari lagi.

Lagi-lagi pikiran sadarnya mengarahkan Tara untuk memikirkan Flo. Ia tak akan berhenti untuk mendapatkan Flo jika pada hari H pernikahan mereka, Flo kabur atau semacamnya. Ia takkan mau menerima alibi-alibi yang nantinya akan dilayangkan oleh Flo padanya. Takkan pernah.

'Kamu benar-benar tidak dewasa Tara.'

Gumam Tara dalam hati. Ia tak mampu menunjukkan sikap manisnya di depan Flo hanya sekedar menarik perhatian wanita itu. Ia rasa Flo takkan menyukai itu dan takkan nyaman setelahnya.

Ia rasa Flo hanyalah wanita yang realistis dan tak menyukai kisah romansa yang berseliweran di media sosial seperti yang orang lain lakukan. Mungkin seperti itu. Tara memutuskan untuk melepaskan dirinya dengan memejamkan kedua matanya rileks. Ia berusaha tidur cepat dan berhenti memikirkan Flo, dan berhasil.

___________

Syifa terkesiap di tempatnya tidur. Ia memandang langit-langit kamar yang begitu asing. Terlebih lagi kasur yang sedang ia tiduri terasa lebih empuk dan lembut. Ia tersadar jika ia sedang berada di kamar hotel yang ia jadikan tempat pelarian dari Tara yang bahkan berhasil "menangkapnya".

Syifa membuka kunci handphone-nya. Ia melihat jam digital handphone-nya menunjukkan pukul empat dini hari. Syifa segera menurunkan kakinya dan berniat ke kamar mandi di sebelahnya. Namun, pening di kepalanya seketika ia rasakan. Tangan kanannya meraih pinggiran kasur agar tidak terjatuh. Lagi-lagi ia lupa jika semalam ia menangis keras meminta belas kasihan Tara untuk gagal menikahinya.

Syifa membuka pintu kamarnya setelah ia urungkan niatnya menuju kamar mandi. Terlihat kakek nenek Tara, adik Tara dan adik-adiknya tertidur di kasur tambahan ruang tamu. Pandangannya menatap sang ibu yang sedang merapikan pakaian Syifa di sudut ruangan dengan mengenakan mukenanya.

"Ibu, kenapa gak bangunin Syifa? Jadi ibu kan yang repot beresin pakaian Syifa" ucap Syifa. Ibu tersenyum manis tanpa menatap Syifa.

"Besok biar Syifa aja yang rapihin pakaian Syifa Bu. Kan yang mau pindah Syifa masa ibu yang rapi-rapi. Sekarang ibu tilawah dulu aja Bu, atau mungkin ibu mau sholat witir. Syifa yang lanjutin merapikan pakaian Syifa, lagipula ini baru sebagian belum semuanya." Lanjut Syifa merangkul tubuh ibunya dan membiarkan dirinya berkutat merapikan pakaian miliknya.

Ibu menatap Syifa dengan pandangan tak percaya. Anaknya terlihat siap dengan apa yang akan terjadi dengan hidupnya. Ibu tersenyum kecil dengan airmata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ibu memilih beranjak dari sana dan menepuk bahu Syifa pelan. Ibu tak sanggup jika harus berbicara langsung dengan Syifa. Ia takut ketahuan jika ia mengkhawatirkan Syifa yang kini sudah mampu menerimanya.

Ibu berjalan menuju balkon sambil membawa handphone miliknya, dan melantunkan ayat-ayat Allah dengan airmata yang mengalir perlahan. Ibu sungguh bersyukur akan Syifa yang sudah mau menerima Tara dan pernikahan mereka esok hari. Namun, rasa khawatir dalam benak ibu lebih mendominasi dan membuatnya seringkali memikirkan Syifa yang kini sudah terlihat baik-baik saja.

Syifa mendengar lantunan ayat dari arah balkon meskipun begitu kecil. Ia yakin ibunya mengaji di balkon. Syifa masih melipat pakaiannya ke dalam koper yang sudah terisi setengah koper. Syifa terlihat baik-baik saja. Setidaknya hanya itu yang bisa Syifa lakukan, ia tak mungkin menunjukkan kesedihan pada sang Ibu juga kakek dan nenek. Nanti yang terjadi ia hanya akan merasa bersalah telah membuat kakek nenek Tara memikirkan hal tak penting yang membebani masa tua mereka. Syifa tak mau jika itu terjadi. Syifa merasakan kenyamanan dari diri nenek dan kakek Tara. Tanpa ia sadari, Syifa sudah menyayangi nenek dan Kakek Tara juga adik perempuan Tara yang nanti akan menjadi adiknya juga.

'Ternyata kamu sudah menerima ini semua ya Syifa', gumam Syifa di dalam kepalanya.

Ia memasukkan potong demi potong pakaiannya yang ke dalam koper besar miliknya. Syifa atau yang sering dipanggil Flo oleh Tata memisahkan empat helai gamis juga kerudung untuk dirinya, ibu, nenek dan adik Tara yakni Dewi. Setelah diperhatikan olehnya, sepertinya mereka tidak membawa pakaian ganti.

"Kamu sungguh merepotkan Syifa" gumam Syifa pelan.

Tak ada seseorang yang bisa diajak bicara olehnya. Dari tempatnya duduk, ia dapat melihat ketiga adiknya tertidur dengan ranjang bersisian di sebelah kanan. Seberang kiri dari tempat mereka, kakek dan nenek juga Dewi tampak tertidur dengan lelapnya. Nenek dan Dewi tertidur masih dengan mengenakan jilbab yang ia pakai setibanya disini. Syifa hanya bisa menggelengkan kepalanya kesal dengan dirinya sendiri. Tanpa ia sadari, ia merepotkan keluarganya Tara dan keluarganya sendiri.

Koper miliknya berhasil tertutup sempurna diiringi suara azan yang terdengar nyaring berasal dari kamarnya yang terbuka. Beberapa suara azan dengan nada yang berbeda pun terdengar dari arah adik-adiknya dan arah Dewi.

Perlahan ia menyeret koper besar miliknya ke dekat pintu keluar. Sekiranya itu bisa mempermudahnya nanti. Syifa merasakan kehadiran seseorang di dekatnya, refleks ia berbalik dan melihat siapa dia.

"Iza? Sana mandi, biar gak ngantre. Kasihan nanti yang lain" ucap Syifa sambil menyentuh bahu Iza, adiknya. Iza menggeleng.

"Aku ambil wudhu aja kak, biar nanti keluarganya Kak Tara aja yang duluan. Kakak butuh bantuan aku gak? Kali bisa bantu apa gitu kak" balas Iza memperhatikan koper di belakang badan Syifa.

Syifa tersenyum dan mendorong Iza menuju kamar mandi untuk segera ambil wudhu. Ia meninggalkan Iza dan berjalan menuju balkon, menghampiri sang ibu. Ibu tampak menonaktifkan telepon genggamnya saat Syifa terlihat mendekat ke arah balkon.

"Sana kamu bangunin Kakek sama nenek dulu" ucap ibu sambil menyentuh bahu kanan Syifa.

Syifa tampak ragu ditambah dengan keningnya yang berkerut tanda menimbang-nimbang. Ibu tersenyum menyadari Syifa yang sedang berpikir akan melakukannya atau tidak.

"Yaudah, ibu aja deh. Kamu bangunin adik-adik kamu gih. Nanti kamu sama ibu shalatnya belakangan aja ya." Sambung ibu yang meninggalkan Syifa di tempat ia berdiri.

Syifa mengangguk dan merapikan sedikit kursi yang tadi ibunya duduki. Ia lantas berjalan masuk ke dalam dan mendekat ke arah dua adiknya yang masih tertidur tanpa bergerak, terlihat pulas.

"Han, Wan, bangun dek. Subuhan dulu, dek" Syifa menepuk-nepuk pipi kedua adiknya yang satu sudah mulai memasuki dewasa muda dan satu lagi sudah beranjak remaja.

Keduanya menggeliat merasakan pipinya yang ditepuk-tepuk oleh seseorang. Raihan bergumam pelan masih dengan mata yang tertutup. Syifa gemas melihat tingkah Raihan yang seperti anak-anak. Sebuah ide baru saja melintasi kepalanya. Semoga berhasil membangunkan adik-adiknya.

"Ya ampun Raihan, bangun dek! Bangun! Udah zuhur masih aja tidur! Mau jadi apa nanti!" Teriak Syifa sambil menarik tangan kedua adiknya sekuat tenaga. "Awan! Sengaja ya mau bolos sekolah!." Raihan dan Awan seketika terjaga dari tidurnya. Mata keduanya tampak memerah dengan tatapan yang begitu panik.

Raihan bangkit cepat dari tempatnya tidur dan berlari ke kamar mandi hendak mengambil wudhu. Awan yang masih duduk memandangi pintu balkon dari tempatnya duduk. Pandangannya ia alihkan ke Syifa yang menatapnya jahat.

'Punya kakak kok begini amat. Untung gak panik kayak kak Raihan. Masih aja pake cara lama si kak' keluh Awan dalam hati. Ia menundukkan kepalanya melihat tingkah kakak perempuan kesayangannya itu.

"Kakak bohongin Raihan?" Tanya Raihan dengan rambut yang sudah basah oleh air wudhu.

Syifa hanya terkekeh diikuti dengan tawa renyah dari sang ibu yang sejak tadi memperhatikan Raihan yang berlari ke toilet.

"Lagi?!" Tanyanya lagi.

Raihan meninju udara di sekitarnya kesal. Kakaknya masih menggunakan cara lama untuk membangunkannya. Bodohnya lagi, ia masih saja tertipu. Raihan melihat Awan yang masih duduk di kasur tadi. Awan hanya bisa mengendikkan bahunya tanda tidak tahu menahu.

Raihan mendekat ke arah Iza yang masih shalat dan menepuk bahu Iza tanda akan menjadi makmumnya.

Syifa tertawa kecil melihat adik tertuanya bersikap barusan.

'Sebentar lagi kita jarang ketemu Han, pasti kakak bakal jarang ngusilin kamu sama Awan.'