WebNovelRoute42.86%

9. Rute B - SD Awal

Suasana yang riuh dengan percakapan dan suara langkah kaki menggema ke seluruh ruangan kelas membuatku merasa benar-benar berada dalam dunia anak-anak, ini adalah kelas pertama yang akan menjadi awal langkahku dalam memperbaiki masa depan.

Aku masih mengingat nama dari seluruh anak-anak di kelas satu SD ini, dan aku tidak ingin menghabiskan waktu berkenalan satu-persatu dengan mereka. Biarkan waktu yang mendekatkan kami, lagipula aku akan bersama mereka selama enam tahun.

Begitu pikirku pada awalnya, tetapi setelah melewati beberapa hari aku jadi merasa benar-benar canggung karena tidak ada yang bisa diajak bicara. Mungkin seharusnya aku lebih aktif mencari teman, lagipula di kesempatan ini aku tidak ingin sendirian lagi.

Pandanganku tertuju pada anak laki-laki bertubuh gemuk di sebelahku yang sama sekali belum pernah bicara padaku, “Hei, aku boleh pinjam rautan pensil?”

Dia sama sekali tidak mau melihat ke arahku meskipun aku sedang mengobrol dengannya, ‘Sepertinya dia masih belum terbiasa berbicara dengan orang baru,’ pikirku.

Aku menoleh pada anak bertubuh kurus di seberang bangkuku, dia sedang asyik bermain dengan pesawat kertas buatannya dan itu memberikanku sebuah ide. Aku menyobek kertas di buku tulisku dan mulai merangkainya menjadi bentuk katak, aku menyentilnya hingga sampai di meja anak itu.

Dia mengambil origami katak itu sambil menatap ke arahku yang tersenyum sambil melambaikan tangan, dia meletakkan kertas itu di atas mejaku sambil mengulurkan selembar kertas lipat berwarna hijau.

‘Aku berhasil menarik perhatiannya,’ batinku senang lalu mulai mengajarinya langkah untuk membuat origami katak, dia memang jarang berbicara namun semuanya terlihat dari ekspresi wajahnya.

Kami terlalu bersemangat saat menyentil sehingga kertas itu jatuh ke samping anak yang duduk di sebelahku, aku berdiri untuk mengambilnya namun anak itu menunduk untuk mengambil mainan kami.

Tanpa di sadari ada anak laki-laki sedang berlari dan menyandungnya hingga jatuh tersungkur, beruntung dia tidak menabrak meja namun peristiwa itu membuatnya marah. “Kamu ngapain sih, Gendut?”

“Maaf, aku cuma mau—” lirih anak di sampingku namun belum selesai ucapannya tiba-tiba pukulan melayang ke arah pipinya.

“Gara-gara kamu lutut aku berdarah tau!” sentaknya membuat aku geram lalu mendorongnya hingga terjatuh.

“Dia ‘kan udah minta maaf, lagipula salahmu juga lari-lari nggak lihat jalan!” tegasku membuatnya berdiri lalu memukul wajahku.

Aku berusaha mendorongnya mundur meski dia terus saja mengarahkan kepalan tangannya ke arahku, berulang kali bahkan aku sampai menggunakan kaki agar dia lekas berhenti. Anak-anak sekelas hanya diam sambil memperhatikan perkelahian kami, hingga dua orang guru datang melerai kami.

Telinga kami berdua dijewer sambil digiring menuju ruang guru, “Kenapa kalian berkelahi, siapa yang mulai duluan?”

“Dia Pak!” tunjuk anak laki-laki itu dengan mata berkaca-kaca, sedangkan aku meliriknya dengan kesal.

“Padahal kamu duluan yang memukul teman sebangkuku,” bantahku sambil menjelaskan permasalahannya pada wali kelas kami itu.

Pak guru menepuk pundak kami berdua, “Lain kali jangan sembarang memukul, ya! Dan juga langsung panggil guru kalau ada masalah seperti ini lagi, mengerti?”

Kami berdua mengangguk dan pak guru mengantar kami ke kelas yang tenang karena sedang dalam jam pelajaran, aku menatap pandangan dari anak-anak di hadapanku namun aku berusaha cuek sambil kembali duduk ke bangkuku.

Mungkin aku terlalu kekanakan dalam menanggapi masalah ini, tapi aku benar-benar kesal begitu melihat langsung penindasan di depan mataku walau di kehidupan sebelumnya aku bisa bersabar hingga enam tahun. Aku selalu dianggap lemah dan selalu menjadi bahan olok-olok karena tidak pernah membalas perbuatan kasar yang dilakukan padaku.

Dulu memang aku penakut, karena aku tidak ingin merasakan sakit akibat perkelahian yang sebenarnya berasal dari hal kecil. Aku selalu memilih diam, dan itu memupuk kebencian dalam diriku hingga tidak mudah percaya pada orang lain.

Segala penyesalanku juga berasal dari rasa kesal yang terus terpendam selama ini, dan sekarang aku punya kesempatan untuk melakukan hal yang menurutku benar... meskipun itu membuatku terlihat seperti anak nakal yang suka berkelahi.

Aku mengangkat tasku setelah bel pulang berbunyi, namun anak di sebelah tiba-tiba menahanku sambil menyodorkan sebuah jajanan, “Terima kasih,”

Meski dia berbicara lirih namun aku masih bisa mendengar ucapannya, “Lain kali kalau ada yang memukulmu, balas pukul dia.”

“Aku nggak bisa...,” melihatnya yang begitu tidak percaya diri mengingatkanku pada diriku sebelumnya.

“Hei, kalau kamu merasa benar... kamu bisa membela diri dengan berkelahi. Apalagi badanmu kan besar, pasti lawanmu akan menangis kalau macam-macam denganmu. Kamu harus lebih percaya diri kalau kamu bisa!” dia menatapku untuk pertama kalinya.

“I-iya, terima kasih Anthon!”

Aku tersenyum melihat wajahnya yang mulai ceria, “Sama-sama, Arjuna.”

“Panggil Juna aja,” pintanya dan aku hanya tersenyum sambil mengangguk, lalu kami berpisah saat sampai di tempat parkir yang dipenuhi mobil jemputan. “Aku naik mobil ini,”

Aku melambaikan tangan padanya dan berjalan menuju warung tempat ibuku menunggu, aku tidak menceritakan kejadian tadi karena takut membuat beliau marah. Saat berjalan menuju jalan raya, aku merasa seperti ada yang mengikuti kami dari kejauhan.

Aku dan ibu berjalan mendekati anak yang bersembunyi di balik dinding, “Temanmu?”

“Kami sekelas,” jawabku membuat ibu berjongkok untuk berbicara padanya.

“Namamu siapa?”

“Maman,” jawabnya singkat.

“Ibu kamu mana?” dia menggeleng cepat, “kamu naik mobil jemputan?”

“Aku pulang naik angkot.” Jawabnya membuat ibu kaget, lalu mengajaknya untuk pulang bersama kami. Dia memang sangat pendiam, jika tidak diajak bicara maka dia tidak akan berbicara sedikitpun.

Aku mengeluarkan origami berbentuk burung yang sudah aku buat tadi, “Maman, lihat! Aku bisa buat bentuk burung juga.”

Dia terlihat penasaran dan aku memberikan kertas itu padanya, ibu tersenyum sambil mengelus rambut kami. “Ternyata kalian sudah berteman, ya?”

“Tidak!” jawab Maman yang membuat kami berdua tersentak kaget, “kami nggak boleh berteman.”

“Loh, emang kenapa?” tanya ibu penasaran.

“Kata umi… aku nggak boleh temenan sama anak yang suka berkelahi.” Ucapnya langsung membuat ibu melirikku tajam.

“Kamu berkelahi?”

“A-aku bisa jelaskan,” ucapku terbata-bata pada ibu yang terlihat marah, sedangkan Maman turun dari angkot karena sudah sampai di tujuan.

Di kehidupanku sebelumnya aku belum pernah dimarahi ibuku karena berkelahi, dan memang aku belum pernah berkelahi karena lebih sering mengalah untuk menghindari konflik daripada menghadapinya secara langsung.

Namun ada yang tidak berubah di kehidupan ini, yaitu hubunganku dengan Maman yang cukup dekat. Meski dia sering usil padaku namun dia adalah orang yang paling dekat denganku di sekolah dasar, karena kami sama-sama menjadi bahan ejekan karena fisiknya yang kurus dan sifatku yang cengeng.

Walaupun hubungan kami menjadi renggang karena jarang berkomunikasi setelah kelulusan.

***