WebNovelRoute52.38%

11. Rute B - Adik

“Itu kenapa ramai banget, ya?” tanyaku sambil menunjuk ke arah warung di dekat parkiran sekolah, kami bertiga mendekat untuk melihat sumber keramaian karena penasaran.

Terlihat anak berseragam seperti kami sedang menggendong bayi dan pemandangan itu membuat para orang tua gemas, kami bertiga hanya melihat sekilas lalu menyingkir saat semakin banyak ibu-ibu datang mengerubungi.

“Cuma bayi tapi bisa seheboh itu, ya?” ucapku dan mereka berdua hanya mengangguk, ketika berjalan di tangga penyeberangan aku terhenti saat menyadari kalau Juna masih ada di sampingku, “loh Juna, kamu nggak naik mobil jemputan?”

Dia menggeleng pelan, “Om jemputan bilang istrinya baru melahirkan, jadi hari ini nggak bisa antar jemput. Aku boleh naik angkot dengan kalian, ‘kan?”

“Boleh!” jawabku dengan antusias dan dia hanya tersenyum.

“Aku masih heran, kenapa semua orang selalu heboh kalau ada bayi?” celetuk Maman yang biasanya diam, “waktu tetanggaku melahirkan, umi juga ikut heboh sendiri.”

Aku juga sebenarnya tidak terlalu mengerti kenapa banyak orang heboh ketika ada bayi yang baru lahir, mungkin karena bertambahnya anggota keluarga baru jadi mereka menyambutnya dengan antusias.

“Kalau umi kamu begitu, mungkin sebentar lagi kamu juga akan punya adik.” Maman terlihat kaget setelah mendengar ucapanku.

“Mungkin aja sih,” lirih Maman yang terlihat lesu, “karena dua kakakku laki-laki... saat aku lahir mereka sebenarnya berharap aku adalah perempuan, jadi aku yakin mereka masih berharap punya anak perempuan.”

Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Maman, lalu kembali bertanya pada Juna. “Kalau kamu mau punya adik nggak, Juna?”

Dia diam dan terlihat berpikir keras, “Adik bayi sepertinya menggemaskan, tapi aku nggak yakin orangtuaku mau punya anak lagi.”

“Kenapa?” tanyaku penasaran.

“Karena kedua kakakku perempuan, papa ingin anak terakhirnya laki-laki dan karena itu sepertinya mereka tidak berniat memberiku adik.”

Aku menatap mereka yang sama-sama anak bungsu dari tiga bersaudara, “Sepertinya cuma aku satu-satunya yang jadi anak pertama di sini,”

“Kalau kamu mau punya adik bayi?” tanya Juna dengan lirih dan aku tersenyum padanya.

“Aku bentar lagi punya adik kok,” ucapku yang membuat mereka berdua kaget, sekarang ibu memang sedang mengandung adik pertamaku namun aku berharap semuanya akan sesuai dengan kehidupanku sebelumnya.

Kami berpisah karena tujuan kami berbeda, aku turun di sebuah pasar tradisional dan mendekat ke arah bapak ojek langgananku. “Dik Anthon, kebetulan kamu datang.”

“Memangnya kenapa, Om?” tanyaku heran.

“Barusan ibumu memintaku untuk memberitahumu kalau dia sedang ada di kios buah, sekarang kamu susul dia dulu, gih!” jelas pria itu dan aku mengangguk sambil tersenyum.

“Terima kasih, Om!” balasku lalu masuk ke dalam pasar untuk menemui ibu, dan benar saja... beliau sedang duduk di depan kios sambil mengobrol dengan bibi penjaga. “Ibu!”

“Kamu udah pulang, Anthon. Mau ibu belikan buah apa?”

“Sawo!” jawabku dan bibi penjaga kios tersenyum sambil memberikan sekantung plastik buah sawo kesukaanku.

“Nanti bantu ibu bawa belanjaan, ya!” pinta ibu dan aku mengangguk dengan semangat.

Biasanya ibu belanja di pasar seminggu sekali, namun kali ini beliau ingin membeli kebutuhan untuk satu bulan ke depan karena bapak sedang mendapat rezeki lebih.

Aku sedikit kesulitan membawa barang yang cukup banyak dan berat dengan tubuh anak usia tujuh tahun, dan karenanya kami harus menggunakan dua ojek agar dapat membawanya pulang.

Aku naik bapak ojek yang baru pertama kali aku lihat sambil membawa belanjaan, sedangkan ibu naik om ojek langgananku yang mengendarai motor di depan.

Sebenarnya jalan di desaku masih belum layak untuk dilewati motor meskipun sudah di aspal, banyaknya lubang dan genangan air bercampur tanah cukup membahayakan pengendara yang lewat.

Begitu pula bapak ojek yang baru pertama kali melewati daerah kami, motornya sering oleng tiba-tiba menghindari berbagai rintangan di depan sehingga membuat dudukku sedikit bergeser namun aku berpegangan erat padanya hingga kami sampai di rumah.

Beberapa saat berlalu dan perut ibuku semakin membesar, hal itu membuatku merasa ada yang ganjil. Ketika ibuku merasakan kontraksi... bapak, ibu, dan aku memutuskan untuk menginap di klinik bidan langganan kami.

Sekarang sudah jam satu malam dan aku masih tidak bisa tidur karena merasa ada yang janggal, aku memutuskan untuk berjalan ke kamar ibuku.

Aku mendengar suara jeritan ibuku dan aku langsung inisiatif mengintip dari celah jendela, meskipun buram aku masih bisa melihat proses kelahiran adikku hingga suara bayi menangis memenuhi ruangan.

Banyak perawat yang keluar masuk ruangan, dan aku mendekati salah satunya. “Kak Suster, adikku sudah lahir? Boleh aku masuk?”

“Sebentar ya, Dik... biar kami memandikan adikmu dulu,” pinta perawat muda itu dan aku kembali duduk di bangku ruang tunggu sambil mengayunkan kedua kakiku.

Ketika pintu dibuka, bapak langsung menghampiriku dengan bahagia. “Anthon! Sekarang kamu punya adik, apa kamu mau melihatnya?”

Aku mengangguk dengan cepat lalu berlari masuk ke ruang persalinan ibuku, terlihat beliau sedang menyusui bayi mungil yang terbalut kain putih.

“Anthon, kamu mau lihat adikmu, ya?” lirih ibu sambil memintaku mendekat untuk melihat wajah bayi menggemaskan itu.

“Halo Dik Erick!” sapaku dengan lembut sambil mengelus pipinya yang tembam, namun bapak dan ibu kaget mendengarnya.

“Sayang, itu bukan namanya. Nama adikmu adalah Shafar!” jelas bapak yang membuatku heran.

“Kalau Shafar bukannya kedengaran seperti nama anak perempuan?”

“Loh, dia kan memang perempuan,” jelas bapak membuatku tersentak kaget, “kamu pikir dia laki-laki ya?”

“A-apa? Bapak bohong, ya? Adikku itu laki-laki namanya Erick, ini pasti kesalahan....”

“Anthon, adikmu ini memang perempuan. Kenapa kamu berpikir kalau dia laki-laki?” sahut ibu sambil menatapku yang terbelalak tidak percaya.

“Nggak! Ini salah, seharusnya nggak begini!” bantahku lalu berlari keluar dari ruangan tersebut, aku berlari lalu bersembunyi di bawah ranjang yang sebelumnya aku gunakan.

Aku meracau tidak terima dengan apa yang baru saja terjadi dan tanpa sadar menitikan air mata, adikku di kehidupan sebelumnya adalah laki-laki dan aku cukup dekat dengannya.

Tetapi yang lahir justru perempuan, padahal aku sama sekali tidak berniat untuk mengubah sejauh ini. Aku mulai menyadari keganjilan yang selama ini aku alami, karena ibu melahirkan adikku saat aku berusia tujuh tahun itu artinya peristiwa keguguran karena ojek ugal-ugalan tidak pernah terjadi.

Dan jika adik pertamaku berhasil lahir... artinya aku tidak akan bertemu adik yang pernah aku kenal di kehidupan sebelumnya. “Kenapa ini bisa terjadi? Padahal aku nggak mau mengubah orang-orang yang aku kenal sebelumnya, aku mau bertemu Erick!”

Bapak berjongkok ketika mendengar isak tangisku, “Kamu kenapa, Anthon?”

“Bapak... aku nggak mau adik perempuan... aku mau adik laki-lakiku yang bernama Erick!” rengekku dengan kencang dan bapak hanya diam sambil memelukku.

***