Semua orang tua pasti tahu, mempunyai anak laki-laki itu bagus sebagai penerus dan penggerak utama keluarga nanti. Namun juga tahu memiliki anak perempuan itu kebahagiaan yang paling indah dalam hidup setiap orang tua. Kecantikan anak perempuan juga keimutannya sejak kecil apalagi senyumannya membuat hati setiap orang tua merasa tenang walau sedang dalam masalah.
Begitu pun klasifikasinya buat orang tua laki-laki dengan perempuan melihat dimana anak perempuannya menarik itu berbeda. Normalnya tentu postur tubuh dan rambut yang menjadi mahkota bukan? Tidak bagiku… yang paling utama itu adalah pipi yang empuk dan lucu.
"Uwaa, papa, jangan mainkan pipi Feliha!! Tidak boleehhhh!!"
"Yaaah~ kenapa? Kan pipi Feliha paling nyaman untuk mengobati perasaan papa yang sedang kacau balau ini."
"Tidak boleh tetap tidak boleh!! Papa usil!!"
Dalam kasus biasa mungkin aku depresi kalau dibalas dengan macam seperti ini, tetapi aku tidak akan menyerah dengan mudah. Pipi Feliha itu benar-benar empuk dan berisi, membuatnya terlihat menarik. Walau begitu aku tidak akan menyerahkan Feliha dengan mudah ke orang lain apalagi laki-laki predator.
Kalau aku tidak bisa mendekati Feliha yang kabur terus, maka jalan satu-satunya adalah menggunakan sihir. Dengan sihir levitasi juga telekinesis, aku membawa Feliha terbang kepadaku. Tentu saja Feliha tidak bisa memberontak dengan cara apa pun.
"Uhhh, pipi Feliha memang yang terbaik. Sini biar papa peluk Feliha."
"Tidakkkk mauuuu!! Sush, sush, jangan mendekati Feliha lagi!!"
"Jangan begitu dong, papa kan masih mau dekat dengan Feliha."
Kiera yang melihatku dari dapur saat aku bermain-main dengan Feliha hanya bisa terkikik dan tersenyum kecil. Kurasa Kiera mengetahui betapa aku sangat menyukai anak perempuan di atas anak laki-laki. Ohh ya selain alasan keimutannya, perasaan peduli perempuan juga lebih tinggi. Jadi bisa dibilang Kiera dan Feliha sama-sama pedulinya saat aku sedang lelah.
"Paaaaaapaaaaaa!! Puipui Feiiaaaa, aaarrggghhhhh."
"Pipi Feliha kayak mochi deh, papa suka, hahaha."
"Jangaaaan!! Nanti pipi Feliha membengkak!!!"
Hmm membengkak ya? Kalau begitu nanti akan semakin membesar bukan setelah membengkak? Hoo… baiklah, dengan itu, aku lanjutkan lagi!!! Selama aku belum puas, aku tidak akan berhenti bermain dengan pipi Feliha yang sangat empuk bahkan lebih dari Kiera.
"Gak mau ah~ papa akan semakin suka kalau tambah besar."
"Uuuu… mama bantuiin Felihaaaa!!"
"Hahaha, gak apa kan? Papa kan suka pipi Feliha, makanya Feliha jadi diunyel-unyel oleh papa. Itu artinya tanda bahwa papa senang dengan Feliha."
Yess, bahkan Kiera pun setuju denganku. Hehehe, pipi Feliha akan menjadi santapanku setiap hari sebagai pelepas stress. Bahkan melihatnya saja sudah membuat pikiranku terlepas dari beban-beban yang ada. Aku menambahkan alasan untuk aku hidup. Pertama melindungi orang yang kucintai dan kusayangi, kedua… pipi Feliha!!!
Untuk kali ini aku akan melepaskan Feliha untuk sementara, nanti, lain kali aku akan bermain dengannya saat aku tertekan dan terpuruk dengan masalah. Dengan adanya pipi Feliha, aku akan terus mencoba maju!! Demi pipi Feliha yang empuk dan bisa dimainkan!!!
"Fuaa, akhirnya papa melepaskan Feliha juga. Sudah, jangan mendekat lagi!!"
Feliha sekejap langsung kabur dariku menuju Kiera dan bersembunyi di balik tubuh Kiera. Kurasa aku terlalu berlebihan, hahaha. Ya sudahlah, daripada Feliha membenciku nanti, sebaiknya aku menahan diri sedikit jadi tidak berlebihan.
Dibanding itu, aku juga masih punya Kiera yang bisa sebagai pengganti Feliha kalau Feliha tidak mau denganku. Kalau Kiera mah pasti tidak akan menolak kalau aku melakukan apa pun terhadapnya. Dia sudah tahu kalau memang sifatku itu begini dan tidak bisa diapa-apakan lagi.
"Sayang, mending makan dulu deh, udah siang. Juga Feliha jangan diunyel-unyel lagi, ngambek lagi baru tahu rasa nanti."
"Ehhh… iya, iya aku tahu."
"Bwleee."
Saat aku mulai diam saja, ini anak malah mengejekku dan menantangku. Untung Kiera menyuruhku untuk tidak melanjutkannya lagi, kalau tidak pasti udah kubuat kapok meremehkan papanya. Fufufu, jangan harap lari dari aku dengan mudah.
Makan siang ini biasanya biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial. Namun kali ini Feliha duduk di samping Kiera bersilangan denganku. Mama yang baru saja turun dan melihat, kebingungan entah apa yang sebenarnya terjadi. Saat bertanya kepada Kiera, Kiera hanya bisa tertawa sebagai ganti jawabannya.
"Ada apa sih sebenarnya? Ada yang nenek tidak tahu Feliha?"
"Tanya papa saja tuh, hmp!!"
Ngambek beneran dong, hahahaha. Ya sudahlah, salahku juga bermain dengan pipi Feliha dengan berlebihan. Bisa repot nih nanti aku beberapa hari setelah ini, apalagi Feliha paling utama soal kemanjaannya. Kalau gak cepet balik, bisa nanti menempel dengan yang lain lagi, repot dah.
Hari minggu adalah hari yang menyenangkan buatku. Biasanya Feliha, aku, Kiera, dan mama melakukan sesuatu seharian, apa pun itu. Sejauh ini Feliha menjadi tertarik dengan sihir. Kiera yang mengetahui itu hanya bisa geleng-geleng dan menyuruhku mengajari sihir-sihir yang tidak berbahaya. Tentu, yang bisa kuajarkan kalau begitu sihir elemen air dan angin yang terbilang tidak memberikan dampak yang besar.
"Sin, ada apa nak? Kok Feliha ngambek?"
"Hahaha, gak apa kok ma, cuma tadi aku main-main sama Feliha doang, tapi berlebihan."
"Kamu ya usil kok nak, Feliha sampai ngambek begitu. Feliha sayang, jangan ngambek dan marah sama papa lagi ya?"
"Gak mau!! Pipi Feliha bisa hilang nanti!!"
Pftt, pipi Feliha bisa hilang katanya. Kalau begitu nanti aku kembalikan pakai sihir deh, bisa kan? Hahahaha, ada-ada saja ini anak satu. Namun jujur aku tidak pernah merasa sebahagia ini bersama anak-anakku. Memang aku merasa senang dan bisa tersenyum, tetapi tertawa terbahak-bahak seperti ini? Tidak pernah sama sekali kurasa.
Sejak dulu aku selalu menanggapi segala sesuatu dengan bersiaga dan tegang saat masalah datang. Makanya fokusku teralih kepada masalah daripada kepada anak-anakku. Seharusnya yang benar ya anak-anak menjadi fokus terutama, apalagi seperti Feliha ini, bisa menyembuhkanku dari segala tekanan yang kualami.
"Oalah, nenek mengerti kelihatannya. Nih pipi papa sudah nenek mainkan juga. Sini Feliha ikutan juga."
"Ehh, mama, jangan begitu, aduh."
"Hehehe, kelihatannya menyenangkan. Waktunya pembalasan!!"
Padahal masih di meja makan sedang makan siang, tapi malah mama dan Feliha memainkan pipiku. Kelihatannya Feliha senang sekali membalas perbuatanku yang kulakukan tadi padanya. Ya sudahlah yang penting Feliha senang deh.
"Sush, Feliha duduk lagi sini. Makan dulu selesain. Mama juga ishh, tahu lagi makan disuruh main pipi papanya juga."
"Hahaha kalau tidak begitu nanti Feliha ngambek terus sama Sin nanti."
"Hah~ ya sudahlah, aku tidak bisa menang dari mama."
Bahkan Kiera pun menyerah kalau mama mulai ikut campur. Kemampuan mama hebat sekali ya, hahahaha. Ngomong-ngomong sebenarnya waktu mama datang ke sini, banyak perubahan yang terjadi dan dialami oleh mama. Coba pikir saja, seseorang yang berasal dari dunia intermedieval sistem kerajaan datang ke dunia yang mayoritas negaranya menganut sistem demokratis.
Namun kata mama, begini lebih baik. Mungkin mama juga sudah lelah dengan kerajaan yang dipimpinnya, itu kenapa waktu aku menjadi Kioku, mama melimpahkannya kepadaku. Oh ya, aku belum sempat memberi tahu bahwa Jurai pun sebenarnya anak mama dengan nama lainnya di dunia Kimino sebagai Senshi.
"Nenek memang paling hebat!! Feliha suka dengan nenek!!"
"Ehh, dengan papa?"
"Papa usil!! Feliha mau jauh-jauh dari papa!"
Mampuslah diriku, hahahaha. Tidak sengaja aku membuat ranjau bagi diriku sendiri. Sudah begitu, jatuhnya karena kebodohan lagi, bukan karena tidak sadar. Kurasa aku seharusnya sudah tahu konsekuensi dari setiap perbuatanku yang semacam ini. Mau bagaimana lagi, untuk sementara waktu, aku biarkan saja dulu supaya Feliha menenangkan diri.
"Hahaha, Feliha jangan begitu dengan papa, nanti papa sedih dan gak bisa manjain Feliha lagi lho. Nanti belajar sihirnya dengan siapa coba?"
"Uhhh, ya sudahlah, Feliha memaafkan papa."
"Benarkah? Yeay!! Pipi Feliha!"
Hahaha, kenapa aku seusil ini ya? Mungkin ini yang dinamakan kebahagiaan yang selama ini aku cari di mana-mana, tetapi tidak pernah kutemukan? Selama ini aku mencari yang terlalu jauh dari yang aku mampu, padahal sebenarnya tidak begitu jauh dari diriku kebahagiaan itu.
"Ish, usil juga ini anak."
Karena mama duduk di sampingku, kepalaku dijitak oleh mama. Lihatlah betapa senangnya Feliha itu karena aku dijitak oleh mama. Dasar, senang atas penderitaan orang lain ini namanya. Eh, tapi aku juga melakukannya ya? Hahahahahaha, bagus, bagus.
Setelah selesai makan, akhirnya aku bergulat dengan Feliha di atas sofa yang ada di ruang keluarga untuk saling mencubit pipi satu sama lain. Entah kenapa itu seru sekali sampai membuatku ingin terus melakukannya setiap saat.
"Hiya!!! Pipi papa!!��
"Enak saja, pipi Feliha!!"
Kiera dan mama yang duduk di sofa yang seberang dan melihat aku dan Feliha bergulat hanya bisa tertawa saja. Kurasa keluarga yang kuinginkan itu yang semacam ini, dan akhirnya aku mendapatkannya. Kenapa coba tidak dari dulu, mungkin aku tidak peduli kalau ini adalah sebuah Paradox, karena aku menyukainya.
Puas bermain pipi satu sama lain, aku dan Feliha akhirnya berbaring di atas sofa kelelahan. Feliha yang masih usil, tidur di atas tubuhku sambil menggodaiku katanya aku sudah kalah. Aku yang sudah lelah berkompetisi hanya bisa mengaku kalah dan akhirnya tertawa terbahak-bahak bersama-sama.
"Ini minum dulu, papa dan Feliha pasti capek."
"Wahh, susu, makasih mama."
Jangan katakan susu itu minuman anak kecil, justru susu itu banyak manfaatnya malahan. Orang yang berkata orang dewasa minum susu kekanak-kanakan artinya dirinya tidak pernah mengalami kehidupan masa kecil yang membahagiakan.
"Lelahnya…."
Meminum susu membuatku merasa tenang dan akhirnya mulai mengantuk. Ujung-ujungnya aku tertidur di sofa saat Feliha masih di atasku tertidur juga. Yaa, setidaknya hari ini, hari yang begitu menyenangkan bersama keluargaku. Salah satu alasan untuk kuhidup dan terus ada. Bukankah begitu yang diharapkan semua orang bukan saat berkeluarga?