Sebenarnya aku tidak mau ikut campur soal keturunanku lagi, tetapi pada akhirnya aku juga masih butuh untuk mengembalikan semua harta mereka. Jadi untuk sekali lagi dan mungkin terakhir kalinya aku harus bertemu mereka walau itu membuatku sedikit kesal sebenarnya.
Kiera yang mengerti kehendakku hanya bisa mengiyakan karena sebenarnya dia tahu apa isi pikiranku seperti biasanya. Itu kenapa sekarang aku sedang bersiap-siap untuk pergi lagi ke kota itu. Untuk suatu alasan, aku berpikir untuk pergi ke sana dengan mobil seperti kasus kemarin pertemuan antar keluarga berpengaruh. Jaraknya tentu lebih jauh, tetapi tidak masalah. Mungkin yang paling dikorbankan adalah capeknya dan kenyamanan.
Aku belum bicara ke Kiera soal ini, tetapi kalau Kiera menolak, aku bisa saja meminta IAI untuk membeli tiket buat aku, Kiera, dan Feliha nantinya. Sekarang aku masih tiduran di atas kasur karena kelelahan pulang semaleman dari luar kota lagi. Mungkin kalau aku berpikir Kiera pasti menyarankanku untuk naik pesawat saja karena aku terlalu kelelahan karena kemarin.
"Sayang, masih capek?"
"Hmm… begitulah. Namun gak apa kok."
"Benarkah? Kalau masih kelelahan jangan dipaksa lho ya? Kita masih bisa pergi besok-besok juga lho."
Tuh kan, aku baru saja berpikir sejenak, tetapi sudah ditebak oleh Kiera secara langsung. Di satu sisi aku memang suka perhatiannya, di sisi lain aku jadi merasa segala sesuatu tidak ada lagi yang dapat kusembunyikan daripada Kiera. Tidak begitu masalah sih sebenarnya, tetapi kalau bisa ada sesuatu yang tetap ingin kurahasiakan daripada Kiera.
Ngomong-ngomong aku sendiri pun tidak pernah dengar apa yang dipikirkan oleh Kiera dan rahasia dirinya. Sebenarnya aku cukup kasihan dengan Kiera karena statusnya sebagai dewi membuatnya tidak bisa membuat relasi dengan terlalu banyak orang. Bahkan aku sendiri pun cukup menghindari karena tidak selamanya aku ada di sini.
Bukannya aku mengatakan aku akan mati dan pergi lagi, tetapi aku dan Kiera bisa saja pindah dunia karena kemungkinan buat kami itu hampir tidak terbatas. Untuk sekarang kami masih menikmati waktu di sini selama yang kami bisa. Namun Feliha yang tidak membawa darah asli kami lama-lama akan menyadari bahwa tubuh kami tidak menua walau dia bertambah besar.
"Tidak usah, nanti kelamaan. Kalau capek ya capek sekalian aja, buang-buang waktu. Aku juga ingin cepat menyelesaikan ini dan nanti bisa istirahat setelah itu."
"Dan membuat perusahaan Guirusia.co seperti dulu lagi. Begitu bukan niatmu sayang?"
"Tentu saja, tetapi seperti sebelumnya, aku tidak ingin terlalu terbuka ke banyak perusahaan. Barang-barang ciptaanku terlalu banyak mengubah, dan kalau aku menciptakan terlalu biasa atau sebatas di atas ambang batas, sudah banyak yang membuat seperti itu."
Karena itu aku langsung saja bangkit dari kasur dan mengganti pakaianku ke pakaian yang lebih rapi. Biasanya kalau aku dirumah, aku hanya memakai pakaian yang santai seperti kaus oblong dan celana pendek. Bahannya pun bahan yang menyerap keringat dan terbuka, jadi angin bisa masuk. Kesimpelanku membawaku dengan pakaian dengan seperti ini.
Ahh lupakan soal itu, kelamaan aku. Sebenarnya aku rasanya ingin membuat barang-barang berteknologi tinggi yang bisa mempermudah hidup, tetapi terlalu berlebihan. Kalau semua-semua mengandalkan alat, lama-lama tenaga kerja manusia akan sangat terbuang sia-sia. Memang kalau dibilang soal efektifitasnya, tenaga robot dan alat otomatis lebih efektif.
"Aku gak mau lihat sayang sampai jatuh sakit karena memaksa diri lho ya?"
"Memang sayang pernah lihat aku sampai sakit? Kalau iya pun jarang sekali."
"Benarkah? Perlu aku mengingat kasusmu dulu saat masih jadi Kioku yang sayang ceritakan?"
Ughh, apakah ini yang disebut lawan alami? Bahkan aku tidak bisa kabur dari pengawasan Kiera sedikit pun, lari dari pengawasannya sehari saja tidak bisa. Yang bisa kulakukan ya hanya diam dan diam, juga terus diam. Lah mau bagaimana pun yang aku lakukan, aku tidak bisa membantah apa pun ucapan Kiera.
Secepatnya aku mengganti pakaian ke kaus tanpa kerah, celana panjang, juga jaket hitam kebiasaanku, kami sudah siap. Lalu setelah siap, aku langsung bicara ke Kiera soal berangkat naik mobil. Tentu, sesuai dugaan, ideku ditolak mentah-mentah. Apa boleh buat, langsung saja aku meminta IAI untuk membeli tiket bagi kami yang terdekat.
"Sudah beli kan IAI?"
"Sudah nyonya, pesawat 30 menit lagi."
"Ya sudah kalau begitu, sayang, ayo berangkat. Nanti di pesawat tidur pokoknya."
"Uhh, harus ya?"
Bahkan aku saja diharuskan tidur, benar-benar ini Kiera, aku tidak bisa menolaknya sama sekali. Satu perintah daripadanya sama seperti tertiban oleh satu planet. Itu kenapa sebaiknya aku melakukan semuanya, daripada kena masalah dan amukan maut bukan?
Memasukan semuanya di mobil, kami langsung berangkat saja. Feliha sebenarnya baru bangun setengah jam yang lalu, baru mandi dan bersiap-siap dengan cepat. Nanti makan paginya kupikirkan di pesawat saja, tidak begitu buruk juga kok masakan yang dijual di pesawat.
"Sayang, menurutmu kira-kira apa yang dipikirkan mereka semua nanti? Kelihatannya kita saja hanya melihat hanya beberapa keturunan kita waktu itu, belum semuanya."
"Entahlah, tetapi yang kuharapkan mereka kali ini tahu diri dan bersyukur."
Harapanku tidak banyak, tidak terlalu besar juga, hanya satu kalimat simpel saja. Kalau bisa dipenuhi, aku tidak akan meminta hal lain. Lagipula aku tidak pernah menaruh harapanku di tempat yang susah diraih. Kalau kutaruh di tempat yang terlalu tinggi saja, pasti tidak akan ada yang bisa mencapainya.
Sesuai perintah Kiera, sesampainya kami di bandara, masuk ke dalam pesawat, aku langsung tertidur begitu pun dengan Feliha yang tertidur sebelum aku. Aku bahkan sampai melupakan Feliha belum makan pagi, kurasa biar Kiera yang mengurusnya nanti.
Mungkin benar kata Kiera, aku memang kelelahan dan tidak boleh memaksa diri. Seluruh perjalanan kuhabiskan untuk tidur, itu bisa dihitung empat jam kira-kira. Padahal semalam sudah pulang di jam 1 malam. Oh ya, semalam pun Feliha tertidur waktu masih di perjalanan pulang.
"Papa, Feliha, ayo bangun. Kita sudah sampai lho."
"Nghhh, masih mau tidur mama…."
"Ishh, ayo dong Feliha, ini kan di pesawat."
"Biarin Feliha tidur aja, aku akan gendong Feliha."
Sebenarnya niatku untuk datang naik mobil itu karena di kota ini aku tidak ada kendaraan sama sekali. Jadi kalau ada mobil, aku tidak perlu keluar orang dengan taksi di sini. Karena itu, akhirnya pun kami pergi menuju rumah para keturunanku sekali lagi dengan taksi tentunya. Feliha pun masih saja bisa tidur dengan tenang walau pun tidak tidur dengan nyaman.
Biasanya Feliha tidak bisa tidur senyenyak ini karena banyak yang diprotes oleh Feliha tentang mimpi. Namun karena Feliha terlalu kelelahan saja, makanya bisa tidur tenang seperti ini. Sebenarnya kalau bisa, aku ingin membuat Feliha bisa tidur seperti ini, tenang tanpa terganggu. Kasihan juga kalau dipikir anak sekecil Feliha sudah punya masalah akan tidur.
"Tuan, nyonya, sudah sampai di tujuan yang dituju."
"Terima kasih pak, ini uangnya."
"Waduh, ini berlebihan sekali pak, saya tidak bisa memberi kembaliannya."
"Simpan saja kembaliannya, semoga bisa membantu."
Banyak orang suka salah jalan, uang dicari untuk bukan diri sendiri saja, itu digunakan untuk berbagi juga. Bukannya berarti kita seolah-olah bekerja untuk orang lain juga, tetapi kalau orang-orang yang kurang mampu bisa semakin baik kehidupannya, bukankah itu baik?
Oh ya, sebenarnya karena semua orang yang tinggal di Terra dan pindah ke antara Heresia dan Logiate itu masih butuh biaya, yang benar-benar tidak mampu jarang sekali ditemukan. Itu kenapa tidak ada wilayah kumuh di sini. Paling mentok adalah orang-orang yang hampir tidak mampu dan itu karena pekerjaannya tidak berjalan, atau keuangannya mogok.
"Sudah di sini lagi ya… kali ini benar-benar ada orang di rumah."
"Papa… mama… kenapa kita pergi ke sini lagi…?"
Feliha barusan terbangun ternyata dan melihat bahwa kita pergi ke rumahnya dulu. Tentu saja memori buruknya sekejap kembali diingat karena hanya melihat rumah ini. Aku tidak bisa menyalahkannya dalam kasus ini, aku pun akan bersikap sama kalau aku ada di posisinya.
Memori buruk memang bekerja seperti itu, hanya sekejap saja dan hanya secuil sana mampu membuat semua yang sudah berlalu tiba-tiba kembali dengan paksa. Itu kenapa aku jarang membahas masa lalu lagi karena percuma juga aku mengingat yang buruk. Apa yang sudah berlalu biarlah berlalu, tidak perlu diungkit-ungkit lagi.
"Feliha… papa harus menyelesaikan masalah yang papa belum selesaikan, jadi Feliha tunggu dengan sabar ya?"
Dengan itu aku memencet belnya untuk memanggil siapa pun yang ada di dalam dan mendengar suara nyaring bel. Dalam waktu semenit, dua menit, seseorang akhirnya keluar dari pintu itu dan melihat kami. Mengerti kondisi apa yang sebenarnya terjadi, orang itu dengan buru-buru membuka pintu gerbang luar dan mempersilahkan kami masuk.
Setelah mempersilahkan kami masuk, orang itu mengantarkan kami ke ruangan untuk berkumpul bersama, entah ini ruang keluarga atau ruang tamu. Ini hari minggu, jadi aku sudah pastikan bahwa mereka semua ada di rumah. Oh ya orang yang membuka pintu untuk kami adalah Kuroha.
"Kakek, kakek kembali lagi ya?"
"Ada yang harus kubahas dengan kalian semua. Panggilkan mereka semua."
"Baik…."
Bahkan Kuroha pun bisa memikirkan bahwa dirinya merasa bersalah. Itu bagus, itu bagus, artinya setidaknya ada satu orang yang sadar diri. Satu orang berhasil memenuhi harapanku, dan aku sudah sedikit cukup puas hanya karena itu. Namun kalau bisa semuanya juga boleh, aku tidak mau ada yang masih bersikap arogan.
Setelah semuanya datang dan tidak berkata satu patah kata pun di hadapanku, aku merasa bahwa kelihatannya sudah sadar. Cukup berada di level yang memuasakanku kurasa, tidak buruk sama sekali. Namun jadinya canggung sekali kalai begini, tetapi mau bagaimana lagi.
"Kurasa kalian sudah duduk di sini, di hadapanku sudah tahu apa yang terjadi bukan?"
"Maafkan kami kakek!!!"