Butterfly

'Aku ingin meraihmu, tapi kau pasti akan terbang jauh dan hancur karenaku. Aku takut, sangat takut.'

Jaelyn berjalan dengan tatapan kosong menyusuri sepanjang rel kereta api itu. Menggenggam tali tas punggungnya erat sembari menahan air mata yang mendesak keluar. Kata-kata kasar yang dilontarkan padanya beberapa saat lalu masih membekas di ingatannya. Kalimat yang berulang kali berputar di kepalanya seperti mantra yang mematikan.

'Kau anak tidak berguna!'

'Bisakah kau melakukan sesuatu dengan benar?!'

'Kenapa aku harus terjebak di dunia ini bersamamu?'

'Begini saja kau tidak bisa!'

'Kau menyedihkan! Lebih baik kau saja yang pergi waktu itu!'

'Pembunuh!'

Tanpa sadar kini Jaelyn sudah terisak dengan sangat menyedihkan, orang-orang di sekitarnya melihatnya aneh sambil berbisik-bisik. Jaelyn tau, tapi dia tidak terlalu ambil pusing. Hatinya sedang sangat terluka, dan dia tidak tau harus kemana.

Pulang?

Ya, dia sangat ingin pulang. Ke rumah yang memberikan kenyamanan, ke tempat setiap orang biasanya mengadukan semua keluh kesahnya dengan lantang namun tetap merasa aman.

Rumah, ya?

Apa dia memiliki hal itu di dunia ini?

Badan Jaelyn menegang tiba-tiba saat ia mendengar suara klakson kereta yang menggema di seluruh wilayah itu. Langkah kakinya terhenti dan ia membalikkan badannya hati-hati.

Gadis bermanik cokelat itu melihat sebuah cahaya menyilaukan dari arah yang bersebrangan dengannya. Diiringi dengan suara yang mengerikan bagi siapapun yang mendengarnya kala itu.

Tubuhnya bergetar takut. Dia ingin lari dari sana dan menyelamatkam diri, tapi sisi lain dirinya memintanya untuk tetap tinggal.

Jika kereta itu menabraknya, apa semua beban hidupnya akan hilang? Apa dengan cara ini dia bisa melarikan diri dari penderitaan yang menderunya setiap detik dalam hidupnya?

Jaelyn tersenyum kecil. Mungkin memang inilah jalan keluar yang ia cari. Tidak akan ada yang menangis kalau dia pergi dari dunia ini 'kan? Jadi, untuk apa dia bertahan?

Gadis cantik itu menarik nafas dalam, tangan terkepal di sisi tubuhnya kuat. Ia memejamkan matanya perlahan kala kereta semakin dekat. Meskipun di dalam hatinya Jaelyn sangat ketakutan akan yang terjadi setelah kereta itu berhasil meraihnya, tapi Jaelyn seakan dibutakan oleh kebebasan semu yang akan dia dapatkan bila ruhnya terpisah dari raganya.

"Ini dia." Jaelyn berujar lirih, ia bisa merasakan kereta itu hanya beberapa meter saja dari dirinya. Air matanya kembali menetes sebelum akhirnya ia merasakan tubuhnya terhempas ke samping. Berguling beberapa kali sebelum akhirnya ia mendarat pada sesuatu yang empuk.

Ini aneh. Kenapa rasanya ia seperti berada di atas—

Manusia?

Jaelyn membuka matanya cepat saat ia mendengar suara rintihan di bawahnya. Matanya membulat dramatis seolah ia melihat makhluk tak kasat mata. Bagaimana Jaelyn tidak kaget? Sekarang, di bawahnya ada seorang laki-laki berkulit seputih salju yang menatapnya tidak bersahabat.

Garis wajahnya tegas meskipun pemuda ini memiliki kulit yang nampak halus. Matanya kecil, tapi tatapannya setajam pisau buatan Jerman. Sungguh, semua hal yang ada pada pemuda ini mengandung kontradiksi.

"Maafkan aku" Jaelyn mengutuk dirinya sendiri saat mendengar suaranya bergetar takut. Karena jujur saja, pemuda ini memang menakutkan baginya.

Anak laki-laki itu menyeringai dengan ekspresi mengejek yang semakin membuat Jaelyn beringsut. Aura yang menguar dari pemuda itu begitu dominan, Jaelyn bahkan sangat ketakutan hanya karena pemuda itu menatapnya dalam. Saat gadis itu ingin bangkit dari posisi tidak wajar mereka, tangan pemuda asing itu tiba-tiba menahan pinggangnya. Jaelyn terpaku sesaat, matanya tidak berkedip sama sekali.

Pemuda itu perlahan mendekatkan wajahnya pada Jaelyn, membuat jarak diantara mereka semakin dekat. Jaelyn menahan nafasnya beberapa saat saat iris tajam itu tepat beberapa senti saja di depannya.

"Lain kali, kalau kau mau bunuh diri, pastikan aku sedang tidak lewat sini."

Dan begitulah, awal pertemuan Min Yoongi dengan Park Jaelyn.

Aksi penyelamatan Yoongi kala itu benar-benar membuat mereka dekat setelahnya. Si gadis polos dan pemuda dingin itu benar-benar disatukan dengan cara seperti itu. Kedekatan mereka ini sebenarnya juga tidak jelas. Kadang mereka bisa akur dan detik setelahnya bisa saling cakar. Namun, dibalik itu semua Jaelyn dan Yoongi saling membutuhkan satu sama lain. Yoongi yang dingin menjadi sedikit berperasaan dan Jaelyn yang polos perlahan mempelajari tentang seni pertahanan diri. Ya, mengabaikan omongan orang tentangnya misal, Yoongi mengajari hal itu dengan baik.

Yoongi itu lebih tua tiga tahun di atas Jaelyn. Ia menempuh pendidikannya di Universitas Nasional Seoul dengan jurusan Teknik Sipil dan ia memiliki sebuah bangunan sederhana di dekat rel kereta sebagai tempat singgahnya. Tak heran kalau ia sering bertemu Jaelyn kalau anak itu pulang dari sekolah dan lagi Yoongi tinggal tidak jauh dari sana.

Awalnya Yoongi merasa sedikit risih dengan tingkah Jaelyn yang sok dekat dengannya, menyapanya seolah ia adalah teman lama. Namun, perlahan Yoongi melihat ketulusan Jaelyn yang ingin menjadi dekat dengannya. Gadis itu akan selalu melempar senyum manis kepadanya kala Yoongi menjawab sapaannya dengan ketus, membawakan Yoongi sarapan setiap pagi dengan alasan ia prihatin melihat tubuh kecil Yoongi dan menurut apapun nasehat Yoongi padanya.

Sejauh yang Yoongi tau, Jaelyn itu gadis yang manis.

Namun, saat ia mengingat kejadian Jaelyn yang ingin mengakhiri hidupnya kala itu membuat Yoongi terenyuh. Kenapa gadis selugu Jaelyn bisa memiliki keinginan seperti itu? Dan saat ia mengetahui hal yang luar biasa memprihatinkan serta menyedihkan dalam kehidupan Jaelyn, Yoongi merasa kalau ia harus melindungi gadis cantik itu dari apapun. Ia merasa bertanggung jawab atas hidup Jaelyn karena ia mengetahui rahasia kelam gadis itu.

Yoongi menolehkan kepalanya ke samping saat ia merasa Jaelyn semakin mendekatkan dirinya. Kepala gadis itu perlahan mendongak padanya dengan mata terpejam. Yoongi memundurkan wajanya refleks. Wajah mereka sangat dekat, Yoongi bahkan bisa dengan jelas melihat bulu mata Jaelyn yang lentik dan sebuah titik hitam super kecil di ujung mata gadis itu, namun fokus Yoongi teralihkan pada bibir merah muda Jaelyn yang mengkilat lembab.

Karena rasa penasaran, Yoongi tanpa sadar mendekatkan dirinya pada Jaelyn. Matanya terkunci pada bibir lembab itu, dadanya berdebar kuat setiap ia semakin dekat dengan gadis bersurai hazel itu dan saat ia berada tepat di depan wajah Jaelyn, Yoongi berhenti. Ia seolah tersadar dengan apa yang dilakukannya dan menarik dirinya dari Jaelyn perlahan. Yoongi menatap gadis itu sekali lagi dan tanpa alasan pasti, Yoongi menempelkan bibirnya di kening Jaelyn dengan sangat tenang. Ia memejamkan matanya sesaat, menikmati tiap momen yang sedang ia alami sekarang.

'Berjanjilah, kau harus bahagia suatu saat nanti Jaelyn.'

Yoongi menjauhkan dirinya dari Jaelyn kala ia merasakan pergerakan kecil dari gadis itu. Jaelyn perlahan membuka matanya dan langsung dihadapkan dengan Yoongi yang menatapnya penuh arti. Jaelyn tersenyum polos, wajahnya masih terlihat mengantuk karena sehabis bangun tidur.

"Sudah puas tidurnya?" Tanya Yoongi dengan nada sedikit menyindir. Namun, Jaelyn tetaplah Jaelyn, ia tidak merasa itu sebagai sebuah sindirian jadi dia mengangguk kecil.

"Bagus, sekarang geser. Aku mau pergi."

Jaelyn sontak menggeser tubuhnya dengan paksa saat Yoongi tiba-tiba berdiri dan menyambar tas punggung hitam kesayangannya itu selagi melangkah keluar. Jaelyn yang sekarang sadar sepenuhnya ikut mengambil tasnya dan berlari keluar menyusul Yoongi.

"Oppa!"

Jaelyn meraih lengan Yoongi saat gadis itu berhasil menyamai langkahnya dengan Yoongi. Mengikis jaraknya dengan si pemuda blonde.

Yoongi memilih diam saat wangi lavender dari gadis itu menyapa penciumannya. Membuatnya tenang tanpa ia sadari. Yoongi berjalan dengan kedua tangannya berada di saku celana dan tangan ramping Jaelyn menelusup di antaranya. Ia terlihat tidak terganggu sama sekali dengan itu dan tetap berjalan.

"Apa oppa mau pulang? Kenapa tidak menungguku?"

"Aku sudah menunggumu sampai bangun. Bahuku jadi pegal sekali sekarang."

Jaelyn menoleh cepat ke arah Yoongi, "Benarkah? Apa aku tidur selama itu?"

"Kau tidur tiga jam. Bagaimana kau akan bertanggung jawab kalau bahuku retak karena menahan beban kepalamu itu?" Kata Yoongi datar. Tidak ada nada sama sekali dari caranya berbicara, tapi itu terdengar menyebalkan di telinga Jaelyn.

Jaelyn mengerucutkan bibirnya, "Aku tidak seberat itu."

"Kau berat."

Jaelyn berdecak kesal, "Oppa, kenapa kau akhir-akhir ini menyebalkan sekali?"

"Aku menyebalkan setiap hari."

"Benar." Jaelyn melepaskan pegangannya pada lengan Yoongi lalu berjalan mendahului pemuda bersurai blonde itu dengan langkah lebar. Meninggalkan Yoongi dengan seringai kecilnya.

Melihat Jaelyn yang sedang merajuk seperti itu adalah suatu kepuasan bagi Min Yoongi. Gadis itu akan terlihat sangat menggemaskan dan lucu. Wajahnya memerah dan bibirnya akan sedikit mengerucut, persis seperti anak kecil.

Yoongi menggelengkan kepalanya dan berjalan cepat untuk menyamai langkahnya dengan Jaelyn. Perlahan pemuda bersurai blonde itu meraih bahu Jaelyn selagi mendekatkan gadis itu padanya. Ia mencium puncak kepala Jaelyn dengan senyuman yang masih terukir di bibirnya saat gadis itu sudah sepenuhnya dalam rengkuhannya.

"Ayo pulang bersama."