Secangkir Kopi Pahit (Bab III)

Laudir hanya diam dengan mata yang sudah memerah menahan tangis.

Ia pun bangun dari badan Verga dan menuju balkon jendela.

"apa gue salah tanya ya?" batin Verga bingun karna Laudir tak menjawab pertanyaannya.

Verga pun mengejar gadis itu, untung saja ia masih sempat menyimpan kopi yang dibuatnya dengan rapi.

"ini, saya buatkan kopi pahit untuk mbak" ucapnya sambil memberi secangkir kopi panas pada Laudir.

Namun, Laudir hanya menatap dengan tatapan kosong.

Verga pun duduk di dekatnya.

"terimakasih" rintih Laudir pelan dan mendapatkan senyuman manis dari Verga.

"apa kopinya enak mbak?" modusnya ingin mengajak Laudir bicara padahal ia tau bahwa kopi itu sangat pahit.

Laudir hanya mengangguk pelan.

"mbak tau ngak sih, kalau kehidupan manusia itu di ibaratkan sebuah kopi" ujar Verga sambil menatap kearah langit.

"maksudnya?" tanyanya bingung.

"manusia itu diibaratkan seperti pembeli, peracik adalah yang di atas, jika sang peracik memberi begitu banyak gula, maka kehidupan manislah yang akan kita dapati namun, jika peracik tak memberi sedikitpun gula dan malah memberi begitu banyak kopi, maka kehidupan pahitlah yang akan kita dapati" jelas Verga panjang lebar.

Laudir menatap Verga dengan dalam.

"dan saya janji, saya akan memberikan begitu banyak gula pada kopi mbak" ujar Verga menatap Laudir dengan tersenyum manis.

Hampir berapa menit mereka saling bertatap, Laudir pun membuang wajah dengan sedikit salah tingkah.

"kalau gitu saya pamit dulu ini sudah malam, mbak tidur ya jangan pikirkan hal yang aneh-aneh" ucap Verga sambil tersenyum, lalu pergi meninggalkan Laudir sendirian.

Laudir pun membaringkan tubuhnya di kasur itu, ia terus saja teringat dengan pria yang menyelamatkannya itu.

"apa maksudnya?" rintihnya pelan sambil menatap langit-langit kamar hotel itu.

Tak berapa lama ia pun terlelap.

Kring..kring...

Suara alarm ponsel Laudir membuatnya terbangun dari lelapnya.

"ah, mengganggu saja" Laudir mematikan alarm.

Ia pun beranjak dari kasur dan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap sekolah.

Di kamar lain, Verga masih sangat nyenyak tertidur.

Namun, tiba-tiba ponsel miliknya berdering sangat kuat dan sontak membuat pria manis itu meloncat dari kasur empuknya.

"ah! Gila nih Davin suka banget ganggu gue" gerutu Verga kesal.

"apa!" jawab Verga sedikit teriak dan membuat Davin kaget.

"gila lo! Ngak usah teriak juga bego!" tukas Davin dari layar ponsel itu.

"buruan lo ke kedai, ada orang mau ketemu" suruh Davin.

"orang ketemu sama gue?"

"iya tuan Verga, cepat" ujar Davin lalu memutuskan panggilan.

"hallo? Davin? Kurang ajar emang nih anak!" ucap Verga kesal saat Davin memutuskan panggilan begitu saja.

"siapa yah yang mau ketemu sama gue?" batin Verga.

Verga pun menuju kamar mandi untuk bersiap-siap.

Setelah hampir berapa menit Laudir pun keluar dari kamarnya dan, kebetulan Verga juga keluar dari kamarnya.

Letak kamar Verga dan Laudir saling menghadap dan tentu saja saat mereka saling keluar bertatap mata untuk sesaat.

Verga pun mengeluarkan senyum manisnya.

"selamat pagi" sapanya ramah.

Namun Laudir hanya mengangguk dan pergi duluan dari tempat itu.

"selamat pagi nona muda" sapa pak sopir pada Laudir.

Laudir hanya mengangguk, lalu masuk kedalam mobil mewah itu.

"tuan besar ingin bertemu dengan nona di kedai kopi yang biasa nona kunjungi" ucap pak sopir itu.

"untuk?"

Pak sopir itu hanya menaiki bahu tak tau.

"baiklah" ujar Laudir lalu menyadarkan kepalanya pada bangku mobil itu.

"siapa yang mau ketemu sama gue?" tanya Verga yang baru saja sampai ke kedai itu.

"tuh" jawab Davin menunjuk pria tua yang memakai jas berwarna abu-abu itu.

"siapa tuh?" Verga nampak asing dengan pria tua itu.

"gue juga ngak tau bego" bisik Davin saat seorang pengawal pria tua itu datang.

"apa anda pemilik kedai ini?" tanya orang itu.

Verga hanya mengangguk.

"bisa bertemu dengan tuan besar sebentar?" ucap pengawal itu.

"Tuan besar?" rintih Verga kecil.

"udah pergi aja sana" bisik Davin sambil mendorong Verga.

"gila lo ya!" ujar Verga kesal dengan suara kecil.

Setelah beberapa jam, Laudir pun sampai di kedai itu.

"ayah?" panggil Laudir.

Verga yang duduk di sebelah ayah Laudir pun melihat pada sumber suara itu.

"ayah?" desah Verga semakin bingung.

Laudir pun langsung menghampiri mereka.

"rupanya kamu datang juga" tukas ayah sambil menghirup secangkir kopi panas.

"kenapa ayah menyuruhku kesini?" tanyanya dengan nada dingin.

"tidak ada, ayah hanya ingin sarapan dengan Putri ayah" jawab ayah sambil membaca koran.

Laudir hanya tersenyum remeh saat mendengar perkataan ayahnya itu.

"sudahlah, aku ingin berangkat sekolah" ujar Laudir lalu bangun dari kursi itu dan meninggalkan ayahnya.

"mari pindah ke Kanada" ucap ayah dan membuat langkah Laudir berhenti.

"maksud ayah?" tanyanya dengan mata yang sudah memerah.

Ayah pun bangun dari duduknya dan menghampiri putrinya.

"jika kamu hanya mencari masalah di sekolah itu, lebih baik kamu pindah ke sekolah yang lebih disiplin" tukas ayah dengan raut wajah sedikit marah.

"aku tidak mau" jawab Laudir dengan mata yang sudah berkaca-kaca menahan tangis.

"jangan membantah perintah ayah! Besok kamu akan berangkat, ayah sudah menyiapkan semuanya" jelas ayah dengan nada yang sudah emosi.

Laudir hanya diam sambil menatap tajam ayahnya.

"terserah!" teriaknya kemudian pergi dari tempat itu.

Verga yang melihat kejadian itupun, merasa prihatin dengan Laudir.

Selama perjalanan Laudir tak pernah berhenti menangis, hatinya sangat sakit mendengar perkataan ayah, bahwa ia hanya mencari masalah di sekolah itu.

"nona muda?" panggil pak sopir itu.

"apa?"

"apa kita pergi ke sekolah?" tanya pak sopir itu dengan sedikit ragu.

"hem iya"

Hari ini hari yang begitu padat di kedai kopi senja. Bagaimana tidak, ada banyak pelanggan yang datang ke kedai itu untuk belajar dan melakukan pertemuan bersama klien.

"Ver espresso satu!" teriak Davin dari jauh.

Namun Verga tak menghiraukan dan malah melamun.

"tuh anak kenapa lagi?" batin Davin kesal saat melihat Verga tak menghiraukan panggilannya.

"Woi! Ngapain lo?" tukas Davin sambil menepuk pundak Verga dan membuat pria manis itu kaget.

"astaga! Lo gila ya!" ujar Verga kaget.

"yah lagian lo kenapa?"

"gue masih keingat kejadian tadi pagi" ucap Verga sambil menatap gelas kopi yang kosong itu.

"iya sih, gue juga kasian sama tuh anak"

"menurut lo dia pindah ngak sih?" tanya Verga.

"yah mana gue tau ver, emang gue emaknya" jawab Davin.

Verga yang kesal dengan jawaban Davin pun pergi dari kedai itu.

"woi! Mau kemana lo!" teriak Davin yang melihat Verga pergi.

Verga tak menjawab, ia hanya melambaikan tangannya tanpa berbalik.

"tuh orang gila ya, udah tau pelanggan lagi rame eh dia pergi gitu aja" omel Davin tak jelas.

Selama jam pelajaran Laudir hanya diam dan tak menyatat sedikit pun yang miss jelaskan.

"Laudir? Kamu kenapa?" bisik Amer dari belakang.

Laudir hanya menggeleng pelan.

Jam pelajaran telah selesai, waktunya untuk para murid makan siang.

"kamu ngak makan?" tanya Amer pada Laudir.

"ngak" jawabnya dingin sambil memainkan ponsel mmiliknya.

Amer yang penasaran apa yang Laudir liat pun mengambil ponsel milik Laudir dengan cepat.

"Amer!"

"kamu mau pindah?" ujar Amer saat melihat foto tiket keberangkatan Laudir.

Laudir hanya diam dan mengambil ponsel miliknya dari tangan Amer.

"kenapa Laudir?" tanya Amer dengan nada sedikit sedih.

"ini perintah orang tuaku, aku harus mengikutinya" jawab Laudir dengan nada dingin.

Amer langsung memeluk sahabatnya itu dan menangis.

"aku pasti akan sangat merindukanmu" tukas Amer sembari menangis.

Tanpa terasa air mata Laudir pun ikut terjatuh.

Sesampainya di rumah, Laudir langsung membaringkan tubuhnya pada kasur. Lagi-lagi tak terasa air mata jatuh membasahi pipinya.

"ah, aku harus kuat" Laudir menghapus air matanya.

Tok..tok.. Seseorang mengetuk pintu kamar Laudir.

"masuk"

"ini barang-barang nona, suda saya siapkan" ucap pelayan itu membawa koper besar yang berisi barang-barang gadis berambut ikal itu.

"terimakasih" ujar Laudir lalu mengambil koper itu lalu menutup pintu kamarnya.

Laudir pun membaringkan tubuhnya dan tertidur.

Selama perjalanan Verga terus saja memikirkan gadis berumur 17 tahun itu, tak sengaja Verga pun hampir menabrak pembatas jalan itu.

"huh, untung aja" ujar Verga sambil membenarkan duduknya.

Sesampainya di apartemen, Verga langsung membaringkan tubuhnya ke kasur yang empuk itu.

"apa dia benar-benar akan pindah?" batin Verga sambil menatap langit-langit apartemen itu.