Secangkir Kopi Pahit (Bab V)

Verga pun membaringkan tubuhnya ke kasur, ia menatap langit-langit rumah mewah itu dengan tatapan kosong.

"kau belum tidur nak" tanya ibu yang masuk ke kamar anak laki-lakinya itu.

Mendengar hal itu, Verga pun langsung bangun dari baringnya.

"belum ma" jawabnya.

"ini, mama buatkan susu hangat" tukas ibu memberi segelas susu hangat untuk Verga.

"makasih ma" ucapnya sambil tersenyum dan mengambil gelas susu itu dari tangan ibunya.

"makasih yah nak, kamu mau melanjutkan perusahaan kita" ujar ibu sambil mengelus kepala anaknya itu.

Verga hanya mengangguk pelan. Ia tak tau harus berbuat apa, selain pasrah dengan jalan hidupnya.

"besok kita semua akan pergi ke kantor pengacara keluarga, untuk memindahkan hak waris" jelas ibu dengan panjang lebar.

"baik" jawab Verga dan melanjutkan minumnya dengan raut wajah sedikit cemas.

Setelah mengantar susu hangat untuk Verga, ibu pun keluar dari kamar itu.

Verga pun mengambil ponsel miliknya yang berada di meja sebelah kasurnya, dan menelepon Davin.

"hallo?" jawab Davin.

"gue mau ketemu"

"kenapa lo? Kangen?" ujar Davin menggoda.

Bukannya menjawab, Verga malah memutuskan panggilan itu.

"gila tuh anak!" kesal Davin dengan tingkah sahabatnya itu.

Sesampainya di kedai Verga menyandarkan badannya pada kursi kerjanya.

"apa gue bisa menjalakan ini semua?" rintih Verga sambil menatap langit-langit kedai itu.

"sok indie lo" ujar Davin yang baru datang, dan memadamkan musik yang sedang Verga putar.

Verga hanya menatap kesal sahabatnya itu dan memutar kembali musik yang telah di padamkan oleh Davin.

"minggu depan gue akan berangkat ke Kanada" tukas Verga dan sontak membuat Davin terkejut.

"jadi lo serius?" tanya Davin tak percaya.

Verga hanya mengangguk dengan raut wajah sedih.

"bugus dong, lo pasti ketemu cewek itu disana" ujar Davin pada sahabatnya itu.

"uhm?"

"lo nih bego atau apa? Laudir kan di Kanada" ucap Davin mengomel.

"gue ngak mikirin itu" tukas Verga sambil menyandarkan kepalanya pada meja kerja.

"hem, gue tau sebenarnya lo ngak kan ngelanjutin perusahaan itu? Yah, apalagi lo punya dendam dengan bokap lo" ujar Davin.

"lo tau kan gimana bokap gue dulu?" tukas Verga sambil menyandarkan kepalanya pada kursi kerja.

Masa remaja Verga dulu sangat mirip dengan kisah yang Laudir jalakan saat ini, ia selalu disuruh untuk belajar sangat giat dan harus selalu mendapatkan nial tinggi agar tidak membuat malu mereka.

"jadi lo mau gimana?" tanya Davin bingung.

Verga hanya menggeleng dengan wajah yang sedikit stres.

Saat jam istirahat semua siswa keluar untuk makan siang.

"hello! Nama aku Kim Hye Si, panggil aja Hye" sapa gadis berwajah imut itu.

Laudir hanya menjawab dengan anggukannya.

"kau asal Korea kan?" tanyanya.

"nde, tapi sudah lama tinggal di Indonesia" jawab Laudir sambil mengemaskan buku-buku di meja.

"di mana sopan santun anak itu?" kesal Stevan saat melihat Laudir tak menatap wajah anak muridnya.

"Kim Hye Si" panggil Stevan.

"iya Mr Stevan?"

"bisa kamu ke ruangan prof Rilwet? Untuk mengantar buku-buku ini?" pinta Stevan.

Kim Hye Si pun membawa buku-buku itu keluar.

"Kim Laudir" panggil pria hitam manis itu.

Laudir hanya menatap bingung.

"ikut saya ke ruangan" ucap Stevan lalu berjalan duluan.

Laudir menaiki satu alisnya.

Sesampainya di ruangan Stevan meletakkan buku-buku di meja kerjanya.

"ada apa?" ujar Laudir dingin.

Stevan kesal setengah mati melihat tingkah anak muridnya itu.

"kau tidak tau kesalahanmu?" tanya Stevan dengan berusaha menahan emosi.

Laudir hanya menggeleng kepala dengan santai.

"kuatkan hambamu yah tuhan" rintih Stevan sambil mengelus dadanya.

"sudah selesai?" tukas Laudir dengan santai.

"hem, silahkan pergi" ucap Stevan begitu kesal.

"sungguh, jangan sampai aku bertemu dengannya" batin Stevan.

Verga membaringkan tubuhnya di kasur empuknya, dan menatap kosong langit-langit rumah mewah itu.

"apa aku bisa melewati semua ini?" ujar Verga pada diri sendiri.

Namun saat sedang termenung, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam kamarnya.

"kakek?" tukas Verga sedikit kaget.

"kau belum tidur?"

"belum" jawab Verga lalu bangun dari baringnya.

"kakek tau ini pasti berat untukmu, tapi bagaimana pun juga ini sudah kewajiban mu sebagai pewaris tunggal" jelas kakek.

Verga hanya mengangguk pelan.

"kau masih marah dengan ayahmu?" tanya kakek.

Verga bangun dari kasur itu dan menuju balkon kamarnya.

"entahlah, Verga ngak tau" tukas Verga.

Kakek pun menghampiri cucunya itu.

"meskipun dulu ayahmu sangat mengekang dan selalu memaksa dirimu untuk belajar, itu semua untuk masa depan kamu" ucap kakek.

Verga pun sedikit mulai menangis.

"Verga kesal! tapi Verga ngak bisa berbuat apa-apa" rintih Verga dengan menangis.

Sang kakek pun mulai memeluk cucu laki-lakinya itu.

"kakek tau kamu anak yang hebat" ujar kakek sambil menepuk lembut bahu Verga.

Laudir pun masuk kedalam kantin sekolah untuk menikmati makan siang.

Namun saat hendak mengambil buah, tiba-tiba seseorang berbicara padanya.

"tolong ambilkan aku apel" pinta orang itu.

Laudir pun mengambil apel itu dan berbalik ke belakang.

"kau?"

"hai!" sapa Verton.

"sejak kapan kau disini?" tanya Laudir sedikit kaget.

"nanti akan ku ceritakan, sekarang ayo kita ke tempat duduk, orang-orang mengantri di belakang" ujar Verton sambil merangkul pundak Laudir.

"akhirnya" tukas Verton saat sudah menemukan tempat duduk.

Namun saat Verton hendak menyuapi makanan, tiba-tiba tangan Laudir mencegahnya.

"kau belum jawab pertanyaanku" kesal Laudir.

"ah, iya aku lupa" ucap Verton tersenyum bodoh.

"jadi, kau benar-benar ingin tau?" sambungnya.

Laudir hanya mengangguk pelan.

"berapa minggu setelah pulang ke Indonesia, ayahku dapat kabar bahwa nenek ku sedang sakit parah, jadi aku dan keluarga berangkat ke Kanada" jelas Verton panjang lebar.

"terus? Akhirnya kau pindah?" tanya Laudir pelan.

Verton mengangguk pelan.

"setelah berpikir panjang, orang tua ku memutuskan untuk menetap di Kanada" tukas Verton.

Laudir pun mengangguk paham.

"maaf, kalo aku tak sempat berpamitan denganmu" sambung Verton sambil menatap manik mata Laudir.

Laudir pun mengalihkan pandangannya.

"lanjutkan makan mu, sebentar lagi bel berbunyi" ujar Verton saat melihat Laudir tampak gugup.

Hari ini Yuka sangat sibuk menemui client.

"huh, akhirnya selesai juga" ucap Yuka sambil duduk di kursi kerjanya.

"baru selesai?" tanya Gramela yang baru datang dari luar.

Yuka hanya mengangguk dengan mata setengah terpejam.

"sudah ah, ayo ke cafe" tarik Gramela.

"aku lagi capek Mela!" kesal Yuka di tarik oleh sahabatnya itu.

Mereka pun akhirnya sampai di cafe itu.

"kau mau pesan apa?" tanya Gramela saat hendak memesan minuman.

"ice americano" jawab Yuka sambil berbaring  di sofa cafe itu.

"baiklah"

"ah, sepertinya akan turun hujan" ujar Yuka saat melihat awan sudah mulai menggelap dari dalam cafe itu.

Setelah beberapa menit Gramela pun datang sambil membawakan pesanan mereka.

"bukankah adikmu pindah ke sini?" tukas Gramela sambil menghirup coklat panasnya.

Yuka mengangguk sambil menikmati ice americano.

"itu pasti perintah ayahmu bukan?" tanya Gramela penasaran.

Yuka menghela napas panjang.

"baiklah, habiskan kopimu, sebentar lagi kita akan meeting" tukas Gramela saat melihat raut wajah Yuka sedikit berubah.

Kring kring~~~

Bel sekolah telah berbunyi, semua siswa keluar dari gedung sekolah itu.

"Kim Laudir!" panggil Kim Hye Si dari kejauhan, kemudian berlari menghampiri Laudir.

Laudir hanya menaikan satu alisnya.

"hah, p-pulang b-bareng gimana?" ucap Kim Hye dengan nafas yang tak beraturan kelelahan.

"Kau baik-baik saja?" tanya Laudir melihat kondisi Kim Hye Si yang nampak sangat kelelahan itu.

Kim Hye Si hanya mengangguk sambil berusaha mengatur nafas.

Namun saat mereka sedang bicara, tiba-tiba mobil lamborghini berwarna hitam datang mendekati mereka.

"Verton?" tukas Laudir melihat pria di dalam mobil itu.

Kim Hye Si pun menoleh pada sosok pria yang di sebut oleh Laudir.

"unnie tak bisa menjemputmu bukan? Ayo masuk" ucap Verton dari dalam mobil itu.

"tapi" Laudir melihat pada Kim Hye Si.

"tak a-apa pergilah" suruh Kim Hye dengan nafas belum beraturan itu.

Laudir pun mengangguk, kemudian masuk ke dalam mobil mewah itu.

Mobil itupun melaju sangat cepat.

"Nona Kim! anda baik-baik saja?" tanya pengawal wanita itu, saat melihat Kim Hye Si hampir tumbang.

Kim Hye Si hanya mengangguk lemah.

"aku ingin istirahat" pintanya.

Pengawal wanita itu langsung menelpon pengawal lainnya dan langsung membawa Kim Hye Si dari sekolah itu.

Selama perjalanan hanya hening yang menemani mereka berdua.

"sepertinya di Kanada banyak jangkrik" ujar Verton memulai pembicaraan.

Laudir hanya menatap dingin.

"ayolah! Jangan diam seperti ini, ngak enak tau!" kesal Verton pada Laudir.

Laudir hanya tertawa kecil saja melihat tingkah Verton yang seperti anak kecil itu.

Laudir membaringkan tubuhnya pada kasur empuknya itu.

Tok tok tok tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"Laudir keluarlah, makan malam sudah siap" ucap Yuka dari luar kamar itu.

"nde! Aku akan turun" teriak Laudir dalam kamar.

Laudir pun keluar dari kamar dan menuju ruang makan.

"unnie hanya bisa membuat bibimbap ngak apa?" tukas Yuka saat Laudir sudah duduk didepan meja makan.

Laudir mengangguk sembari tersenyum.

"ini, sudah jadi!" ujar Yuka memberikan bibimdap pada Laudir dengan semangat.

"selamat makan!" sorak mereka berdua.

"bagaimana? Enak?" tanya Yuka dengan penasaran.

Laudir hanya mengangguk dengan tersenyum.

"kau pasti rindu masakan ibu bukan?" sambung Yuka dan langsung membuat makan Laudir terhenti.

"tidak" jawabnya dingin.

"apa kau juga merasa marah dengan ibu? Asal kau tau, ibu sangat sedih melihat kita seperti ini, tapi ibu ngak melawan perintah ayah" jelas Yuka.

"iya aku tau, aku hanya lagi tidak ingin memikirkan mereka" ujar Laudir sambil menatap bibimbap itu.

Yuka pun mulai mengelus kepala Laudir dengan lembut, dan mendapatkan senyuman manis dari Laudir.

"kau masih sering ke kedai itu?" tanya Yuka.

Laudir hanya mengangguk dengan tersenyum.

"dia tumbuh dengan sangat baik" tukas Laudir sembari tersenyum.

Mendengar hal itu pun membuat Yuka tersenyum lega.

"baguslah" rintih Yuka pelan.

Laudir yang mendengar perkataan Yuka pun ikut tersenyum.