Secangkir Kopi Pahit (END)

Laudir terbangun dari tidur siangnya.

"apa unnie belum pulang?" gumamnya saat masih berada di kasur tidurnya.

Laudir pun beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ruang utama.

"benar dugaan ku" ujar Laudir saat melihat tidak ada satupun orang di apartemen itu.

Laudir pun menuju dapur untuk mengambil minum.

"hah, akhirnya" desah Laudir setelah meneguk habis air putih dingin itu.

Kring~~

Ponsel milik Laudir berdering.

"uhm?" gumamnya melihat panggilan dari nomor tak di kenal.

"hallo?"

"Tuan besar ingin bicara" ucap seseorang dari layar ponsel itu.

Laudir terdiam sejenak.

"silahkan" tukas Laudir dengan nada dingin.

Pelayan itupun memberikan ponsel itu pada ayah Laudir.

"apakah kau bolos hari ini?" tanya ayah.

Laudir hanya diam.

"Kim Laudir!" bentaknya.

"lebih baik kau urus saja diri sendiri! jangan pernah memikirkan aku!" teriak Laudir sambil menangis, dan langsung mematikan panggilan itu.

Laudir langsung terduduk di dapur itu, ia menyadarkan kepalanya pada pintu kulkas.

Hatinya sangat hancur melihat tingkah ayahnya yang tak pernah memikirkannya.

"kenapa hidup ku sehacur ini!" tukas Laudir sambil berteriak menangis hebat.

Laudir menangis begitu kuat, tak lama tiba-tiba seseorang masuk dan langsung memeluk Laudir.

"aku ingin mati!" teriak Laudir dalam pelukan itu.

Seseorang itu semakin kuat memeluk Laudir.

"setiap manusia pasti merasakan hal ini Laudir" ujar Verton sambil mengelus kepala Laudir.

Verton melepas pelukannya dan memegang kedua pipi Laudir.

Ia mulai mengusap air mata Laudir dengan lembut.

Cup! sebuah kecupan lembut mendarat di kening mulus Laudir.

Seketika tangisan Laudir pun terhenti.

"yang kau butuhkan sekarang, adalah Cinta dan kasih sayang dari orang-orang yang mencintaimu" ucap Verton dengan lembut.

Verton pun membantu Laudir untuk berdiri dan menentengnya untuk duduk di sofa.

"bagaimana kau bisa masuk?" tukas Laudir dengan suara parau.

Verton tersenyum sebentar.

"bukan Jung Verton kalau tidak tau semuanya" jawab Verton dengan bangga.

Laudir sedikit tersenyum mendengar jawaban Verton.

"kau sudah makan malam?" tanya Verton beranjak dari sofa itu.

Laudir hanya menggeleng pelan.

"coba kita lihat, ada bahan apa saja disini?" gumam Verton sambil melihat isi dapur itu.

Laudir pun beranjak dari sofa itu dan menuju dapur.

"kau ingin makan apa?" ujar Laudir.

Verton sedikit terkejut melihat Laudir sudah di belakangnya.

"aku ingin spagetti" tukas Verton sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal itu.

Laudir mengangguk paham.

"kau bisa pergi ke minimarket sebentar? beli keju dan susu, aku akan menyiapkan bahan-bahan" jelas Laudir dengan panjang lebar.

"kau?"

Laudir mengangguk sembari tersenyum.

"kenapa masih disini?" tanya Laudir yang bingung melihat Verton yang masih terdiam menatapnya.

"hah? i-iya" ujar Verton dengan gugup, lalu pergi dari apartemen itu.

Selagi Verton pergi membeli bahan-bahan, Laudir pun mulai menyiapkan peralatan.

Verga dari tadi hanya diam di ruang kerjanya, ia menyadarkan kepalanya pada kursi kerjanya.

"dia benci dengan ku" gumam Verga sambil melihat langit-langit kantor itu.

Verga menjambak rambutnya dengan kuat, ia tak tau harus berbuat apa orang yang sangat ia cintai sekarang sangat membenci dirinya.

Tak berpikir lama, Verga pun bergegas meninggalkan perusahaan itu dan mencari keberadaan Yuka.

"nih, aku tau kau sangat membutuhkannya" ujar Gramela sambil memberi ice americano.

Yuka mulmulai meneguk dengan pelan.

"a-aku ingin bicara" desah Verga dengan nafas yang tak beraturan akibat kelelahan.

Yuka sedsedikit kaget melihat kedatangan Verga.

"izinkan aku bicara dengannya" pinta Verga pada Gramela.

Gramela menolemenoleh pada Yuka dan mendapatkan gelengan bahwa Yuka enggan untuk bicara dengan Verga.

"ku mohon"

Gramela menghela nafas panjang, kemudian mengangguk dan meninggalkan Yuka dan Verga.

Tak lama setelah Gramela pergi, Verga pun mulai mendekati dirinya pada Yuka.

Yuka sedikit mundur saat Verga mulai mendekatinya.

"aku rindu" tukas Verga dengan suara parau menahan tangis.

Yuka yang mendengar itu, sontak langsung menegaskan kepalanya.

Matanya sangat merah menahan tangis, entah itu karena benci atau rindu Yuka tak tau.

"maafkan perebutan orang tua ku, aku tau aku cowok yang sangat lemah akhh.." ucap Verga sambil menangis begitu kuat.

Tak terasa air mata Yuka ikut mengalir begitu deras.

"aku tau orang tua ku sangat membenci orang tuamu, aku tau bahwa mereka memang berencana ingin mencelakai ayahmu, aku memang pria bodoh! Akhh!" Verga menangis hingga berlutut dihadapan Yuka.

Yuka yang tega melihat itu, langsung menarik Verga dalam pelukannya.

"ku mohon jangan seperti ini, kau membuat hatiku sangat hancur" rintih Yuka menangis.

Verga menangis sangat kuat di peukan Yuka.

Dua tahun

Hari yang sangat cerah membuat seorang Laudir terbangun dari lelapnya.

"nona sudah bangun? Semua orang sudah menunggu di bawah" tukas pelayan itu.

Laudir tersentersenyum sebentar.

"bilang pada mereka aku akan turun"

Hari ini adalah hari yang sangat bahagia untuk Yuka dan Verga, bagaimana tidak, mereka akan melangsungkan pernikahan.

Setelah kejadian itu, Yuka mulai membuka hatinya untuk Verga kembali dan menjalani perusahaan orang tua mereka dengan bersama.

Setelah beberapa menit, Laudir pun turun dari lantai atas.

Mengunakan gaun berwarna biru muda,dan rambut yang terurai panjang membuat Laudir terlihat sangat cantik.

"hem baiklah, yang ingin menikah siapa, yang jadi sorotan siapa" ujar Yuka dengan nada bete.

Laudir hanya tertawa mendengar hal itu, ia pun memeluk kakaknya itu.

"akhirnya, kau bersamanya" ucap Laudir sambil memeluk erat Yuka.

Yuka membalas pelukan Laudir dengan erat.

Saat acara di mulai, Yuka pun memasuki gedung mewah itu dengan gaun pernikahan yang sangat mewah.

Berjalan dengan pelan, dan senyum kebahagiaan tak pernah pudar dari wajah Yuka.

"akhirnya, mereka bisa bahagia juga" desah Verton di sebelah Laudir sambil melihat Verga dan Yuka mengikat janji.

Laudir menoleh pada Verton, dan tersenyum.

"dan aku sangat bahagia bisa memilikimu" balas Laudir sambil menatap Verton.

Mereka pun saling bertatapan dan tersenyum satu sama lain.

"aku percaya, suatu saat aku akan mendapatkan kopi manis ini" batin Laudir tersenyum menatap Verton.

Akhirnya dari kisah ini aku belajar, bahwa cita-cita dan keinginan adalah hal nomor dua dalam hidupku.

Bagiku, diriku dan kebahagiaan ku lah yang terutama.