Hari sudah gelap. Jarum jam menunjuk angka delapan malam ketika Alif melangkah keluar dari cafe bersama Anna disampingnya. Mereka berjalan berdampingan dalam diam.
Alif tahu ini berlebihan. Namun demi apapun ia bersyukur hari ini bisa bertemu kembali dengan Anna yang sudah lebih dari tiga tahun lamanya menghilang. Alif pikir, ia menemukan kembali sahabat baiknya.
Keheningan diantara mereka tiba-tiba membuat Alif jengah. Ia ingin mendengar suara Anna lagi. Namun alih-alih suara Anna yang terdengar, seruan dari belakang seketika membuat Alif berhenti melangkah.
"Alif!"
Alif dan Anna sama-sama berbalik. Menoleh pada sumber suara. Alif terdiam ditempat, melihat disana, pada jarak sekitar sepuluh langkah darinya, Givana berdiri mengenakan dress putih bersih dan rambut yang tergerai. Belum sempat Alif mencerna situasi ketika tunangannya itu melangkah menghampiri tempatnya dan langsung melayangkan tamparan pada Anna begitu saja.
Anna kaget. Alif apalagi.
Waktu seperti terhenti. Udara malam hari serasa semakin menusuk. Padahal Alif tahu betul dirinya mengenakan kemeja sekaligus jas yang masih ia pakai sejak tadi. Cukup hangat. Alif rasa ia belum mengatakan apa-apa saat tiba-tiba Givana menangis, menunjuk-nunjuk wajahnya dengan lemah lalu berlari melewatinya dengan cepat.
Untungnya refleks Alif langsung bekerja. Ia ikut berlari mengejar ketika dilihatnya Givana sudah hampir menyebrang jalan.
Lalu, semua terasa cepat. Langkah Alif terasa berat hingga kemudian ia berhenti berlari. Telinganya berdengung ketika suara klakson mobil terdengar saling bersahutan. Matanya nyalang menatap pemandangan jalan raya yang terpampang nyata di hadapan. Lalu, yang membuat Alif jatuh terduduk, bersimpuh di pinggir jalan dengan lututnya yang terantuk keras dengan tanah, adalah Givana yang terkapar beberapa meter dari mobil-mobil yang saling bertabrakan. Tepat di persimpangan jalan, lampu lalu lintas, Givana dengan dress putihnya tergeletak, bersimbah darah.
Tangan Alif terkepal kuat. "GIVANA!"
***
"GIVANA!"
Alif bangun dari tidurnya dengan napas tak beraturan. Keringatnya bercucuran di dahi. Kepalanya pusing karena dipaksa bangun dari mimpi yang terasa mengerikan.
Hal pertama yang Alif sadari adalah, ia yang ada di dalam kamar dengan suasana remang karena lampu yang menyala hanya lampu tidur di samping ranjang.
Alif mengusap wajahnya kasar. Masih terbayang dibenaknya dengan jelas saat ia bermimpi melihat Givana yang bersimbah darah di pinggir jalan raya.
"Arghh!" Alif menggelengkan kepala. Beranjak turun dari ranjang untuk mencuci muka. Ia mendongak menatap cermin wastafel yang menampilkan wajah kusutnya kemudian menunduk untuk membasuh muka lagi.
Sekembalinya ke kamar, ia meraih ponsel yang tergeletak di samping lampu tidur. Mengeceknya kemudian menghembuskan napas berat.
Ada begitu banyak panggilan tidak terjawab dari Rey, beberapa dari Nuri, dan yang paling penting adalah pesan-pesan Givana yang terabaikan.
Alif teringat mimpinya barusan. Apakah efek membohongi tunangannya sampai sedahsyat ini?
Alif mendesah frustasi. Diacaknya rambut yang sebenarnya masih acak-acakan khas bangun tidur. Tidak masalah jika hari masih terlalu pagi. Alif tidak keberatan menyetir hanya untuk melihat wajah wanitanya sekarang juga.
***
Givana sebenarnya tidak terlalu terkejut mendapati Alif yang sepagi ini sudah duduk anteng di sofa ruang tamu rumahnya. Namun ia tetap bertanya-tanya kehadiran pria itu yang tanpa kabar, terlebih hari ini bukan hari libur yang mengharuskannya berkunjung.
"Hei," Givana menyapa basa basi. Sebelum ia menghampiri pria itu untuk menyusul duduk, Alif terlebih dahulu berdiri, menyongsongnya dengan pelukan erat. Givana yang awalnya bingung kemudian hanya membalas pelukan Alif sambil menepuk-nepuk kecil punggung pria itu.
Setelah beberapa detik, Alif akhirnya melepas pelukan. Menuntunnya duduk bersampingan di sofa.
Sambil menggenggam tangannya, Alif bertanya, "Kau marah padaku?"
Givana mengernyitkan dahi.
"Maafkan aku tentang semalam. Aku tidak membalas pesan-pesanmu. Aku bukannya bermaksud mengacuhkanmu. Aku hanya-"
Givana menghentikan ocehan Alif dengan meletakkan telapak tangannya di mulut pria itu. Di pendengaran Givana, Alif seperti meracau, tatapan mata pria itu tidak mengarah padanya saat bicara. Seperti orang linglung.
Alif yang terdiam membuat Givana menurunkan tangan. Givana memastikan tunangannya itu sadar sepenuhnya sebelum berkata, "Aku memang marah padamu. Tapi tidak masalah. Aku sudah mendengar dari Rey kalau kau harus menghadiri rapat dadakan yang tidak bisa di tunda. Aku menunggumu membalas pesan, sampai aku sendiri khawatir. Namun melihatmu ada disini sekarang, aku langsung senang."
Givana tersenyum. Namun Alif tidak.
Kemudian Givana menyadari sesuatu. "Apa kau baru bangun tidur dan langsung kesini?"
Alif menghela napas kemudian mengangguk lemas. "Aku bermimpi buruk tentangmu."
"Oh ya?"
Alif mengangguk lagi.
"Seburuk apa mimpimu sampai membuatmu langsung ke sini tanpa berpikir mungkin saja aku tidak mau menemuimu dengan kondisimu yang bau dan juga aku yang sedang marah?" Givana mencoba meledek.
"Aku sudah mencuci muka," balas Alif dengan wajah memberengut.
Givana tertawa gemas lalu mencubit pipi Alif keras-keras.
Sambil meringis kesakitan, Alif menurunkan tangannya dengan lembut kemudian menatapnya. "Kau sungguh sudah tidak marah lagi padaku?"
"Hmm ... sungguh."
"Secepat itu?"
"Memangnya selama ini aku bisa marah padamu sampai berapa hari?"
Alif mengingat-ingat. Memang benar, selama mereka menjalin hubungan sampai bertunangan dan sebentar lagi akan menikah, terhitung jarang Givana marah. Paling parah hanya merajuk lalu meminta hal yang bisa membuat marahnya reda. Tentu saja Alif menuruti dengan senang hati.
"Syukurlah." Pria itu merasa lega, memeluknya lagi sekilas.
Saat melepas pelukan, Alif menangkup pipi Givana kemudian menggoyangkan wajah wanita itu ke kanan dan ke kiri. "Kenapa kau sudah terlihat segar?"
Karena posisi mukanya yang dikuasai tangan besar Alif, Givana dengan kesusahan menjawab. "Aku baru saja mandi."
Alif menurunkan tangannya. "Bibi yang membukakan pintu tadi. Dia bilang kau sudah bangun sejak sebelum matahari terbit. Kau sengaja menungguku sejak bangun atau memang karena belum tidur?"
"Mengapa kau berpikir begitu? Aku bangun pagi karena sudah terbiasa. Jadwalku sekarang tidak sampai malam. Tapi mengharuskan bangun pagi."
"Benarkah? Aku pikir kau sangat ingin makan malam bersama sampai membuatmu tidak bisa tidur semalaman."
Givana berdecak. "Tentu saja aku sangat ingin. Lihatlah jadwal kita masing-masing bertambah sibuk sebelum menjelang cuti pernikahan. Tentu aku sangat kecewa. Dan untuk yang satu itu aku masih marah."
"Kenapa seperti itu? Kau bilang sudah memaafkanku," protes Alif.
"Aku memaafkanmu untuk perkara tidak membalas pesan. Tapi untuk makan malam-" Givana menggerakkan jari telunjuknya, "-harus ada ganti."
Alif terlihat pasrah. Ia menatap Givana sungguh-sungguh. "Baiklah. Kau mau apa untuk mengganti kesalahanku yang satu itu?"
Givana pura-pura berpikir. "Aku tidak yakin kau mau menyanggupi permintaanku."
"Akan ku usahakan. Sebutkan saja apa yang kau mau."
"Benar kau akan mengusahakan?"
"Iya."
"Janji?"
Alif mulai curiga sekarang. "Sebutkan saja sayang!"
Givana tersenyum. "Aku mau menghabiskan hari bersamamu-"
"Ya?"
"-jadi aku mau kau mengosongkan jadwal 'apapun' untuk hari ini."
Alif melotot, "Seriously honey? Kau memintaku bolos kerja?"
Givana memberengut. "Jadi kau tidak mau menghabiskan hari bersama-"
"No, bukan begitu." Alif menghela napas, "Bukannya kau tadi bilang ada jadwal pagi hari ini?"
"Itu mudah. Aku akan menghubungi Nuri untuk mengulang kembali jadwalku."
Alif diam sebentar.
Givana dengan tidak sabar menggoyangkan bahunya. "Kenapa? Jadi kau tidak mau?"
"Bukannya tidak mau. Kita kan sedang ngebut kerja untuk cuti pernikahan sebentar lagi. Pekerjaan sedang banyak-banyaknya, Gi."
Givana berdecak sebal. "Bolos dua hari tidak akan membuatmu di pecat Tuan Alif Reynandana yang terhormat!"
"Tapi-"
"Bilang saja jika kau tidak mau!" Givana beranjak dari duduknya yang segera ditahan oleh Alif dengan memegang lengannya. Wanita itu diam-diam mengulum senyum.
"Apa?" tanya Givana pura-pura ketus.
"Baiklah aku mau."
Namun, Givana masih belum puas menggoda Alif. "Aku tidak dengar."
Menghela napas untuk yang kesekian, Alif menangkup pipi Givana dengan lembut. "Aku mau menghabiskan waktu seharian denganmu. Makan, jalan-jalan, belanja. Terserah dirimu. Yang penting hanya kita berdua."
Givana tersenyum lebar. Menghamburkan dirinya kedalam pelukan Alif. "Terima kasih. Aku mencintaimu."
Alif mencium puncak kepalanya sebagai balasan. "Anything for you, honey."
***