Navy menutup pintu kamarnya di sertai suara bantingan yang cukup keras, bahkan mampu membuat orang-orang yang ada di ruang tamu terlonjak kaget mendengarnya.
Navy langsung meluruhkan tubuhnya tatkala pintu kamar telah ia kunci dengan rapat.
Ringisan kecil keluar dari mulutnya, bibir merah muda itu tampak bergetar dengan manik hitamnya yang terlihat berkaca-kaca. Seolah ia tengah menahan rasa sakit yang tengah menghujamnya.
Bagaimana tidak di bilang seperti itu? Lihat saja tangan kiri Navy bahkan kini tengah meremas dada kirinya seolah di dalam sana terdapat rasa sakit yang tak dapat Navy utarakan melalui kata-kata saja. Satu yang Navy pahami, bercerita pun tak akan mempan untuk meredakan rasa sakit yang ia rasakan. Bercerita atau tidak jika rasa sakit di dalam dada kirinya kembali lagi, rasanya akan tetap sama. Sama-sama menyakitkan dan sering kali membuat ia kepayahan.
"Ssh.. bego. Kenapa nih jantung berulah lagi anjir." Gumam Navy disertai umpatan. Posisinya yang semula bersandar di daun pintu langsung berdiri tegak dan dengan langkah terseoknya Navy berjalan ke arah nakas kemudian mulai membuka laci di urutan kedua tempat dimana obat-obatan yang selalu ia sembunyikan dengan rapat berada.
Senyuman miris tak ayal tercipta, kala netra sehitam arang pemuda 16 tahun yang di kenal memiliki semangat membara itu memandang sendu dua pil obat yang baru ia keluarkan dari tabung kecil disana.
"Maaf." Lirih Navy tersenyum tipis. "Maaf karena sudah membohongi kalian Bun, Appa, Bang."
Usai mengucapkan itu, Navy langsung memasukan kedua pil pahit kedalam mulutnya lalu menelannya tanpa bantuan air. Terlampau sering ia meminum obat yang Navy cap sebagai 'obat sialan' membuat lidahnya terasa kebal dengan rasa pahit yang di hantarkan obat itu kala bersentuhan dengan indra pengecapnya.
Setelah merasa jika obat yang baru Navy tenggak turun dari kerongkongan. Navy menjatuhkan tubuhnya ke pinggir ranjang, dengan sesekali tangan lelaki itu mengurut dada kirinya konstan berharap rasa sakit yang masih terasa segera menguar.
Mata Navy menerawang menatap plafon putih kamarnya yang tanpa noda. Sesungging senyuman tipis terlihat di belah bibir Navy.
"Gam, Kev... gue benci pura-pura. Gue pengen sama kalian. Andai, gue ga ngelakuin pengobatan di Jerman terus tinggal beberapa bulan di Tasik. Mungkin gue udah sama kalian 'kan? Atau kalo enggak Agam masih disini bersama gue. Pun dengan lo Kev. Tanpa kalian hidup gue hambar, kalian tau sayur tanpa garam? Ya.. begitulah kehidupan gue tanpa lo berdua."
Navy membersit hidungnya kala merasakan sebuah cairan bening berdesakan ingin keluar dari hidungnya. Mau taro dimana muka ganteng Navy yang udah sebelas duabelas sama Mas Ganteng nanti kalo ada orang yang ngeliat dia ingusan? Bisa berabe entar. Image cool yang ia junjung bawah-bawah sampai ke inti bumi bisa-bisa pupus tak bersisa. Tak bisa begitu, dia tidak ingin orang lain memandangnya sebagai cowok yang ingusan.
Kembali lagi pada Navy yang kini sedang memasukan jari telunjuknya ke dalam hidung guna mencari harta karun yang mati-matian ia sembunyikan namun nyatanya membuat ia tak nyaman karena si harta karunnya berukuran lumayan besar.
"Anjir, gue lagi melow malah nih upil ngeganggu acara sadboy gue." Gerutu Navy menjentikan harta karun yang berhasil ia keluarkan dari hidung lalu membuangnya entah kemana. Navy tidak peduli mau tuh harta karun nempel dimana kek, yang penting harta karun itu sudah hilang dalam pandangan, urusan Navy perihal si harta karun yang mengganggu acara sad nya bisa kelar. Pinter kan Navy? Jelas dong.. dongsaengnya Kim Namjoon di lawan. Sekarang Halu Navy yang ketinggian sedang dalam mode on.
Usai menuntaskan acara Halunya, Navy membuang nafas kasar. Ia menyentil jidat paripurna miliknya sangat pelan. Iya, pelan. Karena kalo kencang di khawatirkan Navy tidak mengingat Hyung jauhnya yang tengah merantau ke Korea muehehehe..
"Anjir... Nav, Nav lo jadi human bisa ga sih serius dikit. Ini lagi sedih juga." gerutu Navy.
Hela nafas kasar terdengar di kamar yang di penuhi pernak-pernik KPOP dan Captain America. Posisi Navy yang semula berbaring diatas ranjang empuknya, ia ubah menjadi duduk di tepian ranjang. Dengan sesekali tangan kanannya meraba Dada kiri yang tidak terasa sakit lagi.
"Huh... Untung lo bandelnya ga lama-lama. Kalo sampai orang-orang rumah tau kalo gue jantungan. Bisa berabe urusannya entar." Dumel Navy yang lagi-lagi Berbicara sendiri.
Ekor mata Navy melirik pigura foto yang memang sudah berada di sampingnya sedari tadi. Tanpa ada niatan untuk mengambil pigura tersebut. Ia hanya memandang hampa benda itu dengan pancaran mata yang menyiratkan duka mendalam.
"Gam, Kev gue bosen hidup di Dunia masa? Pengennya tinggal sama lo berdua di atas. Asli, gue capek nyimpen rahasia ini sendirian. Pengennya udahan gitu. Lo berdua coba tanya malaikat maut kapan kontrak hidup gue di bumi berakhir? Ini jantung makin hari makin lemah anjir. kagak kuat gue lama-lama. Miris 'kan hidup gue? iya semiris cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi gue juga ga bisa bilang ke Ortu gue kalo nyatanya transplantasi jantung yang gue lakuin beberapa tahun lalu ga membuahkan hasil apapun. Iya sih penyakit yang ono udah ga ada di tubuh gue, tapi jantung baru gue malah memberontak gini. Hah.. Untung aja dokter Vizan bisa gue kode-kodein biar ga bilang apapun tentang kebenaran penyakit gue. Kalo sampai iya, udahlah katakan selamat bye-bye pada dunia kebebasan gue." cerocos Navy panjang lebar sembari mengeluarkan keluh kesahnya yang sudah sejak lama ia pendam sendirian.
Segaris senyum tipis terukir. Ketika otaknya mengingat akan suatu hal yang begitu penting. Dan menjadi salah satu alasan ia memainkan drama berpura-pura baik-baik saja ini. "Gam, Sorry karena Bang Vano lo harus ngerelain nyawa lo." cicit Navy menundukan kepala. Seolah di hadapannya berdiri seorang Agam yang tengah memandangnya tajam penuh intimidasi.
"Gue ga bisa di bohongin Gam. Gue tau, kepergian lo yang tiba-tiba disaat gue berjuang mati-matian mempertahankan hidup gue di Jerman. Pasti ada akibatnya. Dan setelah sekian lama gue telusurin, nyatanya alasan di balik kematian lo adalah Bang Vano. Ga heran sih, pantes aja Sagam, Abang lo keliatan banget benci Bang Vano. Tapi yang gue heranin kenapa semua orang seolah nutupin kematian lo dari gue. Mengatakan kalo Lo meninggal gara-gara gagal jantung. Halah.. Bulshit. Mereka pembohong Gam. Jadi jangan salahin gue kalo semisalnya gue juga jadi manusia pembohong."
"Dan lo juga Kev. Hebat banget ya Lo pergi ga bilang-bilang. Katanya mau ngejalanin pengobatan di Amerika supaya penyakit kanker lo sembuh. Tapi apa, bukannya gue denger kabar baik mengenai kesehatan lo, lo malah modar disana. Kalian berdua tuh sahabat seperpopokan gue, tapi kenapa pergi ga ajak-ajak gue sih. Asal kalian tau, gue alone disini woy.. Gue tanpa kalian bagaikan mata tanpa belek. Ga usah tanya hubungannya apa. Gue asal ceplos aja."
"Lag---." Curhatan Navy terhenti saat mendengar ketukan pintu di luar kamarnya. Di susul oleh suara yang Navy hapal betul siapa pemiliknya.
"Nav, keluar! Temen-temen lo udah mau pada pulang tuh." itu Demi yang berteriak. Laki-laki dengan segala kepolosan dan tingkah absurdnya masih setia mengetuk pintu kamar Navy. Jika pintu itu tidak di kunci dari dalam. Mungkin adik kembar Dami ini sudah menyelonong masuk, menggusur sang pemilik kamar layaknya karung beras.
Di tempatnya Navy berdecak sembari merollingkan bola matanya. Ya ampun.. Sesi curhat Navy pada kedua sahabat beda alamnya saja belum selesai apalagi sampai tahap klimaks belum lagi conclusion nya. Tapi, dengan seenak jidat Demi malah mengganggu acara melownya yang jarang itu.
Karena mendengar Ketukan pintu dari luar kamar yang tidak berhenti-henti. Akhirnya Navy mengalah. Ia membuang nafas pelan sembari beranjak dari kasurnya lantas membuka pintu itu.
****