Setelah selesai melakukan kegiatan untuk mengisi kegabutannya tadi. Navy dan Vano pun kembali masuk ke dalam rumah. Bedanya jika Vano langsung pergi ke kamarnya, sedangkan Navy baru saja ia hendak melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Tiba-tiba dari arah belakang, Demi mencekal pergelangan tangan Navy. Membuat bocah berusia enam belas tahun itu menoleh.
"Kenapa?." tanya Navy dengan kening yang mengernyit bingung. Apalagi saat lagi-lagi obsidian anak itu menangkap sorot sendu dari kakak ke empatnya.
Sebelum membalas tanya Navy, Demi menghela nafas kasar mengudarakan rasa sesak yang ia rasakan di dalam Dada.
"Gue mau ngomong sama lo."
"Ohh.." Navy membulatkan mulutnya dengan kepala yang ia anggukan perlahan.
"Ya udah ayok.. Mau ngomong apa?." baru saja Navy hendak mendekati sofa, tapi Demi lagi-lagi menahannya. Tak ayal geraman penuh kekesalan pun keluar dari mulut Navy.
"Lo kenapa sih Bang? Katanya mau ngomong sama gue. Ya udah ngomong sambil duduk napa? Kaki pangeran tampan ini pegel kalo lama-lama berdiri. Emang lo mau hah? Mijitin kaki mulus gue, yang mulusnya cem pantat Bayi." sewot Navy. Dengan bibir yang ia kerucutkan sebal.
Namun selang beberapa detik kemudian. Ia kembali merasa bingung dan aneh. Biasanya nih biasanya, jika Navy mulai narsis. Kakak ke empatnya alias Demi selalu menjadi orang pertama yang kadang mengomentari kenarsisan nya itu. Entah mengoceh lah, atau memasang raut ingin muntah lah. Tapi apa yang di dapat Navy sekarang? bukannya mendengar protesan dari Demi. Ia malah merasakan tangan Demi yang meremat erat pergelangan tangannya. Sedikit ngilu sih, hanya saja sekarang bukan waktunya untuk protes. Karena insting Navy memberi sinyal pada otak pintarnya bahwasanya ada yang tidak beres pada Demi.
Melirik sekilas tangan Demi di tangan kanannya, sebelum akhirnya Navy menatap Demi.
Deg..
Tubuh Navy memaku sebentar, ketika dirinya menangkap genangan air mata di kelopak mata Demi yang siap di jatuhkan. Satu pertanyaan yang menghinggapi Navy sekarang, sebenarnya apa yang terjadi pada Demi? Kenapa tingkahnya sangat aneh sekali? Dan Kalau boleh jujur Navy sedikit takut kalau-kalau alasan di balik keanehan tingkah manusia hyperaktif ini diakibatkan kerasukan setan jahat penunggu rumahnya. Oke, Navy mulai tidak serius sekarang. Otak bobroknya sedang meronta-ronta di dalam untuk segera di pertunjukan. Maka dari itu, karena Navy ingin mengetahui alasan di balik mata Demi yang berkaca-kaca, Navy pun kembali memasang wajah serius.
"Lo mau ngomong apa?." tanya Navy tanpa adanya nada jenaka di suaranya.
Demi membuang nafas pelan. Tanpa menjawab, ia pun menarik tangan Navy dan menuntunnya ke halaman belakang. Setelah memastikan tidak ada orang di sana, Demi segera mengunci pintu kaca yang menghubungkan dapur dengan Taman belakang.
Sepintas ia melihat punggung Dami yang berjalan acuh, keluar dari dapur. Dan hal itu membuat Demi merasa lega.
"Apa?" tanya Navy tak sabaran. Bahkan kakinya bergerak gelisah. Ia baru ingat, jika ia belum menonton MV BTS, kan lama-lama Navy kangen juga sama kakak-kakak haluannya itu.
Meraup wajah letihnya dengan kasar, lalu Demi jatuhkan kedua manik nya menatap mata sekelam malam Navy dengan dalam. Hal itu tentu saja membuat Navy menjadi salah tingkah sendiri.
Navy berdehem pelan menyamarkan suaranya agar tidak terdengar gugup. "L-lo ke-kenapa nat-natap gu-gue kayak gitu. Su-suka lo?" sial!! Kenapa dia jadi tergagap gini sih? Ya ampun.. Mau taro dimana muka setampan Kim Taehyung dan kloningan nya Jeon Sagang ini. Duh.. Malu-maluin umat sekali.
"Jujur sama gue." tak mengindahkan ucapan gagap Navy tadi. Demi melontarkan kata yang sedari tadi ia pendam sendirian. Dan tentu saja perkataan Demi mengundang kerutan di dahi Navy. Jujur? Jujur tentang apa?
Dengan tingkat kekepoan yang tinggi, akhirnya Navy pun menoleh menatap bingung wajah yang mirip dengan Dami.
"Maksud lo?." tanya Navy sedikit memiringkan kepalanya tak mengerti tapi tentu saja ekspresinya berkali-kali lipat lebih serius kali ini.
Demi mengeluarkan dengusannya. Sedikit muak, dengan ke pura-puraan dari adik bungsunya itu. "Tentang semuanya." balas Demi yang terdengar ambigu di telinga Navy.
"Maksud lo apa sih, anjim? Gue kagak paham!! Lo kalo mau ngomong ga usah setengah-setengah di pikir gue cenayang yang bisa pah---."
"---Semua tentang kebohongan lo!! Tentang jantung lo, tentang keinginan lo buat mati, dan tentang darimana lo tau jika Vano terlibat dalam kematian Agam, ahh lebih tepatnya saksi dari kecelakaan yang menimpa temen lo itu."
Glek..
Navy sontak menelan Saliva nya kasar, ketika Demi memotong ucapannya begitu Saja dan mampu membuat Ritme jantungnya berjalan semakin cepat. Bukan rasa sakit yang ia dapatkan, melainkan debaran tak karuan yang entah kenapa membuat Tubuh Navy kaku di tempat. Bahkan untuk sekedar melepaskan kepalan tangannya yang menegang dan saling meremat pun Navy tak mampu, saking terkejutnya ia dengan ucapan Demi yang begitu tiba-tiba. Apalagi ketika otak Navy memutar kembali ucapan Demi, ada tiga kata yang berhasil membuat Navy bertanya-tanya. dan tiga kata itu adalah tiga kata yang Demi ucap penuh penekanan. Seolah disana menegaskan sebuah kebenaran yang tidak pernah terpaparkan.
Dan setelah lama terdiam, Navy pun mengeluarkan hembusan nafas kasarnya. Memejam sebentar, sebelum akhirnya ia menatap Demi. Ada senyum tipis yang tertera di bibir Navy yang dapat Demi tangkap. Rasa ngilu, Demi rasakan di lubuk hatinya, kala melihat senyum tipis yang terkesan miris.
"Jadi lo udah tau semua ya?." gumam Navy pelan sembari menganggukkan kepalanya seolah paham.
"Tadi.. Setelah lo pergi ke kamar lo. Gue ngikutin lo sampai sana, niatnya gue mau nanya tentang perubahan sikap lo yang terlalu mendadak. Tapi gue malah di buat kaget, karena pengakuan lo." jelas Demi tanpa di suruh.
Navy terdiam. Dia tidak membalas ucapan Demi. Karena pikirannya kini tengah terhempas tepat pada perkataannya tadi di kamar.
"Lo denger semuanya?."
Demi mengangguk. Manik kembarnya tampak berkaca-kaca "jadi itu semua bener? Selama ini.."
Hah..
Ucapan Demi terpotong oleh helaan nafas kasar Navy. Navy mengangguk pelan, sembari mengedarkan pandangannya enggan menatap Demi yang tengah memandangnya terluka.
"Kenapa?."
"Apa?."
"Kenapa lo nyembunyiin semua ini. Lo ga tau, seberapa paniknya kita ngeliat lo kesakitan beberapa hari yang lalu. Lo ga tau seberapa khawatirnya kita liat lo sakit. Dan lo ga tau seberapa takutnya kita kehilangan lo hah? lo ga tau seberapa terpukulnya Bunda, Appa, dan ke lima kakak lo, saat kita tau bahwa penyakit sialan itu balik lagi ke tubuh lo?. Tapi... "
Demi menyunggingkan senyum miring. "Kenyataannya penyakit sialan yang kita takutkan ternyata ada yang lebih berbahaya dari monster itu. Dan lo ga bilang sama kita? DI OTAK DANGKAL LO, LO MEMIKIRKAN APA HAH? KITA ITU KELUARGA TAPI KENAPA LO NYEMBUNYIIN SEMUANYA. BODOH." pekik Demi kala kesabarannya sudah di ambang batas. Ia berteriak di akhir kalimatnya sembari menunjuk wajah Navy dengan bengis.
***