Bab Satu : Prom Night

"Sudah lama aku memendam rasa

Merahasiakan cinta yang kupunya

Ingin bebas memujimu

Ingin membuatmu rindu

Ingin melihatmu tersanjung

Pernahkah sekali kau merenung?

Pernahkah sekali kau peka?

Atau mungkin kamu sudah tahu maknanya

Semua ejekan dan amarah artinya cinta

Atau aku salah dalam menyampaikannya?

Aku terlalu malu untuk mengutarakannya

Atau mungkin kamu sudah tahu

Hanya saja pura-pura tidak tahu

Hahaha...,. cinta itu terkadang bikin repot, ya

***

Pintu lift yang berhadapan dengan pintu masuk ke ballroom itu terbuka menampakkan tiga gadis cantik yang tengah mengatur nafas, lelah karena lift di lantai dasar sedang rusak, membuat mereka harus naik tangga baru masuk ke dalam lift di lantai satu dan sekarang mereka sudah tiba di lantai empat.

Gadis yang mengenakan gaun berwarna pink berjalan duluan. Di depan pintu ballroom ada tiga remaja laki-laki. Id card yang mengalung di leher mereka sudah memberi tahu bahwa mereka adala anggota OSIS sekaligus panitia penyelenggara acara prom night ini.

Ketiga gadis yang sudah berdandan bak puteri raja ini mengeluarkan kartu undangan dari dalam dompetnya masing-masing, sebagai bukti bahwa mereka termasuk murid dari sekolah yang mengadakan acara prom night di hotel berbintang empat ini.

"Maya, kamu datang terlambat," tegur salah satu remaja yang sedang duduk di kursi sambil menggoyang-goyangkan salah satu kakinya yang ia lipat dan taruh ke atas kakinya yang satu lagi.

"Iya. Aku tahu, Bagas," sahut gadis bergaun pink, pemilik nama Maya.

"Kalau tahu, kenapa masih datang terlambat?" Tanya Bagas sambil menyilang kedua tangannya di dada.

Maya memutar bola matanya, kesal karena ia harus berurusan dengan Bagas, salah satu murid popular yang terkenal akan kepintaran, ketampanan dan juga kenakalannya di sekolah. Bagi Maya, Bagas tak lebih dari seorang pria yang sangat menyebalkan. Walaupun dulu, waktu Maya duduk di kelas sepuluh SMA ia sempat menyukai Bagas. Namun sekarang ia menyesalinya. Kenapa dia bisa suka dengan pria menyebalkan seperti Bagas?

"Maya perlu waktu untuk berdandan biar terlihat cantik malam ini, terus dapat gebetan baru. Biar kamu nyesal karena dulu perna nyakitin dia!" ketus gadis bergaun hitam.

"Cih!" Bagas hanya berdecih lalu membuang pandangannya. Ekspresi wajahnya berubah menjadi sangat serius.

"Sudah lah Rissa, tidak usah diladen orang seperti dia," ucap gadis bergaun biru langit yang akhirnya angkat bicara juga.

"Tapi Alisa, orang seperti dia ini,"

Alisa tidak memperdulikan ucapan Rissa, ia berjalan hendak membuka pintu ballroom, namun dihadang oleh anak laki-laki gendut dan berkulit sawo matang.

"Kata Bagas, kalian nggak boleh masuk!" Kata anak laki-laki bertubuh gendut itu.

"Gas," Maya memelas sambil memandang ke arah Bagas yang terlihat tak peduli.

"Mending sekarang kamu bukaan pintu ballroom ini untuk kami. Kalau nggak,"

"Kalau nggk, apa?" Bagas memotong ucapan Maya.

"Kalau nggak, aku akan telepon wali kelas dan laporin kamu dan kedua anak buahmu ini karena sudah menyalahkan jabatan sebagai panitia. Kamu lupa? aku adalah salah satu murid yang menyumbang piala dibidang akademik dan mendapat gelar sebagai siswi teladan yang akan naik ke atas mimbar untuk menyampaikan pesan dan kesan selama tiga tahun sekolah mewakili angkatan kita. Kami sudah terlambat, dan kami makin terlambat karena ulahmu. Kalau sampai guru-guru kecewa maka aku akan melaporkan kamu ke dewan guru supaya ijazah kamu di tahan. Sepertinya asik juga telat daftar kuliah karena nila rapot dan surat keterangan lulus di tahan," ancam Alisa.

"Cih! Beraninya ngancam!" ucap Bagas sambil menurunkan kakinya lalu memberi perintah, "Hendri! Buka pintunya!"

"Baik bos!"

Hendri membuka pintu ballroom.

"Aku juga takut, sih sama ancaman kak Alisa hehe…, Soalnya pernah ada anak nakal yang dia ancam dan benar-benar dilaporin ke kepala sekolah," ucap Hendri.

Hendri, nama anak bertubuh gendut dan memiliki kulit sawo matang sedikit membungkukkan tubuhnya sambil berkata, "Silahkan masuk para putri cantik."

Alisa berjalan palin depan, di susul dengan Maya lalu terakhir Rissa.

"Hendri, kamu itu adik kelas, baru mau naik kelas sebelas. Belajar yang bener jangan mau jadi anak buah kakak kelas lagi," ucap Rissa memberi nasehat.

"Siap! Heheh…," kata Hendri sambil cengengesan.

***

Maya dan Rissa duduk di kursi yang melingkari satu meja bundar. Sementara Alisa, ketika mereka masuk, nama Alisa sudah dipanggil untuk yang ketiga kalinya. Alisa segera berjalan naik ke atas mimbar untuk menyampaikan kesan dan pesan selama ia menjadi siswi di sekolah tempat ia menimba ilmu. Alisa juga mendapatkan selempang sebagai murid terbaik. Setelah selesai menyampaikan pidatonya, Alisa berjalan menghampiri dua sahabatnya, Maya dan Rissa.

Alisa terlihat sedang mencari seseorang di dalam ruangan ini. Berkali-kali ia berdiri, lalu kembali duduk. Namun ia terus mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang sedang ia cari.

"Nyariin siapa?" Tanya Rissa.

"Eh, hehe…," Alisa hanya menyengir kuda.

"Nyariin si Pembalap ya?" Tanya Maya.

Alisa menjawab dengan menyengir kuda lagi.

"Dia beneran nggak datang?" Tanya Maya lagi.

Alisa menaikkan kedua bahunya, "Entahlah."

"Aurin, teman kelasku yang jadi panita di acara ini bilang kalau dia tidak ada mengisi list siswa yang ikut hadir ke acara ini. Tapi aku tetap berpikir positive, mungkin saja dia berubah pikiran sangat tengah malam lalu pergi ke rumah Aurin untuk mengambil undangannya. Tapi sepertinya dia benar-benar tidak datang," ucap Alisa diakhiri dengan sebuah senyuman tipis.

"Lis, aku penasaran bagaimana ceritanya kamu bisa mengenal dia, bagaimana kamu bisa mengagumi dia, pria yang kamu juluki sebagai si Pembalap itu?"

"Hehehe…, Maya tau segalanya karena dia saksinya," kata Alisa.

"Tidak. Lebih seru jika kamu sendiri yang menceritakannya," ucap Rissa.

"Ada Maya di sini, dia pasti bosan mendengar cerita tentang si Pembalap hahaha…," kata Alisa mencari alasan.

"Ya, aku sudah terbiasa mendengarmu cerita tentang si Pembalap. Jadi tidak apa-apa jika kamu mau menceritakan ke Rissa," kata Maya.

"Hem…, baiklah aku akan cerita," ucap Alisa mulai bercerita, "Dimulai tiga tahun yang lalu ketika pertama kalinya aku pulang sekolah berjalan kaki bersama Maya."

***