AGONY 3

Pelayan melepaskan ikatan Daisy dan mengeluarkannya dari ruang bawah tanah, ruang yang digunakan untuk memenjarakan dan menghukum para tawanan. Tapi kini ruang bawah tanah itu hanya terisi oleh Daisy. Secercah harapan muncul di benak Daisy.

Udara segar menyambut gadis itu namun tidak lama, Daisy kembali diseret ke dalam istana. Pelayan membersihkan tubuh Daisy dengan air dan wewangian. Lalu meriasnya tanpa menjawab satu pertanyaan pun darinya. Tubuh Daisy yang penuh luka diobati hingga sedikit mereda, makanan dan minuman dihidangkan di hadapannya untuk memulihkan tenaganya. Daisy diminta memulihkan tenaganya sebelum Pangeran Carolus kembali ke istana.

Daisy yakin Carolus sudah tahu bahwa Ia bukanlah gadis pengkhianat yang membantu pergerakan Baron. Dirinya justru tidak tahu apapun tentang hal itu. Kini Daisy yakin Carolus sudah sadar akan kekeliruannya.

Namun anehnya malam itu tak ada satu orang pun yang bisa Daisy ajak bicara, bahkan mereka terkesan menghindari percakapan dengan Daisy. Setelah makan malam dalam kesendirian di ruang yang terlalu luas, seseorang menutup mata Daisy dengan selendang sutra. Orang itu meminta Daisy agar tidak membuka penutup mata itu apapun yang terjadi.

Daisy hanya boleh menunggu dalam posisi duduk hingga waktu yang tidak Ia ketahui. Derap langkah kaki kuda terdengar sayup-sayup di tengah hening malam. Pelayan menuntun Daisy ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan aroma bunga.

"Jangan mengeluarkan suara apapun, Daisy. Anggap saja dirimu adalah benda mati," ucap seseorang sembari mengatur posisi Daisy agar berbaring.

Daisy hanya bisa mengikuti titah itu. Carolus pun masuk ke kamarnya yang sangat luas. Seperti yang Ia titahkan, pelayan membawa Daisy ke ranjangnya yang berbalut kain sutera. Gadis itu berbaring tenang di ranjang Sang Pangeran. Gaun hijau zamrud berkilat-kilat membungkus tubuh nan cantik berkulit kuning pucat. Rambutnya yang panjang dan bergelombang digerai memenuhi bantal bersama dengan hiasan bunga melati yang harum. Aroma buah zaitun bersatu padu dengan harum melati menyambut kedatangan Sang Pangeran. Daisy berbaring tenang di kasur besar dan mewah.

Meski indra penglihatannya tertutup rapat oleh kain satin yang lembut, Daisy tahu betul bahwa yang datang adalah Pangeran Carolus, kekasih masa kecilnya. Sentuhan lembut mendarat di pipinya yang sudah dihias dengan bedak wangi oleh para pelayan. Kecupan kerinduan menyusul di dahinya. Sentuhan tangan Carolus yang hangat dan menenangkan mengobati Daisy akan kerinduan yang teramat sangat setelah insiden salah paham. 

Daisy tak berkata apapun hingga akhirnya saat Carolus mulai menyentuhnya Ia berseru,

"Tuan mencintaiku, Tuan tidak bisa melakukan ini semua," ucap Daisy tiba-tiba. 

"Apa?! Apa maksudmu?" Carolus terkejut mendengar interupsi gadis di bawahnya.

Ritual yang seharusnya Ia laksanakan malam itu terhenti bahkan saat Ia belum memulainya. Gadis itu melontarkan kalimat yang sangat tidak Ia sangka. Daisy tahu bahwa Carolus sangat berambisi untuk menembus gerbang lereng gunung itu dan bermaksud menggunakan Daisy sebagai alat ritual.

"Persyaratan utama dari ritual itu adalah Tuan harus tidur dengan wanita yang tidak Tuan inginkan. Sedangkan aku adalah wanita yang Tuan cintai sejak dulu," ujar Daisy dengan lugas.

"Itu dulu sebelum Kau menjadi pengkhianat!" Seru Carolus murka.

"Percayalah, Tuan tidak perlu melakukan itu. Barbarous hanya dikelabui oleh makhluk-makhluk kegelapan itu," ucap Daisy. 

"Bagaimana, bagaimana Kau tahu semuanya?" Carolus tidak menyangka gadis di depannya mengatakan itu. Pikirannya menuju Barbarous dan sebersit kecurigaan hinggap padanya bahwa mereka berdua bersekongkol.

"Aku bahkan tahu bagaimana caranya membuka pintu gerbang itu," ucap Daisy.

Carolus sangat tertarik dengan apa yang dikatakan Daisy. Namun wajah Daisy seketika memucat. Ia mengetahui segala hal yang tidak bisa diketahui oleh orang lain. Ia menyimpan kemampuan langka itu karena takut akan terjadi malapetaka.

Kakek Carolus sengaja menyimpan senjatanya di lereng gunung nun jauh dari istananya karena ramalannya yang menakutkan. Suatu hari, negeri ini akan merdeka namun dipenuhi oleh orang-orang rakus, para konglomerat kikir terhadap sesamanya, anak-anak menjadi perusak lingkungan, pemuda-pemuda mabuk setiap hari, perempuan-perempuan menjadi pelacur, laki-laki suka berkelahi dan mengundi nasib, para anggota keluarga kerajaan berebut menempati tahta tertinggi.

"Katakan bagaimana caranya, Daisy!" Paksa Carolus. 

"Jika Tuan membukanya, maka Tuan akan kehilangan orang-orang yang Tuan sayangi. Tuan akan kehilangan semua keluarga inti kerajaan ini bahkan nyawa Tuan sendiri," ucap Daisy.

Carolus membelalakkan netranya mendengar jawaban Daisy. Nafasnya memburu. 

"Aku tahu Maharaja Abraham, Kakek Tuan sengaja menyimpannya di lereng gunung itu dahulu kala karena sudah mendapat petunjuk itu. Aku juga tahu di mana Maharaja menyimpan kunci itu," ucap Daisy.

"Selamanya tidak akan terbuka oleh seorang pun kecuali terbuka dengan sendirinya," lanjut Daisy. Carolus menyimak dengan saksama.

"Kapan itu terjadi?" Tanya Carolus tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.

"Jika hanya jika hutang budi orangtua Tuan terbayar oleh keturunan langsung Tuan. Raja Gabriel pernah meminjam kuda milik seorang petani dan lupa untuk dikembalikan, itu terjadi di puncak kekalahan saat negeri ini diserang oleh negeri jiran waktu itu," ucap Daisy. 

Carolus menghela nafas, seberapa pentingkah seorang petani dibanding Sang Raja yang memimpin pasukan perang?

"Petani itu memiliki anak-anak yang sangat luhur budinya, dididik dengan sepenuh hati oleh keluarga petani tersebut agar menjadi anak-anak yang membawa kesejahteraan negeri ini," ujar Daisy.

"Kelak, salah satu cucu petani itu akan menjadi cucu menantu Tuan Pangeran," ucap Daisy mengakhiri ceritanya.

"Daisy, bagaimana bisa Kau tahu semua ini?" Carolus mengingat pertanyaannya yang tertunda.

"Aku memiliki kemampuan membaca situasi yang berbeda dimensi, Tuan," ucap Daisy membuka rahasianya selama ini. Daisy menceritakan bahwa semenjak Ia kehilangan semua keluarga dan rumahnya, Ia seolah melihat mereka semua. Di mata Daisy mereka semua masih hidup. Awalnya Ia tidak percaya dengan perbedaan yang terjadi begitu saja padanya. Namun kian lama kian terbiasa. Kemampuan itu diwariskan oleh neneknya khusus untuk Daisy. 

"Tentang benda pusaka itu, apa Kau tahu?" Tanya Carolus. Daisy mengangguk.

"Tahu. Bukan aku pelakunya, Tuan," jawab Daisy. 

"Kalau begitu, siapa?"

"Aku tidak akan mengatakannya jika hal ini hanya akan menuai pertengkaran keluarga kerajaan," ucap Daisy. 

Carolus terperanjat dengan jawaban Daisy kali ini. 

"Itukah sebabnya Kau diam saja dan membiarkan dirimu menerima hukuman?" Tanya Carolus dengan geram. Daisy hanya tersenyum mendengarnya.

"Katakan siapa, Daisy?" Carolus mengulangi pertanyaannya. 

Daisy tidak membuka mulut meski Carolus berteriak-teriak kepadanya hingga beberapa pelayan istana merasa takut. Janji kecil Daisy agar Carolus tetap menyayangi saudara saudarinya di istana. Tapi, Carolus justru berkata lain.

"Kalau Kau tidak mengatakannya, aku akan memusuhi semua saudaraku, Daisy," ancam Carolus.

"Oh, itu adalah keputusan yang keji, Tuan," jawab Daisy tertawa. Carolus sangat mudah untuk Ia pengaruhi.

"Kalau begitu cepat katakan," Carolus menarik lengan Daisy yang hendak meninggalkan ranjang.

"Ia menyukai gerhana matahari, itu salah satu cirinya yang bisa kubaca," jawab Daisy. Carolus mengangguk-angguk berpikir keras siapa di antara pangeran dan putri yang menyukai gerhana matahari.

***