Chapter 1

Sore itu, aku habiskan waktu dengan bermain sepeda di sekitar kompleks perumahan Nusa Indah yang tampak lengang. Perumahan Nusa Indah berada disudut kota Bandung. Kemarin kami sekeluarga baru saja pindah ke rumah baru yang berada di blok B di kompleks ini. Kami pindah karena papa di pindah tugaskan ke kota Bandung untuk mengurus kantor cabang perusahaan yang baru saja dibuka. Jadi kami terpaksa meninggalkan kota Jakarta untuk pindah ke kota ini. Meskipun udara kota ini jauh lebih bersih dibanding Jakarta, sejujurnya aku merasa masih lebih baik tinggal di kota kelahiranku itu.

Aku melajukan sepeda dengan santai. Di ujung kompleks blok C yang berbatasan dengan blok D tampak sebuah lapangan basket dengan beberapa ayunan di sudut dan sebuah warung kecil di pinggir lapangan.

Aku berhenti sebentar dan memperhatikan seorang cowok yang sedang asik mendrible bola dan memasukkannya kedalam ring. Wajah cowok itu tampak serius. Entah kenapa aku jadi terkesima melihatnya. Saking terkesimanya aku tidak melihat bola basket yang besar itu terbang melayang ke arahku dan mendarat dengan sukses di kepalaku.

Brukk...

Aku terjatuh bersama sepedaku.

Aduh, kepalaku terasa pening dan mataku terasa berkunang-kunang.

Aku berusaha untuk bangkit tapi tidak bisa. Untuk sejenak aku duduk ketika kulihat seseorang berjalan ke arahku. Bukannya menolongku, orang itu malah memungut bola basket yang menghajar wajahku. Ketika kesadaranku pulih, wajah orang itu tampak jelas. Cowok yang tadi bermain basket! Dia berjalan ngeloyor hendak kembali ke lapangan. Dan tiba-tiba saja aku merasa marah. Bisa-bisanya cowok itu tidak menolongku, padahal aku jatuh karena bola cowok itu juga. Sangat keterlaluan.

Setelah kembali berdiri, aku memanggilnya.

"Hei!!" teriakku. Cowok itu berbalik dan menatapku tanpa ekspresi.

"Lo ngomong sama gue?" tanyanya polos. Duh, ingin sekali ku cakar wajah itu. Meskipun wajahnya lumayan cakep yang bisa membuatku terpesona, tapi cowok ini sungguh tidak sopan.

"Bola lo itu kena muka gue. Ga sopan banget yah elo, udah liat gue jatuh bukannya di tolong," kataku sambil berkacak pinggang.

"Jadi lo mau di tolongin?" tanyanya cuek.

Aku melongo. Ini cowok bego atau polos sih?

"Lo kan bisa berdiri sendiri. Kenapa mesti gue tolongin? katanya sembari melanjutkan mendrible bolanya. Kecuali elo itu nenek-nenek yang ga bisa bangun sendiri, mungkin gue akan nolong lo. Lagipula lo juga ga kenapa-kenapa."

Wajahku merengut. Rasanya ingin sekali kudamprat bocah ini.

"Oke-oke, gue emang ga perlu lo tolongin. Tapi minimal lo minta maaf ke gue karena udah bikin gue jatuh," kataku tidak mau kalah.

Cowok itu berhenti sejenak bermain basket. Dia menatapku.

"Bukan gue yang ngelempar bola gue ke elo. Itu salah lo sendiri malah berhenti di situ," katanya cuek.

"Gue ga mau tau. Lo mesti minta maaf dan ganti rugi kerusakan sepeda gue dan kaki gue yang lecet," kataku tidak sabar setengah berteriak. Damn, cowok ini sungguh menyebalkan.

Entah dia yang benar-benar tidak mengerti apa yang aku katakan atau memang dia hanya pura-pura polos.

Dia menghela napas.

"Ayo, lo minta maaf ke dia," kata cowok itu membuatku bingung. Dan kulihat dia komat kamit bicara dengan bolanya.

"Kata bola gue, dia minta maaf karena udah kena muka elo. Cuma karena dia ga punya duit, jadi ga bisa ganti rugi kerusakan sepeda elo," kata cowok itu santai. Selesai bicara begitu dia kembali meneruskan bermain basket. Aku terperangah kaget. Butuh beberapa detik sampai kekagetanku hilang. Setelah kekagetanku benar-benar hilang, aku mengambil kesimpulan kalau cowok ini sudah sinting.

Rasanya aku hampir gila. Daripada nanti cowok ini aku hajar, aku memutuskan untuk pergi dari sana dan berjanji sampai kapanpun aku tidak akan pernah ke lapangan itu lagi.

Melihatku yang kembali mengayuh sepedaku menjauh, cowok itu tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

***

Ku tuntun sepedaku yang sedikit baret di bagian body-nya dan stang yang sedikit bengkok. Mama sedang menyiram kumpulan tanaman mawar kesayangannya dihalaman depan. Perabotan hampir selesai dibereskan dan rumahku sudah hampir rapi.

"Ma," sapaku lemas.

Mama menoleh menyambutku dan mengerutkan keningnya ketika melihat kakiku yang lecet dan mengeluarkan sedikit darah.

"Ya ampun, Sasha. Kakimu kenapa?" Tanya mama yang segera melepaskan selang air dan menghampiriku.

"Itu, anu tadi aku terjatuh," kataku ragu.

"Jatuh? Kamu sudah umur berapa? Masa sudah sebesar ini, naik sepeda saja jatuh," kata mama.

"Yah, aku tidak melihat lubang tadi," kataku sekenanya.

Mama geleng-geleng kepala dan segera membawaku kedalam untuk membersihkan luka di dengkulku.

Dalam hati aku merutuk habis-habisan cowok itu. Aku tidak pernah berbohong sekalipun kepada mama, kali ini aku berbohong hanya untuk menolong cowok itu. Sebab kalau mama tahu cerita yang sebenarnya, habislah cowok itu.

"Nah sudah selesai," kata mama membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum berterima kasih.

Mama menatapku. "Oh ya, nanti sore, kita berkunjung ke tetangga depan rumah, ya. Kamu harus ikut sama mama".

Aku menatap mama. Tidak biasanya mama berkunjung ke tetangga.

"Karena kita baru pindah, jadi kita harus menyapa tetangga baru. Kemarin kan kita tidak sempat," kata mama seakan bisa membaca pikiranku.

Aku hanya mengangguk. Sejujurnya, aku kurang suka bergaul. Tetapi kalau hanya menyapa, sepertinya tidak masalah. Dan aku harap cowok tadi rumahnya berada jauh dari blok rumahku berada sehingga kami tidak perlu bertemu lagi.

***

Mama menekan bel didepan rumah bercat biru yang tampak lengang. Rumah itu berada persis didepan rumahku. Kata mama, rumah ini yang belum didatangi oleh mama karena pemiliknya tidak ada. Menurut tetangga disekitar situ, pemilik rumahnya memang selalu tidak berada dirumah dipagi hari karena bekerja.

Seorang wanita melongokkan kepala dari balik pintu yang dibuka sedikit.

"Siapa, ya?" tanyanya heran. Tidak biasa-biasanya ada tamu datang di sore hari seperti ini.

"Permisi. Perkenalkan saya penghuni baru rumah depan. Kami baru pindah tadi pagi. Nama saya Dania," kata mama ramah setelah wanita itu membuka pintu gerbangnya.

"Oh, penghuni baru rumah depan, ya. Saya Margaretha," kata wanita itu. Senyumnya mengembang. Tante Margaretha mempersilakan kami berdua masuk kerumahnya.

Ku tatap halaman rumah ini, ada sebuah taman kecil yang cukup terawat dengan beberapa pot-pot bunga. Sebuah ayunan yang tampak berdebu berdiri kokoh di taman kecil itu. Aku berpendapat rumah ini cukup rapi, hanya saja cat rumahnya sudah banyak yang terkelupas.

"Apa dia putri anda?" tanya tante Margaretha tiba-tiba.

"Iya. Dia putriku, Sasha. Putri satu-satunya," kata mama. Aku menoleh lalu tersenyum.

"Dimana anak-anak anda?" Tanya mama.

"Ah, putriku belum pulang bimbel, kalau putraku, biasanya jam segini dia sudah pulang," kata tante Margaretha sambil melongokkan kepalanya ke arah gerbang.

Tidak lama kemudian, muncul sesosok cowok yang berjalan masuk ke halaman rumah tante Margaretha sambil menuntun sepeda. Cowok itu juga menenteng bola basket dan bajunya basah karena keringat.

Hampir aku terlonjak, cowok itu, cowok sama yang berada dilapangan basket tadi. Dan bolanya itu, bola sial yang mengenai wajahku.

Aku berharap aku hanya berhalusinasi dan berharap juga cowok ini salah rumah, tetapi sepertinya harapanku tidak terkabul karena tante Margaretha berkata pada mama kalau cowok ini adalah putranya.

"Itu dia putraku," kata tante Margaretha tersenyum.

Cowok itu tampak tidak peduli dan terus melangkah masuk kedalam rumah. Entah dia sadar ada tamu dirumahnya atau tidak.

"Felix," tante Margaretha berkata tajam. Cowok itu berhenti. Ternyata nama cowok itu Felix.

"Ada apa?" tanyanya tanpa menoleh.

"Ini ada tamu, ada tante Dania dan putrinya. Ayo, kamu sapa mereka," kata tante Margaretha.

Felix memutar bola matanya, dan melirik kami tajam.

"Hai," sapanya pendek lalu segera berlalu kedalam.

Aku dan mama melongo.

Rasa kesal yang tadi sempat hilang tiba-tiba saja muncul kembali. Bisa-bisanya dia memperlakukan tamu seperti itu. Aku benar-benar tidak terima atas ketidaksopanan dia.

"Anu, maaf atas ketidak sopanannya, bu Dania dan Sasha. Dia putraku, Felix. Dia memang begitu," kata tante Margaretha tampak merasa bersalah.

Mama tertawa lalu berkata tidak apa-apa. Padahal aku tahu mama-pun kesal dengan cowok tidak sopan itu.

Setelah beberapa lama, kami-pun pamit pulang. Dan seperti yang ku duga sebelumnya, mama memaki Felix sepanjang jalan.

***

Pagi ini, aku mulai bersekolah kembali. Papa mendaftarkanku di sebuah sekolah swasta, SMA Indah Persada. Sesuai namanya, sekolah ini memang indah, ada banyak sekali taman disekolah ini, dan semuanya penuh bunga.

Hari pertama bersekolah disekolah baru, aku diantar papa sampai didepan gerbang.

"Jangan nakal yah, Sha," kata papa yang nyengir sambil tangannya mengacak-acak rambutku yang sudah ku kuncir rapi.

"Memangnya aku ini masih bocah," kataku cemberut. Papa hanya tertawa lalu pamit pergi ke kantornya.

Ku susuri koridor sekolah yang tampak penuh dengan murid-murid berseragam putih abu-abu. Banyak di antara mereka memperhatikanku, dan rata-rata mereka adalah siswa cowok. Aku berjalan dengan perasaan risih, dan berharap segera menemukan ruang kepsek.

Untung saja aku melihat papan hitam bertuliskan ruang kepsek di ujung koridor. Aku memutuskan untuk segera masuk dan menemui pak Kepsek.

Seorang pria paruh baya sedikit berjanggut dan berambut penuh uban menyambutku dengan tersenyum.

"Sasha?" Tanya beliau. Aku hanya mengangguk. Setelah memperkenalkan diri dan memberitahu tentang sekolah ini, pak Kepsek mengantarku ke ruang guru untuk menemui guru wali kelasku yang baru.

Ruang guru berada beberapa kelas dari ruang kepsek, dan ruang itu penuh dengan guru-guru yang sedang sibuk mempersiapkan data untuk pelajaran hari ini, namun ada pula yang masih sibuk sarapan.

"Bu Dian," panggil pak Kepsek pada seorang wanita berkacamata dan rambutnya di sanggul. Wanita itu sedang mengisi buku absen guru dan mendongak menatap kami.

"Ah, pak Kepsek. Ini murid baru itu?" Tanya Bu Dian. Pak Kepsek mengangguk.

"Namanya Sasha Dianita," kata beliau. Aku menatap bu Dian dan mengangguk. Beberapa pasang mata memperhatikanku yang kemudian duduk didepan meja Bu Dian. Sepertinya Bu Dian ingin mengajukan beberapa pertanyaan padaku.

Tiba-tiba terdengar suara membentak dari arah meja yang tidak jauh dari meja Bu Dian. Tampak seorang guru laki-laki sedang memarahi seorang murid cowok. Murid cowok itu duduk membelakangiku sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Kenapa kau masih tidak mau mengaku juga? Kaukan yang merusak pintu pagar belakang sekolah?!" suara guru laki-laki itu hampir habis karena berteriak.

"Saya tidak melakukannya," jawab murid cowok itu tenang dan datar.

Guru laki-laki itu tampak tidak sabar. Tangannya mengepal erat.

"Ayolah, kau mengaku saja. Banyak saksi yang melihatmu merusak pagar. Bapak tahu kau anak yang baik. Jadi sebaiknya kau mengaku sebelum bapak memberikan hukuman padamu!!" kata guru itu.

"Saksi? Siapa yang melihat saya merusak pagar?" Tanya cowok itu, masih dengan nada datar.

Aku mendengarkan baik-baik pembicaraan mereka. Meskipun bel sudah berbunyi sekitar 5 menit yang lalu, tapi mereka tampak masih berdebat tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Sementara Bu Dian hanya geleng-geleng kepala saja mendengarkan mereka. Tampaknya murid cowok ini adalah salah satu murid bermasalah disekolah.

"Bapak tidak bisa menyebutkan nama mereka. Tetapi mereka melihatmu yang merusak pagar. Kau tahu tidak, gara-gara ulahmu pagar itu harus di perbaiki dan biayanya tidak murah," kata guru laki-laki itu yang belakangan ku tahu namanya adalah Pak Yudi, salah satu guru BP killer di SMA ini.

"Bukan saya yang merusaknya. Terserah bapak mau percaya atau tidak. Jika memang tidak percaya, silakan berikan hukuman apa saja buat saya," kata cowok itu lugas. Nada suaranya terdengar sangat tenang dan terkesan cuek.

"Nah, itu membuktikan bahwa kau yang bersalah. Buktinya kau mau kuberi hukuman," kata pak Yudi merasa menang.

"Itu bukan bukti. Tetapi karena bapak tidak bisa menemukan bukti yang cukup kuat untuk menyalahkan saya jadi bapak menjadikannya alasan untuk menghukum saya. Meskipun bukan saya yang bersalah saya akan melakukan hukumannya. Saya melakukan ini biar bapak puas," kata cowok itu lalu berdiri.

"Saya akan mengepel koridor lantai 1," katanya lalu meninggalkan Pak Yudi yang melongo.

Wajah pak Yudi merah padam. "Aish, dasar bocah tengik," umpat Pak Yudi.

Sesaat sebelum cowok itu meninggalkan ruang guru, aku bisa melihat wajahnya, dan meskipun cowok itu mengenakan kacamata, aku bisa mengenali wajahnya, itu Felix, si cowok brengsek yang tinggal didepan rumahku.

Tak lama Felix meninggalkan ruang guru, bu Dian mengajakku untuk ke kelas dan mulai pelajaran hari pertama.

***

Aku mendapatkan teman baru disekolah ini, namanya Maharani atau orang-orang biasa memanggilnya Rani. Kami duduk sebangku dan dia aku daulat untuk jadi sahabatku karena aku memang belum mengenal siapapun disekolah ini. Istirahat siang itu, Rani mengajakku untuk ke kantin. Dan kebetulan aku memang sedang lapar.

Ketika ku lewati taman samping sekolah, bisa ku lihat, Felix sedang duduk sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Di sebelahnya ada sebotol air mineral dingin yang sudah hampir habis dan bajunya juga basah karena keringat.

"Itu si Felix. Kayaknya dia abis kena hukuman lagi, deh," bisik Rani padaku.

"Siapa itu Felix?" aku bertanya pura-pura tidak mengenalnya.

"Tuh, cowok yang lagi duduk disana. Dia anak kelas 2-B. Dia anak bermasalah disekolah ini," kata Rani.

Benar dugaanku, Felix memang anak sinting yang bermasalah di sekolah. Pantas saja tingkahnya dirumah sinting begitu. Kenapa aku bisa masuk sekolah yang sama dengannya? Apa ini sebuah kebetulan?

Dari jauh beberapa orang gadis mendatangi Felix. Tangan gadis-gadis itu penuh dengan jus kaleng dan beberapa bungkus keripik.

"Felix, ini untukmu," kata gadis-gadis itu. Selesai berkata begitu mereka segera pergi sambil tersenyum-senyum.

Aku sedikit heran.

"Mereka ngapain?" tanyaku.

Rani hanya tertawa. "Mereka lagi ngasih makanan buat Felix. Mereka itu fansnya."

Aku mengangkat alis.

"Fans?" tanyaku keheranan.

"Yah, meskipun sedikit bermasalah dan sering bertengkar dengan guru. Felix salah satu idola disini," kata Rani menjelaskan.

Aku mendengus dan tidak habis pikir. Felix'kan cowok cuek dan tidak waras. Bisa-bisanya banyak gadis yang suka padanya.

"Ada apa?" Tanya Rani. Dia menyadari kalau aku terus memperhatikan Felix yang masih sibuk mengibas-ngibaskan tangannya kegerahan.

"Jangan-jangan lo naksir Felix juga?" kata Rani menggoda.

Aku mendelik. Mana mungkin aku naksir cowok gila itu.

"Jangan berharap gue naksir cowok sinting itu," kataku kesal.

Rani tertawa. "Guekan hanya bercanda. Ayo ke kantin," katanya. Kami-pun segera berjalan menuju kantin dan meninggalkan Felix yang sedari tadi rupanya mendengarkan apa yang kami bicarakan. Padahal jarak Sasha dan Rani berdiri cukup jauh dari jangkauan pendengarannya.

"Siapa juga yang berharap di taksir sama elo," gumamnya. Dia lalu menguap dan memejamkan matanya. Dia memutuskan untuk membolos jam pelajaran berikutnya. Badannya terasa pegal dan lengket karena habis mengepel koridor lantai 1. Sehabis itu, pak Yudi menemuinya dan menambahkan hukuman yaitu membantu pak Salim, penjaga sekolah membetulkan pintu belakang sekolah. Akhirnya pintu itu di ganti dengan pintu dari besi, bukan kayu lagi.

Felix tahu, bahwa dia di fitnah, tetapi dia tidak mau terlalu ambil pusing. Selama itu tidak membahayakan dirinya, dia tidak akan bertindak. Toh, Tuhan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah.

Felix memejamkan mata dan membiarkan angin sepoi-sepoi membawanya ke alam mimpi.