Night Terror

Aku terbangun dari tidurku dangan napas yang tersengal. Oh, mimpi itu lagi! Aku segera mengambil buku diaryku yang ada di bawah bantal beserta pensilnya dan membuat garis miring untuk menggabungkan ke empat garis vertikal yang sejajar. Aku menghela napas menatap garis-garis yang sama dalam buku diaryku, lalu dengan tangan bergetar aku menuliskan sebuah angka di sudut bawah lembarnya.

3650. Angka yang tak akan terbesit dipikiran siapapun. Siapa juga manusia normal yang akan menghitung mimpinya hingga sebanyak itu? Mungkin kalian sudah bisa menebaknya. Aku menghitung mimpiku bukan tanpa sebab. Aku tahu ada yang tidak beres dengan diriku. Entah mengapa sejak umurku 5 tahun aku terus memimpikan kejadian-kejadian aneh di luar nalar. Seperti penyihir, siluman, hutan yang lebat, makhluk-makhluk aneh yang hanya bisa kalian temukan di buku mythology dan masih banyak lagi.

Seperti halnya anak kecil, dahulu aku begitu percaya dengan semua itu, bahkan membeli beberapa buku mythologi untuk sekedar mempelajarinya. Seiring berjalannya waktu, aku tahu mythology hanyalah mitos yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya maupun keberadaannya, namun mimpiku tidak kunjung berubah. Bahkan seakan menjadi cerita bersambung dalam kehidupanku yang lain. Seakan aku memliki 2 sisi kehidupan.

Aku bahkan sempat tidak bisa membedakan yang mana yang nyata dan sekedar mimpi. Jika saja ibuku tidak membawaku ke psikiater, mungkin saat ini aku sudah gila.

Aku beranjak dari tempatku menuju ke rak buku. Yaah, tidak bisa dipungkiri, aku memang begitu tertarik pada mythology, legenda atau apapun itu hingga tak heran jika aku memiliki banyak koleksi bukunya. Lagipula aku sangat penasaran dengan makhluk-makhluk yang sering kutemui di mimpiku. Aku mengambil salah satu buku dengan perlahan namun suara seseorang yang memanggilku membuatku terkejut hingga menjatuhkan buku itu.

"Lyra, sudah berapa kali Ibu bilang jangan membaca buku-buku itu lagi!" seru Ibu yang ternyata sudah berada di hadapanku.

"Uh oh, ak-aku... aku tidak bermaksud begitu, Bu," ujarku tergagap.

Ibu mengambil buku yang terjatuh "Seharusnya aku membakar semua buku yang seperti ini dari dulu,"

Ia mulai memilah-milah buku di rak, mengambil beberapa dan memasukkannya ke dalam kardus yang entah sejak kapan ada di sampingnya. Melihat itu aku mulai panik. Masalahnya beberapa dari buku itu bahkan belum kusentuh sama sekali dan tentu saja harga buku itu tidak murah.

"Jangan Bu!! Buku-buku itu sangat mahal, aku menabung 3 bulan untuk membelinya, bahkan sebagian ada yang belum aku baca!" ujarku memohon.

Ibuku berhenti sejenak. "Kau menabung hanya untuk membeli buku ini?" tanyanya tak percaya.

Aku bungkam seketika.

"Hanya untuk membeli buku yang membuatmu semakin tidak waras?" Ibu bertanya lagi, kali ini dengan setiap penekanan di kata-katanya.

"Apa yang Ibu maksud tidak waras?" Aku balik bertanya, cukup tersinggung mendengar Ibuku sendiri yang secara tidak langsung mengatakan aku gila.

"Iya! Kau terlalu sering membaca buku-buku sesat ini sehingga kau selalu berhalusinasi,"

Aku menggeleng tak percaya. "Aku tidak pernah berhalusinasi, aku hanya sekedar bermimpi. Itu suatu perbedaan!"

Ibu menunjukkan jari telunjuknya tepat di wajahku. "Kau tidak tahu apa-apa saat kau tertidur. Apa kau tahu kala umurmu masih menginjak 5 tahun kau selalu saja meracau dengan bahasa yang tidak Ibu mengerti? Kau tahu kala itu tidak ada satupun pengasuh yang bertahan untuk menjagamu sebab kau selalu bisa melukai mereka dalam tidurmu. Kau selalu berteriak, meracau tidak jelas, bahkan melukai dirimu sendiri saat sedang bermimpi. Apa kau tau betapa menyiksanya malam bagi Ibu?!"

Ibu terdiam sebentar. Napasnya tampak tersengal. Ia menggeleng menatapku seakan tak percaya.

"Dan kau, kau hanya bisa mempersulit keadaan," ujarnya sebelum pergi dari hadapanku.

Aku terduduk di tepi ranjangku, menghela napas pelan. Tak pernah sebelumnya aku melihat Ibu sekalap itu. Yaah, ini semua memang salahku. Aku tidak pernah mendengarkannya. Tidak bisa kupungkiri, masa kecilku begitu kelam, malam terasa seperti teror bagiku, bukan hanya Ibuku yang merasakannya, tapi aku juga.

Meski aku tengah tertidur namun mimpi yang aku alami bukanlah hal yang menyenangkan. Dalam mimpi itu, aku memiliki kekuatan yang begitu besar, sangat besar hingga setiap orang takut berhadapan denganku. Teman-teman sebayaku menyebutku 'Katara' entah apa artinya. Di sana aku selalu sendiri, banyak yang mencoba membunuhku, namun tak ada yang berhasil. Hingga—

Tiba-tiba ponselku berdering, menghentikan lamunanku tentang mimpi itu. Aku mengangkatnya. "Iya, hallo ...."

'Lyra, astaga! Kau hampir terlambat hari ini! Kemana saja kau?!' Suara diseberang sana memekakkan telingaku. Namun karena itu aku jadi tahu siapa yang menelepon.

"Berta, maaf. Ada sedikit masalah di sini. Hm ... bisakah kau saja yang datang ke rumahku?" Aku menggigit bibir bawahku cemas. Dari sana terdengar helaan napas panjang.

'Kau sudah bertanya tentang itu sebelumnya. Kali ini alasan apalagi yang ingin kau utarakan?'

Sial! Sebenarnya aku sudah tau jawabannya. Tapi mungkin saja Berta berubah pikiran, bukan?

"Kuharap kau mengerti, aku tidak bisa ke sana, Berta ... aku bertengkar hebat dengan Ibu dan sekarang aku—

'Dengar Lyra,' Dari sana Berta memotong ucapanku.

'Kau tahu aku dokter dan aku tahu persis bagaimana pasienku benar-benar berada di titik terendahnya ataupun hanya ... ehm, pura-pura. Jadi segeralah kemari, dan jangan sampai kau melewatkan jadwal konselingmu jika kau ingin mimpi itu segera berakhir.'

Aku mengerang pelan. "Ya baiklah baiklah, aku akan segera ke sana. Maaf jika aku terlambat hari ini." Setelahnya aku mematikan telepon itu secara sepihak dan segera beranjak untuk datang ke rumah sakit.

***

"Kau sudah siap?" Pertanyaan itu membuatku menatap Berta sinis.

"Lakukan saja, aku tidak yakin kau akan benar-benar menungguku hingga siap," ujarku ketus.

Wanita paruh baya itu terkekeh pelan, membuat tubuhnya yang gempal sedikit bergetar. "Kau sudah hapal tabiatku." ujarnya yang membuatku berdecak.

Seperti biasa, rambut kriting panjangnya ia ikat asal-asalan. Kacamata persegi dengan frame tebal berwarna hitam tampak merosot dari hidungnya yang pesek. Ia selalu tersenyum begitu lebar dengan bibir tebal itu, menampakkan sederet giginya yang rapi dan putih terawat--sangat kontras dengan warna kulit dan rambutnya. Dan dibalik jas putih dokternya, aku bisa melihat T-Shirt hitam yang bergambar Axl Rose, vokalis grup band Guns N' Roses.

Aku tak habis pikir dengannya. Bagaimana bisa seorang psikiater yang bekerja di Rumah Sakit Kindred ini berpenampilan begitu berantakan? Yang lebih parahnya lagi, ia adalah penggemar berat musik hard rock!

Pantas saja ia dipindah tugaskan ke sini oleh atasannya dari PeachHealth Peace Island Hospital di Friday Harbor. Aku tidak bisa membayangkan ketika pasien seharusnya bermeditasi dengan instrumen yang menenangkan, tapi malah diberikan musik hard rock yang sangat berisik olehnya.

Bisa-bisa pasien itu mendadak jadi lebih gila tak terkendali, seperti grup band-grup band Rock and roll yang berubah gila di atas panggung, berteriak-teriak menyanyikan lagu dengan kepala yang mengangguk-angguk cepat--aku sempat kagum karena mereka tidak muntah atau setidaknya merasakan pusing setelah melakukan itu berkali-kali.

Asal kalian tahu saja, PeachHealth Peace Island Hospital adalah rumah sakit katolik. Bayangkan berapa rumitnya jika Berta yang hampir setiap waktu menyetel kaset Guns N' Roses, bersinggungan dengan suster atau pastor yang hilir mudik memberikan pencerahan kepada pasien-pasien yang ada di sana.

"Tenangkan tubuhmu, dan mulailah untuk menceritakannya, oke?" Wajah Berta berubah serius dan aku menghembuskan napas perlahan sebelum akhirnya mengangguk. Aku menutup mataku, mencoba untuk melihat kembali kilasan mimpi itu.

"Kala itu aku berada di tengah-tengah hutan yang begitu lebat, pohon-pohonnya begitu tinggi, sekitarku penuh lumut .... "

"Aku juga tak mengenakan alas kaki dan di tangan kiriku, aku menggenggam sebuah batu. Batu yang berbentuk seperti Kristal berwarna putih keruh dan sedikit keabu-abuan."

Aku seakan kembali masuk ke dalam mimpi itu. Semua terasa begitu nyata.

"Tiba-tiba monster bersayap mengejarku diikuti oleh sekelompok orang, mereka tampak sangat marah dikelilingi asap hitam. Aku berlari, semakin lama samakin kencang namun salah satu dari mereka melumpuhkan kaki kiriku dengan tongkat sihirnya. Aku terjerembab jatuh, dan mereka semakin dekat. Saat itu aku mengeluarkan tongkat sihirku, memenuhi area hutan sekitar dengan kabut tebal agar mereka tidak bisa melihatku.

"Dari sana aku kembali bangkit dan lanjut berlari tertatih, namun kabut itu juga menghalangi jalanku. Tanpa sadar aku menginjak akar pohon yang runcing hingga akar pohon itu menancap di telapak kakiku. Aku berhenti sejenak, menariknya keluar dan lanjut berlari dengan darah yang terus merembes keluar. aku terus berlari hingga mampu keluar dari kabut namun lewat darah itu aku meninggalkan jejak. Aku terlalu sibuk melihat ke belakang hingga aku tidak melihat rawa di depanku. Aku tercebur ke dalam sana, makhluk-makhluk aneh mendekatiku tapi aku bisa mengatasinya hingga kembali ke dasar rawa. Namun ternyata mereka telah berada di hadapanku dan merebut batu itu dariku dan—

"Lyra, Lyra!!" Teriakan itu membuatku terjaga. Keringat dingin mengucur di pelipisku dan napasku tersengal. Kupandang Berta yang menatapku prihatin.

"Kau sudah terlalu jauh," katanya. Aku mencoba mengatur napasku.

"Maaf," lirihku.

"Kau masih bereaksi ketika mengingatnya, Lyra. Bahkan kau bisa melukai seseorang jika tidak ada yang bisa menyadarkanmu." Mendengarnya aku hanya diam.

Kilasan itu ... seakan memang pernah terjadi di kehidupanku.

"Apa keadaanku semakin memburuk?" tanyaku.

Berta bergumam. "Tidak, tidak memburuk namun juga tidak membaik."

Seketika aku bernapas lega mendengarnya. Setidaknya aku tidak memburuk. Aku takut jika keadaanku semakin memburuk, aku bisa melukai atau bahkan membunuh seseorang di dalam alam bawah sadarku.

"Kau harus bisa menahan dirimu, Lyra, jangan terlalu dalam memikirkan mimpimu jika sedang tersadar." Aku mengangguk mendengar nasehat Berta yang selalu diulang-ulang.

"Berta, bolehkah aku meminta saranmu?" tanyaku.

Ia mengedikkan bahu. "Well, kalau itu tentang pertengkaranmu dangan Ibumu, aku sarankan kau meminta maaf padanya."

Aku mengernyit. "Hey, jadi menurutmu itu salahku? Aku bahkan belum memberitahumu apa masalahnya," ujarku tak percaya.

"Ibumu sudah memberitahukannya lebih dulu. Ia meneleponku sebelum aku meneleponmu. Kalau dipikir-pikir lagi, Ibumu begitu peduli padamu, Lyra. Ia ingin melindungimu." Mendengar Berta aku semakin tidak mengerti.

"Melindungiku dari apa? Aku tidak dalam bahaya, aku hanya ingin membaca buku dan tiba-tiba ia jadi begitu marah padaku hingga mengatakan aku gila!" Nadaku meninggi.

Di ruangannya, aku menyenderkan kepalaku di sofa yang empuk. Untunglah saat ini kami hanya berdua.

"Ia melindungimu dari dirimu sendiri. Kau tahu kemungkinan terburuk dari night terror yang kau alami? Kau tidak hanya bisa melukai orang-orang terdekatmu, tapi juga bisa melukai dirimu sendiri tanpa kau sadari atau bahkan lebih buruk dari itu ... ... " Berta tidak melanjutkan kata-katanya. Meski begitu aku tahu apa yang akan ia katakan selanjutnya.

Kami terdiam. Ia menghela napas.

"Seandainya saja kau tahu, Ibumu sengaja memberikan uang lebih kepadamu agar kau bisa bersenang-senang seperti remaja pada umumnya. Pesta, kerusuhan, pacar ... yah, seperti itulah."

Aku mengangguk sekilas. Aku mengerti. Dan aku sudah mencoba untuk menjadi remaja normal seperti yang lainnya. Tapi entah kenapa aku lebih tertarik pada—

"Oh ya, satu hal lagi," ujar Berta yang berhasil membuatku sadar dari pikiranku sendiri. Ia tampak mencari sesuatu di dalam laci bawah mejanya. Dan ketika sesuatu itu ia keluarkan dari lacinya, sontak mataku membulat tak percaya.