Locvita

Aku dengan cepat mangambil Dreamcatcher dari Berta dan ingin segera pergi darisana. Namun kelelawar-kelelawar itu tampak marah. Mereka memekik keras dan mulai mulukaiku. Aku berusaha mengusirnya dengan mengibas-ngibaskan tangan namun itu juga tidak mempan. Mereka semakin memojokkanku. Sesekali aku tersentak mundur menghindar.

"Pergi!" Seruku sambil tetap mengibaskan tangan tapi tentu saja itu tidak berarti apa-apa bagi mereka. Aku terdorong ke belakang lagi, kehilangan keseimbangan. Bukanya terpojok di dinding, aku malah masuk ke dalam lingkaran cahaya putih keemasan.

Aku berteriak kencang dan terjatuh dengan kepala membentur lantai kayu.

"Au!" Seruku ketika merasakan sakit di kepala bagian belakang.

Aku serta merta bangkit dan betapa terkejutnya aku saat melihat sekelompok orang tengah menatapku.

"Siapa kalian?! Mengapa bisa ada dikamarku?" Tanyaku setengah berseru. Aku mundur selangkah ke belakang, menjaga jarak dengan mereka. Mereka juga tampak terkejut.

Tunggu, tapi ini bukan seperti kamarku. Semua perabotannya terbuat dari kayu, terlebih tidak ada ranjang di sini. Dan di luar begitu terang, tampak seperti siang hari. Jadi dimana aku sebenarnya? Dan siapa mereka?

"Seharusnya kami yang bertanya begitu. Bagaimana bisa kau keluar dari perapian? Bagaimana kau bisa mengtahui markas kami?" Tanya salah seorang pria paruh baya.

Ia tampak marah. Kumisnya yang menjulang panjang hingga melewati batas mulutnya tampak mengerikan. Tak hanya itu, rambutnya yang keriting panjang dan tatapannya yang mengintimidasi juga membuatku tak dapat berkutik.

Dreamcatcher yang semula kugenggam terlepas dengan sendirinya dan mengambang dihadapanku. Aku ternganga lebar, berusaha untuk menangkapnya namun tak berhasil.

"Kuharap kau tau sedang berurusan dengan siapa," ujar pria paruh baya yang lain.

Ia berambut coklat cepak, mengenakan pakaian yang rapi dan sedang mengacungkan tongkat kayu ke arah Dreamcatcher milikku.

Aku menggeleng pelan, benar-benar tak tau apa yang sedang terjadi.

Tiba-tiba dua orang yang lain datang, sepasang pria dan wanita itu sama terkejutnya melihat kehadiranku.

"Siapa dia?" Tanya wanita yang baru saja datang.

Ia memiliki rambut Blonde dengan iris mata biru safir.

"Dan bagaimana bisa ada di sini?" Timpal pria yang baru datang.

Ia berambut pirang dengan iris mata yang sama seperti wanita berambut blonde.

"Penyusup," jawab pria berkumis.

"Atau...bisa jadi mata-mata yang dikirim oleh Meliora," timpal pria cepak tanpa menurunkan tongkatnya. Mereka semua terkejut dengan apa yang barusan dikatakan oleh pria tersebut.

"Benda ini..." pria itu menatap Dreamcatcherku, membuat semua yang ada disana menatap ke arah yang sama, termasuk aku.

"Benda ini memiliki sihir kegelapan yang sangat pekat sedangkan lingkaran portal memiliki sihir yang kuat dari penyihir putih. Layaknya kutub utara dan selatan magnet, jika berdekatan, mereka akan saling menarik satu sama lain dan ketika menyatu, timbulah kekuatan yang super dahsyat, itu mengapa ia bisa melewati segel yang telah kita buat," penjelasan dari pria itu sontak membuatku semakin tidak mengerti.

"Sekarang tunggu apa lagi? Hancurkan saja benda itu!" Seru pria berkumis.

Mendengarnya lantas membuatku bertriak, "Jangan!"

Mereka memandangiku lagi, kali ini lebih saksama.

Ditatap seperti itu membuatku gugup. "I-itu...itu satu-satunya Dreamcatcher yang membuat tidurku nyenyak. Kalian tau? Aku selalu diganggu dengan mimpi-mimpi aneh tentang penyihir. Dan aku mendapatkannya dari Psikiaterku, entah bagaimana tanggapannya jika Dreamcatcher itu kalian hancurkan, sebab mimpi itu juga sudah bertahun-tahun kualami dan rasanya sungguh menyiksa. Aku tidak menginginkan apa-apa dari kalian, aku hanya ingin kembali menjadi remaja normal tanpa dihantui bayang-banyang mimpi aneh itu lagi, kumohon...jangan hancurkan Dreamcatcher itu..." ujarku memelas pada mereka.

Lagi dan lagi, mereka tampak terkejut mendengar penjelasanku.

Seorang wanita berambut coklat tua sebahu itu perlahan mendekatiku. Ia menatapku dengan tatapan kagum. Aku menelan ludah dan menghindar.

"Whoa, aku sama sekali tidak berbahaya," ujarnya seraya mengangkat kedua tangannya. Aku terdiam ragu. Walau bagaimanapun ia adalah orang asing yang bisa saja menyerangku sewaktu-waktu.

"Boleh aku menyentuh wajahmu?" Tanyanya yang membuatku menggeleng cepat.

"Baiklah, baiklah, aku hanya ingin menatap matamu lebih dekat," ujarnya. Aku terdiam kala ia menatap mataku lekat. Ia sumringah, seraya memegang tanganku erat.

"Kaulah, kaulah 'Locvita' yang ada di ramalan itu!" Ujarnya antusias.

"Hey! Dialah yang selama ini kita cari, dialah gadis yang diramalkan. Astaga! Aku tau ramalan itu benar adanya!!" Serunya girang kepada teman-temannya hingga loncat-loncat kecil.

"Itu tidak mungkin!" Sergah pria berkumis.

"Apalagi yang tidak mungkin? Tanda-tandanya ada semua pada diri gadis itu! Dan kau masih berani menyangkal?!" Wanita itu tampak tidak terima.

"Well, mengapa tidak kita buktikan saja?" Tanya wanita berambut blonde yang langsung melepaskan sarung tangan di tangan kirinya.

"Alcie, kurasa itu ide buruk," ujar pria berambut pirang. Namun wanita blonde yang bernama Alcie itu tak menghiraukannya.

Ia melebarkan tangan kirinya ke arahku, serta merta cahaya merah keluar dari tangannya dan mengenaiku hingga membuatku terpental ke perapian, tersungkur.

Aku terbatuk pelan. Dadaku sakit sekali, rasanya seperti ada tangan raksasa yang memukulku. Meski begitu aku masih bisa berdiri dan rasa sakit itu menghilang dengan cepat.

Aku menatap ke arah mereka yang tampak terkejut melihatku. Alcie sendiri sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Mu-mustahil," lirihnya.

Kulihat wanita berambut coklat yang tersenyum lebar menatapku dengan bangga.

Tunggu, jadi sedari tadi aku...dikelilingi oleh penyihir?

***

Aku berusaha menghindar dari serangan-serangannya yang datang bertubi-tubi. Namun, satu serangan lagi mengenaiku dan membuatku tersungkur.

"Ayo! Gunakan kekuatanmu, jangan hanya menghindar!" Seruan dari wanita berambut blonde a.k.a Alcie itu membuatku mengerang.

Aku bangkit berdiri dan menghampirinya "Sudah kukatakan aku tidak memiliki kekuatan apapun! Aku bukan penyihir!" Seruku tepat di depan wajahnya.

Setelah puas meneriakinya, aku meninggalkannya dan memilih duduk di depan pintu markas.

Aku menyeka keringatku yang sudah membasahi baju. Kulihat tanganku yang sudah lebam akibat serangannya, sikuku juga lecet karena berkali-kali tersungkur, menghantam tanah.

"Tapi kau adalah 'Locvita' Virginia, tak mungkin kau tak memiliki kekuatan darinya, kau saja tadi bisa bertahan dari serangan sihirku. Kalau kau manusia biasa, kau sudah mati terkapar dengan mantra itu," ujar Alcie.

Aku menghiraukannya. Kujelaskan berkali-kali sampai mulutku berbusa pun ia tak akan mendengarkan.

"Sudahlah, kau terlalu keras mengajarinya," ujar wanita berambut coklat tua yang--baru kutahu bernama Felix.

Alcie mengedikkan bahu tidak peduli.

Felix duduk di sebelahku, ia menyentuh tanganku yang lebam dan dengan ajaibnya lebam itu langsung hilang. Aku melebarkan mata melihatnya. Begitu juga dengan lecet di sikuku. Luka-luka yang bahkan tak kusadari juga menghilang dan aku merasa lebih baik. Lelah itu tergantikan oleh energi baru.

"Aku menguasai teknik penyembuhan, Lyra. Teknik yang diajarkan di sekolah sihir dulu," ujarnya sebelum aku bertanya.

Aku menatapnya kagum. Tak menyangka seseorang bisa berbuat seperti itu.

"Masing-masing dari kami memiliki kekuatan spesial. Aku yang mahir teknik penyembuhan melalui sentuhan, Alcie yang hanya dengan tangan kirinya bisa mengeluarkan sihir tanpa dibantu dengan tongkat, Moeba..." Felix menunjuk Pria tambun berjenggot lebat yang tampak sedang memberi makan seekor anak kuskus. "Ia bisa berbicara dengan hewan, membaca rasi bintang dan menumbuhkan tanaman dengan sihirnya,"

Aku mengangguk mengerti. "Lalu, yang lainnya?" Tanyaku lagi. Sebab aku melihat masih ada 3 orang yang belum disebutkan.

"Neron," ujarnya seraya menunjuk pria berambut cepak.

"Ia adalah penyihir yang bisa bertransfigurasi menjadi orang lain, lalu ada Erol, ia sebenarnya adalah setengah penyihir setengah werewolf,--"

"Werewolf? Maksudmu manusia serigala?" Aku memotong penjelasan Felix. Ia hanya mengangguk.

"Setiap kali bulan purnama, ia akan berubah menjadi srigala liar. Dan yang terkahir Arthur, saudara kembar Alcie, ia memiliki kemampuan meramal, dan membaca masa depan,"

Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Jujur saja, sebenarnya aku masih bingung dengan semua ini. Dunia ini...apakah benar-benar ada? Atau hanya mimpiku saja?

"Tampaknya kau masih memiliki pertanyaan dalam benakmu ya?" Tanya Felix.

"Hmm," aku mengangguk. "Bahkan banyak," lanjutku sambil nyengir. Felix tertawa kecil.

"Apa yang ingin kau tau?" Pertanyaan itu bukan dari Felix, namun dari pria berambut pirang a.k.a Arthur yang tiba-tiba muncul di hadapan kami.

"Semuanya. Tentang diriku yang sebenarnya, siapa itu Virginia dan masih banyak lagi," ujarku.

Pria itu tampak berpikir sebelum menjawab.

"Biar kuberitahu satu hal. Kau adalah 'Locvita' Virginia. Jika kau tak tau apa itu, biar kujelaskan lebih detail tapi kau harus janji untuk tidak menyelaku, paham?"

Aku mengangguk paham, menatapnya dengan rasa keingintahuan yang meledak-ledak.

"Locvita adalah ilmu sihir tingkat lanjut, dimana mereka dapat menyimpan sebagian jiwanya. Locvita hanya bisa digunakan oleh penyihir berkekuatan tinggi hingga bisa membagi jiwanya kedalam sebuah benda maupun makhluk hidup. Tujuannya tentu saja mencapai keabadian. Ia tidak akan bisa benar-benar mati karena sebagian jiwanya telah tersimpan di dalam 'Locvita' yang ia buat. Dan kau adalah 'Locvita' itu. Virginia sengaja memilih makhluk hidup yang menjadi 'Locvita'nya, agar suatu saat nanti orang itu melanjutkan tugasnya yang belum selesai. Ia sengaja mengirimkan kenangan dari kehidupannya dalam mimpimu agar kau mengenalnya. Dan juga untuk membantumu menyelesaikan misinya." Penjelasan darinya membuatku mangut-mangut dengan alis yang masih berkerut.

"Jadi, aku yang sebenarnya adalah Virginia?" Tanyaku.

Ia menggeleng. "Bukan, kau tetaplah Lyra, yang tau jati dirimu sesungguhnya hanyalah kau. Tapi kami menyebutmu 'Locvita', karena bagaimanapun sebagian jiwa Virginia ada dalam dirimu," jawab Arthur.

Aku mengangguk paham.

"Lalu, bagaimana dengan Virginia? Kehidupannya? Apakah ia benar-benar terbunuh?" Pertanyaanku membuat pria berambut pirang itu terkekeh.

"Kau yang seharusnya lebih tau itu, Lyra. Bukankah kenangannya melekat padamu? Kau juga pasti tau kehidupannya yang tak dipedulikan oleh siapapun,"

"Oke, waktu cerita habis. Kau lanjut latihan lagi," ujar Alcie yang membuatku mendengus malas.