The Choice

"Persephone sangat marah ketika ia tahu Hades berselingkuh di belakangnya dengan seorang wanita yang sangat cantik. Ia mengutuk wanita itu menjadi tanaman, namun sebelum itu sepenuhnya terjadi, Sang Wanita balas mengutuk semua makhluk kegelapan, baik keturunan Hades maupun pengikut-pengikut kegelapan lainnya.

'Aku akan menjadi kelemahan mereka, dan aku bisa dengan mudah membunuh mereka. Percayalah, berapapun darah keturunan kegelapan yang aku tumpas, itu tidak akan mampu untuk membayar apa yang telah kau lakukan padaku,' ujar Sang Wanita itu mengikrarkan kutukannya sebelum ia berubah menjadi tanaman seutuhnya.

Dan tanaman itu dinamakan Mint yang diadaptasi oleh namanya sendiri. Demikianlah awal mula mengapa tanaman mint menjadi kelemahan bagi para penyihir hitam.

Mereka akan merasakan sakit yang teramat sangat seakan dibekukan dari dalam jantungnya, tulang-tulang seakan remuk dan kepala yang terasa ingin pecah, adalah efek samping dari tanaman ini.

Whoaah, ck ck." Aku berdecak kagum setelah membacanya.

Tak kusangka ada buku yang memiliki penjelasan sedetail ini mengenai tanaman sihir. Di buku ini juga dijelaskan tata cara membuat ramuan sihir dari ekstrak daun mint.

Tidak heran juga, bagaimana tidak? Buku ini memiliki ketebalan satu jengkal dengan halaman yang mencapai 10.000 lebih.

Padahal aku baru membaca di awal bab, tapi aku sudah dibuat kagum. Dan aku yakin masih banyak tanaman sihir di sekitarku yang belum aku tau. Siapa sangka daun mint yang biasanya menjadi penyegar mulut atau hanya hiasan di hidangan-hidangan menjadi salah satu kelemahan terbesar penyihir hitam?

"Madam, apakah aku boleh membaca buku ini?" Tanyaku kepada Madam Bailey yang tengah menyiapkan makan malam kami.

Tadi karena bosan, aku tidak sengaja menngambil buku ini di rak untuk kubaca.

"Kau sudah membacanya tadi, dengan suara yang keras pula, menggangguku saja," ketus Lincoln.

Aku mendelik menatapnya.

"Aku bertanya pada Madam, mengapa jadi kau yang menjawabnya?" Semburku.

Sudut bibir Madam Bailey berkedut menahan tawa selagi aku dan Lincoln saling melempar biji buah ek yang ada di atas meja. Dan sebelum meja makan berubah menjadi arena pertempuran, Madam Bailey sudah mengalihkan perhatianku dengan berkata,

"Sangat boleh, Nona, aku malah senang ada yang tertarik pada Mata Pelajaranku, Ilmu Tentang Tanaman dan Ramuan Sihir, biasanya para anak-anak penyihir sangat malas jika berhadapan dengan Mata Pelajaran itu di sekolah sihir Arbithetlase."

Aku menganggukkan kepala sambil ber'oh' panjang tanda mengerti. Aku baru tau kalau Madam Bailey adalah guru yang mengajar mata pelajaran itu di sekolah sihir Arbihetlase.

"Mengapa begitu? Menurutku ini sangat menarik," aku sibuk membalikkan halaman demi halaman buku.

"Soal itu tanyakan saja pada anak muridku yang selalu bolos di mata pelajaranku," ujar Madam Bailey yang melirik ke arah Lincoln.

Lincoln yang disindir seperti itu mengangkat bahunya tidak peduli.

"Habis pelajaran itu sangat membosankan, tidak ada mantra, tidak ada sihir, menghapalkan semua jenis tanaman dan khasiatnya. Itu hampir sama dengan mata pelajaran sejarah ditambah biologi ditambah lagi dengan bahasa di sekolahmu," dalihnya.

Aku menggeleng tidak setuju dengan alibinya.

"Tapi semua pelajaran itu adalah pelajaran favoritku," ujarku keberatan.

Sebelum Lincoln berhasil menjawab, Madam Bailey telah menginterupsikan pada kami untuk segera makan malam.

Kami segera merapat ke meja makan. Puffly sendiri sudah melahap makan malamnya yang berupa biji-bijian di dalam kandang yang telah dibuatkan oleh Madam Bailey sebelumnya. Kurasa Puffly sangat menyukai rumahnya yang baru.

Dengan tidak semangat aku melihat menu makan malam di atas meja. Kenapa harus cream sup? Bentuknya dan teksturnya mengingatkanku pada muntahan Gnomes yang kumakan tadi pagi. Yeah, meski warnanya lebih menarik muntahan Gnomes.

"Kata Lincoln, Nona tidak memakan daging, jadi aku menyiapkan cream sup jagung ini untuk makan malam kita," ujar Madam Bailey.

"Kubilang hanya Lyra, tapi kenapa aku juga harus makan ini? Aku tidak akan bisa mendapatkan energi jika aku hanya memakan cream sup jagung," Lincoln protes sambil mengaduk-aduk cream sup jagungnya dengan tidak berselera.

"Cream sup jagung juga berkhasiat untuk memulihkan tubuh lebih cepat, dan kau akan mendapatkan energy dari jagung itu. Aku juga sudah menambahkan beberapa ramuan khusus di supmu agar kekuatanmu cepat pulih dan jahitanmu lebih cepat kering. Juga ada beberapa rempah-rempah untuk menghangatkan tubuh kita di malam yang dingin ini,"

penjelasan dari Madam membuat Lincoln bungkam. Ia pasrah memakan cream sup jagungnya. Daripada tidak makan sama sekali, mungkin itu yang dipikirkannya.

Aku sendiri takut-takut menyendokkan cream sup jagung ke mulutku. Masih terbayang-bayang muntahan Gnomes yang aku makan tadi pagi. Namun melihat Lincoln yang melahap supnya dengan tenang, kurasa tidak mungkin rasa sup ini seburuk yang kupikirkan.

Dan ternyata benar! Cream sup jagung ini sangatlah lezat. Dengan aroma rempah-rempah yang tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk menghangatkan tubuh di malam hari seperti ini, juga rasa creamnya yang gurih serta biji jagung-jagung itu yang ketika dikunyah menguarkan rasa manis.

"Ini enak sekali," pujiku.

Madam Bailey tersenyum. "Syukurlah kau suka, Nona. Jika begitu, habiskan supnya,"

Aku mengangguk dan melahap sup itu dengan cepat, tak kubiarkan sup itu tersisa sedikitpun. Aku juga sudah tidak peduli lagi pada Lincoln yang menyeringai seakan mengejekku. Biarkan saja, toh dia memang suka mengejekku begitu.

Memang sup ini seenak itu, ditambah aku yang belum makan seharian penuh—muntahan Gnomes tidak dihitung—cukup menjadi alasan mengapa aku sangat rakus memakannya.

Makan malam begitu hangat, diselingi oleh penjelasan Madam Bailey tentang resep dari cream sup jagungnya dan aku yang banyak bertanya, obrolan kami beralih topik menjadi seputar ramuan-ramuan sihir dan aku semakin tertarik untuk mempelajarinya lebih banyak lagi.

Sementara aku dan Madam Bailey asyik mengobrol, Lincoln yang sedari awal sudah tidak tertarik pada topik obrolan kami hanya menatap kami dengan bosan, sesekali menguap. Ia yang sudah selesai lebih dulu, bangkit meninggalkan kami dan masuk ke dalam biliknya.

"Biar kubantu," ujarku seraya membantu Madam Bailey membereskan makan malam kami.

"Jika Nona sangat ingin, Nona bisa membantu pekerjaanku membuat ramuan sihir dan di sela-sela itu, aku bisa mengajari Nona," ujarnya.

"Aku 'kan bukan penyihir, memangnya bisa mempelajari itu?" Tanyaku.

Madam Bailey mengangguk. "Tentu saja, Nona. Di mata pelajaranku mantra dan sihir tidak terlalu dibutuhkan,"

Aku yang tengah sibuk memandanginya membersihkan mangkuk dan piring-piring itu dengan tongkat sihir, sontak mengalihkan pandanganku pada matanya. Menatap matanya lekat, mencari kesungguhan di dalamnya.

"Benarkah? Kau tidak keberatan? Aku takut merepotkanmu," ujarku.

Madam Bailey mengayunkan tongkat sihirnya dan piring-piring itu mengambang masuk ke dalam rak piring. Aku yang menyaksikan itu tidak bisa berhenti berdecak kagum.

Ia lantas menggeleng. "Tidak masalah, Nona. Sama sekali tidak merepotkanku, malah aku senang ada anak yang sangat tertarik pada ramuan-ramuan sihir, bahkan anak itu bukanlah keturunan penyihir,"

Penjelasannya membuatku merasa sangat senang. Aku tersenyum sangat lebar. "Baiklah, kapan kita memulainya?" Tanyaku antusias.

"Besok aku akan ke kebun lagi—

"Oke, aku ikut!" Seruku.

Madam Bailey tertawa melihatku yang begitu bersemangat. Aku juga ikut tertawa kecil.

Namun itu tak berlangsung lama, ketika teriakan Lincoln membuatku langsung berlari menghampirinya.

"ARRGGHH!!! PANAAS!!!" Teriaknya.

"Astaga!" Aku terkejut melihatnya yang sudah meringkuk di lantai biliknya.

Ia terus berteriak seakan menahan sakit yang luar biasa, juga mengerang, hingga aku bisa melihat urat lehernya. Wajah dan tubuhnya memerah.

"Lincoln!" Seruku begitu khawatir. Aku membantunya untuk bangkit, tapi ia menepisnya.

"Jangan sentuh aku!" Serunya yang membuatku terkejut.

"Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu Lincoln?" Tanyaku lirih. Ia terusm menerus mengerang kesakitan.

"Madam, kumohon bantu Lincoln," pintaku pada Madam yang sedari tadi hanya bergeming di tempatnya.

"Kita tidak bisa melakukan apa-apa untuknya, Nona. Itu adalah efek samping dari ramuan Alga hijau yang kubuat untuk melumuri setengah tubuhnya yang terkena tebasan Pohon Dudaim. Memang ramuan itu membantunya untuk meregenerasi kulit lebih cepat namun efeknya, ia akan merasakan panas, seakan kulitnya terbakar bara api dan jika kita menyentuhnya, rasa ngilu akan terasa dan menambahkan sakitnya,"

Aku terisak, "Kumohon! Pasti ada penawar untuk efek samping itu,"

Madam Bailey menghela napas berat dan aku tau permohonanku sia-sia. Aku hanya bisa menangis tidak tega melihat Lincoln yang begitu kesakitan. Itu semua salahku 'kan? Selalu saja merepotkan Lincoln. Tidak, bukan hanya Lincoln, tapi juga ayahnya.

Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengangis dan memintanya untuk berhenti.

"Berapa lama ia akan kesakitan seperti itu?" Tanyaku.

"Biasanya hanya sekitar satu jam, tapi…" Madam Bailey terdiam sebentar.

"Tapi apa?" Desakku.

"Ini akan berlangsung juga di malam-malam berikutnya hingga ia benar-benar pulih dan jahitannya benar-benar kering, dan luka Lincoln sangat parah. Mungin waktu satu bulan purnama pun tak cukup untuk memulihkannya,"

Aku yang mendengarnya mencelos seketika.

***

Aku menatap Lincoln yang kini tengah tertidur pulas di biliknya. Keringat masih bercucuran tapi itu tidak masalah. Keringat itulah yang akan membuang racun pohon Dudaim yang masuk di tubuhnya.

Alisnya yang tebal berkerut dalam. Tanganku terjulur untuk menyentuhnya, mengelusnya perlahan dan alis itu mengendur dengan sendirinya. Dapat kudengar juga dengkuran halusnya yang putus-putus.

"Apa ia juga merasakan sakit di dalam tidurnya?" Tanyaku lirih, tak ingin membangunkannya.

"Tidak, Nona, ia hanya kelelahan menahan sakit semalam," ujar Madam Bailey.

Aku menghembuskan napas lega. Kuusap rambutnya perlahan, kemudian turun untuk menyentuh pipinya. Melihat wajah Lincoln yang tenang seperti ini entah mengapa membuatku merasa senang. Tidak ada kekehan jahil ataupun erangan kesakitan seperti kemarin.

Tanpa sadar aku tersenyum. Tampangnya juga lumayan. Dengan rambut coklat tua yang berantakan, alis lebat, hidung mancung, bulu mata lentik—

"Ayo Nona, kita akan terlambat," ujar Madam Bailey yang membuatku tersadar dari pikiranku.

Eh? Mengapa aku jadi berpikiran seperti itu padanya?

Aku menggeleng kuat, menepis pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba saja hinggap di kepalaku. Biar tampangnya lumayan, aku tidak akan bisa menerima sikapnya yang sangat jahil dan suka mengejekku itu.

Aku sekali lagi menatap wajah damainya yang bersinar terkena cahaya matahari dari kisi-kisi jendela sebelum aku benar-benar pergi bersama Madam Bailey ke kebunnya.

***

"Jadi bagaimana?" Itu pertanyaan yang diajukan oleh Aaron kala aku baru saja sampai di kebun Madam Bailey.

"Bagaimana apa?" Tanya Madam Bailey dengan tatapan menyelidik ke arah Aaron.

"Ah! Aku menawarkan diri untuk mengajarinya ketangkasan menghindar, maaf, aku lupa memberitahumu sebelumnya," jawabnya santai. Dan Madam Bailey tidak bertanya lagi lebih lanjut.

Aaron menatapku menunggu jawaban.

Aku menghela napas sebelum menjawab "Oke, aku bersedia," lagipula ini demi membuktikan pada Lincoln jika aku bisa menjaga diriku sendiri.

Senyum Aaron mengembang, "Pilihan yang sangat tepat."