Tiga hari telah berlalu, sang ibu pun merasa aneh dengan kelakuan anaknya itu akhir-akhir ini, ia pun bertanya pada suaminya, "Si Feri kenapa ya Pa, semenjak dapat paket itu. Dia mondar-mandir terus, cek hape rutin padahal gak pernah segitunya lho?". "Sudahlah Ma, mungkin ada sesuatu," jawab bapak sambil menyeruput secangkir kopi. "Iya justru itu Pa, Mama khawatir dia sampai kenapa-kenapa.... Jangan-jangan dapet surat ancaman ya Pa, atau anak kita terguncang gitu?" suara ibu terdengar begitu bergetar. "Nggak Ma, Papa yakin anak kita gak kenapa-napa. Dan mana mungkin anak kita punya masalah sama siapa-siapa sampai diancam-ancam segala. Dan ya Ma, amit-amit kalau anak kita kenapa-napa. Omongan kita kudu dijaga selaku orang tua," tegas bapak. "Iya, Pa," ibu terisak. "Nanti biar Papa tanya ke itu anak, supaya Mama tenang," menutup lembaran koran dan datang menghampiri anaknya.
"Fer, Feri! Sini Nak, ada yang mau Papa obrolin sama kamu," bapak menghampiri sampai depan pintu dapur. Gue yang mau masak mie instan pun otomatis gak jadi. "Iya, ada apa Pa?" gue jawab sembari mendekat. "Amplop cokelat kemarin isinya apa?" bapak nampak serius melontarkan pertanyaan. "Surat pemberitahuan, Pa," gue langsung jawab aja dengan singkat. "Surat pemberitahuan dari mana? Isinya apa?" bapak nampak penasaran. "Dari SMA Anjiman, Pa," gue jawab lirih karena masih percaya gak percaya aja sama tu kertas. Gue pikir orang-orang lagi nge-prank entah buat hiburan, apa buat ganggu gue. "Mana coba sini, Papa lihat Nak," bapak meminta dokumen itu. "Bentar aku ambil dulu, Pa...," bergegas menuju laci tempat surat itu diletakkan.
"Ini, Pa," menyodorkan kertas tersebut. Sambil memperbaiki posisi kacamatanya bapak bilang, "Ini asli Fer, asli ini. Tuh lihat, ada cap sama tanda tangan sekolahnya," menunjukkan kop surat dan hal-hal yang memperkuat keabsahan isi dokumen tersebut. Gue nunduk aja, ngerasa kecil juga ngerasa dikasihani oleh orang lain. Gue ngerasa hal kek gini janggal banget, gak murni. "Mana bisa kayak gini? Gue emang mau lanjut sekolah ke sini tapi, gak gini caranya?" pikiran gue berkecamuk di dalam. "Harusnya kamu happy dong, malah kelihatan suram kayak gitu. Gak bagus, ah!" bapak menepuk bahuku. "Sebenarnya Pa, Feri gak mau keterima di sekolah ini karena diberi atau dikasihani. Feri ingin masuk jadi siswa SMA Anjiman dengan kemampuan Feri sendiri. Masa iya sih Pa, Feri diterima padahal cuma rangking terakhir di sepuluh besar umum," gue jelasin kekhawatiran yang dirasain ke bokap langsung. Gue memang orang yang gak mudah cerita apa-apa kecuali ditanya. "Ya udah, terima aja. Kapan masuknya?" bapak sepertinya paham apa yang gue ungkapin. "Tiga hari lagi, Pa," jawab gue singkat. "Oh.... Pesan Papa nih ya, buat kamu. Dengerin!" bapak menghela nafas sejenak. "Syukuri Fer, lagian kata siapa itu pemberian? Kata siapa juga kamu masuk karena dikasihani, hah? Kan gak ada yang bilang, ya?" bapak meneruskan ucapannya. "Nggak ada sih, cuma jadi punya pikiran buruk aja sama tu sekolah antara reputasinya anjlok apa gimana?" ujar gue merespon bapak. "Ya udah, jangan dipikirin. Mungkin sudah rezeki kamu kali, syukuri ya. Jangan bikin Mama sama Papa khawatir," bokap mengelus puncak kepala gue. "Makasih ya Pa, maaf udah bikin kalian khawatir," tanpa sadar gue tersenyum. Bener-bener obrolan singkat tadi bikin semangat gue kembali hidup setelah sebelumnya dipenuhi dengan keraguan.
Hari itu pun datang, gue sama nyokap datang ke SMA Anjiman sampai nyaris pagi buta cuma buat lihat papan pengumuman doang. Maksudnya sih, biar gak desakan sama emak-emak lainnya, "Aduh..., Feri! Ngapain sih kita datang ke sekolahmu pagi-pagi begini? Mau liat apa emangnya?" ibu mulai mengomel. Belum juga sempet jawab, nyokap udah rusuh aja nerusin omelannya. "Mana Mama belum masak lagi buat Papa, kamu ini ya...," ibu nampak kesal sampai giginya berkerat. Kalau gue masih bocah kek nya bakal dijewer deh cuman karena, gue dah gede ya paling ibu cuman bisa berkacak pinggang doang. Tapi jangan salah, meskipun serem dan galak, kalau masalah kasih sayang gue yakin nyokap gue paling juara sih. "Hehe, maafin Feri Ma. Feri gak maksud...," tersenyum malu. "Gak maksud, gak maksud, Mama takut Papamu kesiangan. Paham?" ibu memotong pembicaraan. "Iya, Ma...," gue cuman bisa nunduk doang. "Ya udah, ayo kita masuk!" nyokap narik tangan gue. Dan wah..., ternyata ada banyak orangtua murid yang lebih gercep nunggu di pintu gerbang selain gue sama nyokap.
Pukul enam kurang seperempat gerbang pun dibuka sama Pak Satpam, "Silakan Bapak dan Ibu masuk ya, jangan berdesakan! Papan pengumumannya ada di depan ruang kepala sekolah," menunjuk dengan jempolnya. Ya namanya emak-emak ya, apalagi yang zaman now dimana suka pada rempong. Diawal-awal kek pada kalem pas dah deket papan langsung gak tertib, bapak-bapak cuma bisa pasrah aja nungguin kosong di belakang. "Aduh..., Mama gak bisa lihat ini...," suaranya nampak khawatir karena di depan udah ada squad ibu-ibu yang sedang upload foto selfie sekalian nge-vlog ada juga yang lagi tengkar banding-bandingin anaknya. "Aduh..., jangankan Mama ini.... Feri aja lihatnya jengah banget," mengusap muka agak kesal. "Bagaimana ini? Mama harus buru-buru pulang nyiapin keperluan Papa," dengan gestur bingung tak terasa ibu sudah mondar-mandir. Gue menarik tangannya, "Aduh Ma, yang gitu aja dipikirin. Mama tunggu aja di depan pos satpam, nanti Feri nyusul. Oke?" berusaha menenangkan. Ibu pun mengangguk, gue langsung meneruskan ucapan, "Biar Feri yang blusukan lewatin mereka," maju ke depan dan benar semua tulisan sudah terlihat dengan jelas. "Ini sekolah beneran fix aneh, ngapain juga nama siswa sampe dibeda-bedain warnanya kek gini ish...," pikir gue. Gara-gara suara riuh orang-orang, lamunan gue kepecah. "Fokus-fokus! Ini dia nama bagus gue terpampang tapi kok, cuman nama gue sih yang diwarnain merah sedangkan lima temen gue yang lainnya diwarnain pake warna biru," spontan mata melongo sebab heran. Oh iya, tapi termasuk juga gue, nama temen-temen lainnya yang ada di ranking enam sampai sembilan juga ada. Entah kenapa gue gak yakin, mereka bakal masuk sini.
"Yuk, Ma. Pulang," menggandeng lengan ibu. "Eh Nak, udah dilihat belum?" mengikuti langkahku. "Nih helmnya Ma, nanti Feri cerita di jalan," menyodorkan helm itu ke tangan ibu. Ibu malah mematung bingung, menatap terus. "Ma, ayo!" tangan gue menyentuh ibu. "Eh iya, iya. Mama naik, Mama naik sekarang," segera duduk menyamping di atas motor. Langsung aja nyalain mesin motor setelah berpamitan pada Pak Satpam.
Di perjalanan, "Ma, Mama lihat gak orang tua murid SMP Bela Dikara yang lainnya?". "Gak tahu, Mama gak banyak ngobrol juga sama orang tua murid lain. Ada apa emangnya, Fer?" dari kaca spion nampak ibu bertanya penasaran. "Ya, siapa tahu ada yang wajahnya Mama kenal pas nganter wisuda deh minimal, kan banyak tuh yang lalu lalang dan sempet ngobrol," sambil berhati-hati dan fokus pada laju kendaraan, gue saat itu memang memacunya pelan. "Eh iya juga ya tapi, kok gak ada yang lewat ya?" gumam ibu. "Anak-anaknya gak lihat, Ma?" nada bicara gue udah masuk ke mode intel. "Gak ada, wajahnya pada gak familiar juga. Terus, gak semua orang tua kayaknya bareng sama anaknya kayak kita. Ada yang sendirian pula," ibu menjelaskan dengan gamblang. "Oh," mulai menaikkan laju motor dari gigi satu ke gigi dua. "Masa sih ya Ma, cuma Feri aja yang sekolah ke Anjiman dari Bela Dikara?" kebetulan jalanan gak terlalu rame juga jadi, gue nanya lagi ke nyokap. "Ah, masa? Belum pada datang kali mereka. Udah yuk, buruan!" ibu menepuk-nepuk punggung gue. "Kok, feeling gue gak enak ya?" sambil mempercepat kembali laju motor meski tak lebih sekadar sampai gigi dua yang cuman tambah gas. Karena emang, bokap larang gue pinjem motornya buat ajang kebut-kebutan di jalan.