Dia Berbeda

Hari ini gue gak tidur selarut kemarin, meskipun emang nyatanya masih larut tapi kali ini gegara streaming nonton liga Inggris bukan gangguan abnormal. Mengalami siklus kehidupan pagi yang normal bikin gue merasa lega sejenak, biarlah fenomena tindihan itu bakalan cuman gue anggap sebatas mimpi buruk pada umumnya. Dahlah lupain aja. Lagian gue juga bukan termasuk orang yang gampang parno dan mikirin hal-hal begituan. "Mungkin karena, kemarin hari Selasa kali ya...?" menertawakan keadaan, seakan-akan kejadian sebelumnya layak dijadikan bahan candaan. "Ada apa dengan hari Selasa? Kalau hantu asli pasti datangnya Jum'at kan?" pikiran gue lebih sompral lagi. "Aduh, parah gue. Punya pikiran gak bisa dijaga dah," mengguyurkan air ke seluruh tubuh dengan gayung. Akhirnya gue cuman bisa lanjutin aktivitas harian sebagaimana biasa, sarapan, nyiapin buku, baca sekilas materi bimbel. Gak ada yang asik emang, semuanya serba monoton aja.

Hari Rabu adalah jadwal pelajaran seni budaya, dan guru yang ngajar mapel itu kebetulan juga wali kelas temen gue di kelas IBB namanya Bu Arty. Yang selalu jadi ciri khas dari beliau, doi selalu berkacamata dan pake model baju yang nyentrik, belum lagi pembawaan yang baik, smart, tegas, bahkan cara beliau jalan aja gak kalah elegannya sama model-model di luaran sana. Normalnya sih, guru yang begitu bakalan jadi idaman di mata para murid cowok. Tapi lain sama di sini, buat anak-anak cewek, Bu Arty ini udah dianggap sebagai kiblat fashion terutama bagi kalangan cewek-cewek yang populer ataupun kepingin populer. Itu salah satu fenomena unik di sekolah Anjiman, yang kebetulan pelajaran 'SenBud' jadi materi pertama di kelas untuk hari ini.

Gak ada angin gak ada hujan, gue ditugasin buat ngegambar dan deskripsiin beberapa alat musik di papan tulis. Aneh banget, biasanya Randi yang suka ditugasin. Lha ini, malahan nyuruh gue. "Alferes, ke depan! Gambar tiga alat musik yang ada di LKS halaman dua belas!" menunjuk dengan kapur di tangannya. Gue malah kek mendadak tuli, membatu dan baru sadar kalau temen sebangku gue hari ini gak bisa ikut pelajaran. "Ayo!" kata Bu Arty. Gue maju setelah mengangguk dan melakukan perintah beliau. Pas gue balik ke bangku ternyata kursi kosong di sebelah udah ada yang ngisi, dia pake seragam celana yang sama tapi..., wait! Kenapa dia pake anting perempuan? Gue lirik dia lewat sudut mata, gue bener-bener gak bisa fokus hari ini. Kalau diliat dari tampilannya, dia kek anak emo gitu.... Dandanan serba item, terus ditambah gaya rambut yang nutupin sebelah mata. Dah fix, dia nak emo.... Gue makin curiga karena tangan doi juga terus disimpen di bawah meja, pandangan matanya juga gak keliatan jelas karena ketutup mulu matanya. Seragamnya kotor dan agak lusuh, gue pikir dia habis jatuh. "Baru sadar, gue sebangku sama anak baru," gumam gue setelah heran mengamati situasi. Kebetulan, emang ada murid baru di sini. Namanya Dina, cewek tomboi yang agak urakan tapi bisa menjebol rekor masuk ke klub cewek feminim ternama. Gue pikir dia lesbi, mana mungkin tu cewek mudah di terima mereka yang selalu masuk standar tinggi wanita idaman angkatan ini. "Hah lucu, bisa-bisanya dia jadi pendiam setelah nampak selalu ceria meski emang kadang dia punya sisi yang cool juga sih. Tapi, gue pikir dia cuma lagi malu-malu aja deket gue. Karena, mungkin tu anak emang normal kali ya suka sama orang yang sejenis gue ini. Jadi canggung kenalan apalagi sebangku sama murid rangking satu, auto jadi pusat perhatian semua guru meskipun akibat kemarin keknya gak lagi," gue jadi pasang wajah songong sambil terus jaga imej depan tu cewek. "Gue gak mau kalah cool, dari lo. Belum tahu Alferes Susetyo kalau dah beraksi," menyeringai. "Apaan sih, gue malah mikirin cewek? Sadar Res, kekasih lo itu buku. Lu selama ini kan berniat buat mikirin cewek kalau dah kuliah nanti, parah lu!" menghardik diri gue yang nyaris kalap. Udah dua hari gue selalu gak fokus buat belajar. Jangan bilang ini adalah asal mula kehancuran segalanya.

Gak sampai di situ aja, pulang sekolah gue langsung ikut bimbingan belajar di Kanha operation, tu anak dari tadi ngintilin terus sampe gue dibuat kesel. "Heh! Jangan ngikutin gue mulu, muka aneh! Gue mau belajar, sana pergi!" menunjuk wajahnya lalu, berbalik meninggalkan dia di depan gerbang depan tempat gue bimbel itu. Tapi akhirnya dalam hati gue, timbul rasa bersalah. "Bu, interupsi!" mengangkat tangan minta izin keluar sebentar. "Ada apa, Fer?" guru pembimbing meminta penjelasan. "Dompet saya rasanya jatuh di depan gerbang," bicara tergesa-gesa. "Ya cepat cari, sebelum materi dimulai! Mau ngajak orang lain gak, buat bantu?" Beliau menawarkan bantuan. "Enggak perlu Bu, insyaallah langsung ketemu kok," setengah berlari memastikan dia pulang tanpa muka yang muram. Gue berlari dan mengecek setiap gang, gak ada dia dimana-mana. "Ah, masa sih dia sembunyi?" gue tengokin kanan kiri sepanjang jalan tanpa ada yang kelewat. "Padahal gak nyampe lima menit, tapi gak ada jejak sama sekali? Dasar orang aneh!" kembali ke lokasi semula dan langsung melanjutkan pelajaran. "Gimana Fer, ketemu?" pembimbing menyambut dengan pertanyaan sebelum menyuruhku duduk. "Ketemu Bu, aman," tersenyum. "Nemu dimana? Kok agak lama balik ke sininya, ini udah telat lima belas menit loh...," beliau melihat jam dan langsung memberiku soal hukuman untuk dikerjakan selama pelajaran. "Tapi Bu, saya bakal ketinggalan," gue memelas. "Gak ada tapi, Ibu bakal ajari kamu selepas bimbel selesai. Jadi, terpaksa kamu harus belajar satu jam lebih lama!" nadanya meninggi. "Iya Bu," gue pasrah dan langsung ngehubungi nyokap sama bokap biar mereka gak khawatir. "Iya nanti Papa jemput ya, tenang aja. Fokus aja belajarnya," pesan masuk dari bokap. Untung si Papa bukan orang yang ribet soal perizinan sekolah sama bimbel atau apapun yang menyangkut pelajaran.

Yang biasanya gue pulang jam delapan, jadinya jam sembilan gara-gara insiden gak jelas tadi. "Ah..., kenapa hari ini gue jadi random banget sih! Kesel banget gue!" mengacak-acak rambut sambil ngedumel dalam hati. "Eh, udah jam sembilan nih. "Papa kamu udah jemput Fer?" kata Bu Ati. "Belum dibalas Bu tapi, udah bilang kok," jawab gue. "Oke, jangan lupa lima soal evaluasinya dikerjain ya kayak biasa. Oh iya, maaf juga Ibu harus pulang sekarang karena ada urusan mendesak. Gak papa kan, Ibu tinggal?" tanya beliau. Gue bilang, "Gak papa Bu, bentar lagi Papa juga jemput. Makasih banyak atas bimbingannya hari ini, Bu...,". "Sama-sama Nak, maaf ya...," ia membereskan buku-bukunya lalu memasukkan semua perlengkapannya ke tas. Gue senyum dan lanjut menyusul langkahnya ke depan gerbang. Kebetulan bokap dah nunggu di depan. "Pa, kok chat Feri gak dibales sih?" gue mastiin kalau gue gak salah naik motor. Masalahnya, bokap gue tumben banget pake helm sama jaket item. Pokoknya nampak familiar dengan fashion kebanyakan orang. "Naik aja ini Papa, ini udah kemaleman. Mama nyuruh Papa buat jemput kamu cepet-cepet. Karena kesel, terpaksa deh data internetnya Papa matiin biar gak ada notifikasi omelan dari Mamamu," Papa ngambil tas gue dan nyodorin jas hujan soalnya udah mulai gerimis. "Gak salah lagi, ini pasti bokap gue," langsung aja gue naik tanpa pikir panjang lagi.