Setelah berdzikir sejenak, gue keluar mesjid dan lanjut nyari air minum yang ada di tas. Gue lanjut jalan dengan keadaan setengah sadar karena lemes dan lapar. Setelah gue coba rogoh beberapa kali ke dalem tas, akhirnya gue nemuin beberapa snack sisa tempo hari. Tepatnya itu snack, beli pas waktu makan gorengan di kantin yang jadi buah bibir para murid di sini. Ya, roti coklat yang sebenarnya isinya satu bungkus dua. Kebetulan saat itu, keburu ada guru masuk di jam berikutnya jadi gue masukin sisanya ke tas. Udah agak penyet emang, tapi lumayanlah buat dipake ganjal perut. Kalau ada Si Randi, pasti dia udah ngomel-ngomel kek tadi pagi.
Satu per satu anggota datang kembali ke ruangan ini melanjutkan kegiatan, yang disusul sama Kak Efendi setelah berbincang-bincang dengan para senior ekskul lukis lain. Karena beliau udah masuk, kami pun duduk dengan sigap. Gue juga, maksain diri buat nahan ni mata biar dayanya gak jadi lima watt. "Keknya, gue bakal tepar nih. Dah lah.... Minimal gue kuat menikmati hari ini sampai pulang selamat ke rumah, asal gak ada setan," ungkapan itu spontan diselipi dengan omongan yang sepertinya tidak membawa kenyamanan saat ini. "Oke, adik-adik.... Nih, saya bawa alat lukis yang anti mainstream buat nguji seberapa hebat kreativitas kalian, apa ada yang mau ditanyakan?" beliau melanjutkan pembelajaran. Tidak ada satu murid pun yang menjawabnya, tapi dilihat dari sorotan matanya yang antusias pun sudah terlihat kalau mereka memang sedang fokus-fokusnya. "Baik, mari kita tulis di papan tulis ini beberapa peralatan dan misi yang harus kalian gambarkan. Berhubung, suasana lebih kondusif jadi peraturan penghukuman akan diganti, hukuman tadi hanya akan diberlakukan untuk orang-orang yang tidak selesai menggambar minimal delapan puluh persen sampai waktu Isya nanti. Siap?" beliau berusaha membangunkan semangat setelah memberikan tugas yang belum ditulis detailnya. "Siap, Kak...," entah kenapa sekarang kami mulai tergugah semangatnya yang sempat mati suri tadi karena bakal bertemu kertas ataupun kanvas terserah saja. Sepertinya, kami lebih cocok praktek daripada sekedar mendengarkan terkhusus, bagi anak-anak urakan atau yang bertampang badung dan sulit diam. "Bagus, saya akan tuliskan apa saja yang akan kalian butuhkan untuk kegiatan spesial hari ini. Setiap orang sambil menunggu saya menulis silakan ambil kertas sedotan satu per satu dari kardus yang akan diberikan oleh Kak Bintang ketua ekskul ini, "Silakan Kak Bintang bagikan ke adek-adeknya.... Saya sudah persiapkan soal tulisan dan sedotannya,". Kakak itu maju dan mengangguk menuruti titah seniman muda tersebut dan mengambil kotak bekas 'teh segitiga' yang pastinya berukuran sepertiga kardus pada umumnya. Beberapa sedotan terlihat di sana, dan satu per satu dari kami mengambilnya. "Jangan dulu dibuka, sebelum Kakak selesai nulis ya...," sambil sibuk menggoreskan rincian yang harus kami kerjakan, Kak Efendi tetap bisa berbicara dengan jelas. "Sudah Kak," kata Kak Bintang bicara pada alumnus itu. "Ya, bagus. Terima kasih bantuannya Kak Bintang...," dia tersenyum ke arah kakak manis itu.
Tulisan pun selesai dibuat, yang isinya begini:
1. Gelembung Sabun Berwarna -> keceriaan
2. Korek Kuping -> pepohonan/pohon
3. Garpu -> kebun tulip
4. Pantat Botol -> taman bunga
5. Bubble Warp -> bunga sakura
"Oke, silakan dikeluarkan kertas dalam sedotannya kalian dapat apa? Baca lalu, tunjukkan pada kami dan acungkan tangan sesuai nomor yang kalian punya sebelum langsung mengerjakan. Bagaimana sudah siap? Oh ya, jangan lupa ambil celemek masing-masing yang sudah disediakan oleh panitia untuk dipakai agar seragam kalian tidak ketumpahan cat," beliau menutup spidolnya dan melipat kemejanya. Sesuai arahan beliau kami pun bergiliran melaporkan tema apa yang kami dapatkan sampai tiba giliran gue. "Ya kamu, yang di pojokan dapat tema apa?" beliau nunjuk gue. Gue tunjukin kertasnya dulu lalu, membacanya dengan keras, "Gelembung sabun, ke...ke...keceriaan...," gue mendadak gugup setelah tahu temanya gak mendukung buat saat ini. "Dasar gak beruntung banget dah, hari ini ckckck...," berdecak sambil menggeleng spontan. "Hey kamu, jangan ngeluh. Langsung kerjakan, waktu sudah berjalan!" ia menatapku tajam. "I.., i..., iya Kak.... Saya kerjakan sekarang," dengan ceroboh gue ambil perlengkapan yang disediakan meskipun lagi gak ada ide. Pikiran gue yang lagi semrawut dan cenderung ngeblank disertai ketakutan buat dihukum, sukses bikin gue gemetar gak karuan. Belum lagi, gue terus terusan salfok ngeliat jam yang semakin berdetak cepat, ingin rasanya gue kabur dari keadaan. Gue menggambar seadanya, gak ada ide yang lewat sama sekali. "Ah, buset.... Gak lucu banget nih, masa cuma ngehasilin gambar kek bocah TK yang gak jelas gini, sih?" memandangi hasil karya yang amburadul itu membuat gue semakin menekan diri dan nyaris menyobek kanvas yang tersedia. "Sabar..., sabar.... Masih ada waktu...," mengatur nafas sambil mengelus dada untuk membuat sugesti ketenangan. "Ah, ini mah alamat pulang telat. Seharusnya gue gak maksain ke sini," tak terasa keringat dingin mulai mengalir semakin deras gue berusaha semakin keras sampe gak terasa waktu Isya pun tiba dan ya, sesuai dugaan gue pun dihukum juga. "Kamu, setelah Isya balik lagi ke sini. Jangan dulu pulang, kamu dapat hukuman!" beliau berbicara keras sebelum membubarkan beberapa orang khususnya para anak perempuan buat pulang duluan takut kemaleman. Dan gue sama anak yang gak beruntung mengerjakan tugas sampai selesai akhirnya ditahan keadaan. "Ya udahlah, kita pasrah aja," seseorang menggandeng gue dari belakang. Gue gak nanya dia, gak kaget juga karena gue gak lagi ngelamun tapi udah lesu aja ni badan gara-gara kecapekan.
Gak kerasa pas gue liat jam tangan, udah nunjukkin jam delapan empat puluhan, gue duduk sambil mandangin foto mendiang kakek gue yang pas malem tadi sempet gue ambil dari album keluarga. Lalu Kak Efendi mengabsen tiga orang dari kami, beliau menyebut nama gue dan dua bocah badung bergaya bak preman itu yang bernama Igun dan juga Ozi. "Untuk nama yang tidak saya panggil, silakan pulang cepat! Dan untuk tiga orang yang saya sebutkan, silakan menggambar bebas sesuai yang ada di pikiran kalian saja. Saya kasih waktu tiga puluh lima menit dari sekarang," beliau berbicara sambil memegangi kertas absen anggota ekskul lukis Anjiman angkatan tahun ini. "Makasih, Kak...," kata lima orang siswi yang disusul dengan lima anak laki-laki di belakang mereka. Gue berniat ngegambar foto kakek yang lagi gue pegang, dengan raut wajahnya yang dibuat seakan-akan dia tersenyum dan membawa seruling di dalam sebuah gubuk tengah persawahan. Gue buat dengan seksama, dan sedetail-detailnya karena rencananya mau gue minta bawa pulang untuk kado susulan yang bakal gue kirim ke rumah nenek di sana.
Waktu berjalan dengan sangat cepat, dan gambar gue tinggal finishing aja. Tirai yang ada di ruangan dengan keadaan cuman nutupin sebagian jendela yang pecah mau gak mau ikut andil buat masukin angin muram dari luar. Begitu dingin dan menusuk tajam, para panitia perempuan sudah disuruh pulang sekitar jam delapanan. Kami di sini cuma berempat, Kak Efendi mondar-mandir entah kemana keluar masuk ruangan dari tadi karena keliatannya dia mulai bosan. Di setiap embus udara dari luar masuk begitu memilukan sebab, hawar-hawar terdengar seperti suara sendu yang nyaris tak terdengar jelas sekali karena samar-samar. Kak Efendi pun kembali, sisa tiga menit lagi. Silakan segera dikumpulkan dan buat yang sudah selesai mengerjakan, tolong dibersihkan sampah atau sisa-sisa catnya ya...," hampir saja dia mengeluarkan sebatang rokok dari saku pakaiannya namun tak jadi dihisap karena takut melanggar etika lingkungan sekolah sepertinya. Setelah sejenak menengok gerak-gerik senior itu gue pun mengambil selembar tisu yang emang sengaja udah disiapin dan memasukkan kuas-kuas ke dalam cup berisi air.