Part 1

Aku adalah perempuan yang ingin menjadi lebih baik. Sudah hampir satu tahun kaus dan jeans ketat aku tinggalkan, berganti jadi gamis dan kerudung. Kata Meyra, sahabatku, "Wanita yang terbuka auratnya akan menyeret suami, ayah, dan saudara laki-lakinya ke dalam neraka." Aku tidak mau orang-orang tersayang terjerumus karena keegoisanku.

Namun, ada kalanya godaan setan lebih kuat dari iman manusia, sehingga aku terjerumus ke jurang yang dalam.

Aku belum bersuami. Usiaku 21, kuliah tingkat akhir, dan sebentar lagi gelar sarjana Ekonomi aku sandang. InshaAllah.

Sayup-sayup surah Ar-Rahman menggema dari Mushola tidak jauh dari rumah. Sebentar lagi adzan Subuh akan berkumandang. Aku menyibakkan selimut lalu turun dari tempat tidur, berjalan keluar kamar untuk mengambil wudhu, bersiap mendirikan salat.

Aku melangkah ke kamar mandi, di ruang tengah aku berpapasan dengan Om Arif.

Sekarang aku akan memperkenalkan Om Arif. Dia adalah suami Tanteku, adik bungsu Mamaku yang usianya hanya terpaut tiga tahun denganku. Bisa dikatakan kami seumuran. Sedangkan dengan Om Arif, terpaut usia lima tahun.

Karena belum mampu mengontrak rumah sendiri, mereka pun masih numpang di rumahku, atau lebih tepatnya rumah peninggalan nenek yang sudah dibeli oleh Papaku.

Gerak-gerikku di rumah serasa terusik sejak kedatangan anggota keluarga baru setengah tahun lalu, yang tidak lain adalah Om Arif. Kenapa merasa terusik? Tentu saja, dia bukan mahramku.

Aku harus berhati-hati sekali kepadanya kalau tidak mau sesuatu yang buruk terjadi.

"Mau ke Mushola, Om?" tanyaku basa-basi, melihat wajah dan rambutnya yang basah oleh air wudhu.

"Iya, Sha," jawabnya sambil senyum. Lalu masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian.

Sudah tiga bulan ini, aku merasa terganggu dengan senyumannya itu. Aku tidak suka. Sungguh! Karena senyuman itu mampu menggetarkan hati ini.

Hidup seatap dan setiap hari melihat senyumnya yang manis, membuatku terbiasa, dan lama kelamaan mulai terpikat.

Apakah aku telah jatuh cinta padanya? Jangan Sasha, dia suaminya Tantemu! Sisi lain dariku mencoba memperingatkan, tetapi sepertinya tidak berhasil. Perasaan ini semakin tumbuh setiap harinya.

Cinta sama sekali tidak rumit, jika manusianya yang tak membuat rumit. Misal, dengan tidak meletakkan pada hati yang tidak tepat. Simpel. Tetapi apalah daya manusia dibanding Sang Pemilik Arasy, semua karena atas kehendak-Nya.

Berkali-kali aku beristighfar dalam hati supaya perasaan ini segera lenyap. Dan aku akan terus melakukannya hingga benar-benar lenyap.

***

Om Arif bekerja sebagai pelayan di sebuah mini market. Kaus merah dan celana hitam adalah seragam wajibnya. Hari ini dia kebagian masuk siang. Setelah mengantarkan Tanteku ke tempat kerjanya di sebuah pabrik tekstil, dia kembali ke rumah, lalu mengobrol hangat dengan Papaku sebelum Beliau pergi ke pasar. Kami punya kios sembako di sana. Mamaku yang berjaga duluan dari pukul empat subuh, nanti sekitar jam sembilan, gantian Papaku yang jaga, Mama pulang.

Papa dan Om Arif sangat dekat. Mereka seperti layaknya ayah dan anak. Mungkin karena Papaku mendamba anak laki-laki. Aku dua bersaudara, adik perempuanku mondok di salah satu pesantren populer di Jawa Timur sana. Pulangnya setiap enam bulan sekali jika libur semester.

Pagi itu setelah Papa berangkat ke pasar, entah kenapa Mama terlambat pulang, padahal sudah pukul sepuluh. Alhasil di rumah tinggal ada aku dan Om Arif.

Sekarang hari sabtu, aku libur kuliah. Tadinya aku akan pergi dengan Meyra, tapi tiba-tiba pagi ini dia membatalkan janji karena ada urusan mendadak.

Atmosfir rumah begitu tidak enak. Berduaan di dalam rumah dengan laki-laki yang bukan mahram, ditambah ada rasa terlarang di dalamnya. Berbahaya sekali. "Ya Allah, aku berlindung dari setan-setan yang akan menyesatkan."

"Sha, bisa bicara sebentar?" Tiba-tiba suara itu memenuhi gendang telingaku.

Aku yang tengah menonton TV menoleh padanya yang datang dari arah dapur.

"Iya, Om?"

Om Arif duduk di sebelahku, aku segera pindah tempat duduk karena menurutku terlalu dekat. Laki-laki berjanggut tipis itu tersenyum melihatku pindah tempat duduk.

"Kamu takut ya sama saya?" tanyanya masih dengan bibir mengulum senyum. Ah, dan itu berhasil membuat jantungku berdegup kencang, tidak beraturan, hingga aku tidak kuasa menyelaraskannya.

"Enggak, Om," elakku. Aku merasa pipiku menghangat, jika ada cermin, aku ingin melihatnya, pasti sekarang pipiku sudah mirip tomat ranum.

"Syukurlah, saya pikir kamu takut sama saya." Dia terkekeh tanpa dosa.

"Oh iya, ada apa, Om?"

"Gini, Sha. Saya mau tanya, tapi maaf nih, pertanyaannya sedikit pribadi."

Jantungku yang malang semakin berdegup kencang.

"Kamu sudah punya pacar? Maksud saya, kamu udah ada seseorang yang spesial di hati kamu?"

Deg! Kenapa Om Arif tiba-tiba bertanya seperti itu? Iya, Om, sudah ada seseorang di hatiku, dan itu dirimu!

Aku menggeleng pelan.

"Bagus." Dia melonjak di kursinya.

"Mau saya kenalin sama seseorang, gak, Sha?"

"Hah?"

"Dia teman saya. Sudah mapan, punya usaha fotocopy, dan usaha-usaha lainnya. Dia minta tolong sama saya supaya dikenalin sama cewek baik-baik, dan saya pikir kamu lah yang paling cocok buat dia. Kamu baik, salihah, calon sarjana pula."

Dipuji seperti itu oleh orang yang dicintai, membuatku merasa melayang.

"Enggak, ah, Om. Aku belum mau mikirin hal-hal kayak gitu dulu. Aku mau fokus dulu sama skripsi," elakku. Aku mengalak karena tidak mau menipu hatiku sendiri.

Menurutku hal yang paling melelahkan di dunia ini adalah, berpura-pura. Apalagi membohongi perasaan sendiri.

"Coba dulu aja, Sha, siapa tau cocok."

"Enggak, Om. Maaf." Aku bangkit berdiri dan meninggalkan Om Arif di ruang TV sendirian.

Maksudnya apa dia main comblangin orang sembarangan!

***

Setahun pernikahan, Tante Lisda dan Om Arif belum juga dikaruniai buah hati. Kata Mama, ada masalah di rahim Tanteku. Aku sedih mendengarnya. Dan jika aku perhatikan, Om Arif sangat mendamba buah hati. Namun, apa daya, Tuhan belum memercayai mereka.

Hari demi hari aku merasa hubungan Tante Lisda dan Om Arif semakin renggang, tidak jarang aku mendengar mereka bertengkar di kamarnya yang kebetulan sebelahan dengan kamarku.

Sekarang Tante Lisda lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Kadang dia tidak peduli suaminya makan atau tidak kalau bukan Mamaku yang memberinya makan di rumah.

Aku miris. Kenapa Tanteku jadi berubah seperti itu? Kasihan Om Arif.

***

Sekarang aku sudah lulus kuliah. Minggu depan aku akan merantau ke Jakarta mengadu nasib di sana. Dengan berbekal izasah S1, aku mencoba melamar ke beberapa perusahaan. Ada yang melalui email ada juga yang aku kirim lewat pos.

Awalnya Mamaku tidak setuju, tapi setelah aku beri pengertian, akhirnya dia setuju juga. Tapi sekarang ada satu masalah. Papaku sakit, dia tidak mungkin bisa mengantarkan aku ke Jakarta.

"Biar saya yang nganter Sasha ke Jakarta," kata Om Arif memotong pembicaraanku dengan Mama.

Sontak aku dan Mama menoleh. "Kamu yakin, Rif?" tanya Mama. Om Arif mengangguk.

"Saya bisa izin dulu sehari dua hari," katanya.

Hatiku tersentak. Bagaimana mungkin! Aku tidak bisa pergi berdua dengannya. Terlalu berrisiko. Tapi sungguh aku belum berani pergi sendirian, apalagi ke kota sebesar Jakarta.

"Tante Lisda__"

"Tidak apa-apa dia setuju aja, kok." Om Arif memotong ucapanku, seolah tahu apa yang akan aku ucapkan.

Dengan berat aku pun mengangguk. Aku sadar nanti akan kelelahan karena perjalanan, tetapi yang lebih melelahkan adalah menahan debaran di dada.

***

Tidak ada niat sedikit pun untuk mengembangkan perasaan ini, karena aku tahu ini salah. Salah banget! Mencintai seseorang yang jelas bukan tercipta untuk kita adalah suatu yang sia-sia dan tak berfaedah.

Dan mencintai dalam diam juga sangat melelahkan. Apalagi aku melabuhkannya pada hati yang salah. Suami orang. Suami Tanteku sendiri. Namun, aku sungguh menyukainya tanpa pretensi. Tidak ada yang salah dengan cinta, manusia lah yang salah.

Ya Robb, tunjukkan jalan-Mu untuk cinta yang benar-benar berasal dari karunia-Mu untukku.

"Kamu cape, Sha?" Laki-laki yang dari tadi ada dipikiranku bertanya.

Aku meliriknya sekilas lalu mengangguk pelan. Kami masih duduk dalam bus.

"Nanti, setelah tiba di kosan kamu, saya langsung pulang lagi ya, enggak enak."

"Iya, Om. Makasih, ya."

Om Arif mengangguk sambil tersenyum. Bagaimana bisa laki-laki yang baik akhlaknya, dan juga tampan ini disia-siakan oleh Tanteku? Apakah ada hal lain yang tidak aku ketahui? Entahlah ....

Beberapa jam kemudian, aku dan Om Arif tiba di Jakarta. Kami naik ojek online menuju tempat kosku yang sebelumnya sudah aku booking lewat online.

Perempuan cantik bertubuh gempal menyambut kami, lalu menunjukkan kamar yang akan aku tinggali entah untuk berapa lama. Setelah menjelaskan semua biaya dan peraturan kos-kosan tersebut, dia pun pamit pergi. Sekarang di sana tinggal aku dan Om Arif dengan segala kecanggungan yang ada.

Kosannya lumayan bagus. Ada dua ruangan plus kamar mandi di dalam.

"Sha, nanti habis Duhur, saya pulang ya, kamu enggak apa-apa kan ditinggal? Berani, kan?" tanyanya penuh kekhawatiran.

"Berani, Om, tapi apa Om enggak istirahat dulu sebentar?"

Om Arif merenggangkan badannya, aku lihat dia sangat kelelahan.

"Ya udah, saya istirahat sebentar, ya."

"Iya, Om. Aku mau pesen makanan lewat aplikasi, Om mau makan apa? Biar aku pesankan."

"Apa aja deh, terserah kamu."

"Oke."

Aku memesan makanan, sementara Om Arif rebahan di kasur lantai yang disediakan oleh pemilik. Aku pun ke belakang agar tidak mengganggunya.

Ketika aku sedang asik dengan ponselku, tiba-tiba aku merasa ada yang merayap ke kakiku. Aku kaget bukan kepalang, lalu teriak sekencang-kencangnya. Om Arif berlari menghampiriku dengan panik.

"Kenapa, Sha?"

"Enggak tau kayaknya ada kelabang naik ke kakiku, Om."

"Mana sini lihat, awas kelabang itu bahaya."

Aku ragu antara mau menyibakkan gamisku atau enggak, tapi aku takut kelabang itu masih nempel di celanaku.

"Sini lihat, Sha!" Om Arif menyibakkan gamisku, dan memang benar kelabang itu masih menempel di celanaku.

Aku ketakutan. Kelabang itu gede banget ternyata. Tanpa sadar aku menghambur ke tubuh Om Arif.

Pria itu berusaha mengambil kelabang. Aku tahu dia juga ketakutan, tapi akhirnya berhasil menyingkirkan binatang melata itu dari pahaku, lalu membuangnya keluar.

"Sha, kayaknya kamu harus bersihin dulu tempat ini, takut ada kelabang yang lainnya," tutur Om Arif masih dengan napas tersengal.

"Iya, Om. Ya Allah ngeri banget, deh."

"Mau saya bantuin?"

"Enggak usah, Om. Biar aku sendiri aja nanti."

"Ya udah."

Beberapa menit kemudian pesanan kami datang, kami pun makan dengan lahap karena belum makan apa-apa lagi sejak subuh, katika akan berangkat.

Aku memandang pria di depanku dengan takzim. Senang rasanya melihat dia makan dengan lahap seperti itu. Tiba-tiba pikiran tidak pantas bekerja di otak, aku membayangkan pria yang tengah makan ini suamiku. Jika dia suamiku, akan aku bahagiakan dia, akan aku layani dia setulus hati. Sungguh.

Ya Robb. Apakah aku boleh membayangkan hal itu?

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Saat Om Arif akan pamit pulang, hujan mengguyur dengan lebatnya. Dia kembali tertahan, akan menunggu setengah jam lagi barang kali hujan mereda, tetapi semakin sore hujan semakin deras, ditambah petir bersahutan di langit sana.

Dengan terpaksa aku pun berucap, "Pulangnya besok aja, Om, subuh-subuh."

Tidak ada pilihan lain, Om Arif pun mengangguk setuju.

***

Malam lindap di kosan yang sepi, berdua, ditemani hujan di luar sana, membuat suasana sungguh romantis, setidaknya untukku. Sedangkan Om Arif terlihat canggung.

"Sha, saya tidur di belakang ya, mudah-mudahan tidak ada kelabang lagi."

"Iya, Om, tapi tikarnya gak ada. Om enggak apa-apa tidur di lantai?"

Sebenarnya aku tidak tega, tapi mau gimana lagi, masa kami tidur sekasur? Kan enggak mungkin.

Om Arif terdiam sesaat. Mungkin dia tengah berpikir, tapi kemudian dia mengangguk.

"Pakai ini, Om." Aku memberi satu bantal.

Dia menerimanya sambil tersenyum. Setelah itu dia ke belakang sambil mengambil hape di saku celananya. Mungkin akan menelepon Tante Lisda.

Aku pun mendengar sayup-sayup dia berbicara di telepon. Beberapa menit kemudian dia kembali ke depan.

"Sha, kamu udah tidur?"

"Hah? Belum, Om. Aku biasa tidur jam sepuluh, jadi jam segini belum ngantuk."

"Sha, saya mau bilang sama kamu, kayaknya saya sama tantemu mau cerai aja. Kami beneran udah enggak ada kecocokan."

Deg!

Aku kaget banget. Kabar ini sangat mengejutkan!

"Om serius? Tapi kenapa?"

"Saya serius, Sha. Mungkin kamu juga tau akhir-akhir ini tantemu gimana, saya bingung harus gimana lagi ngadepinnya."

"T__tapi apa enggak dibicarain dulu baik-baik, Om? Saya sedih banget dengernya, secara Om itu udah baik banget sama aku, sama Papa Mama juga."

"Kita masih bisa jadi keluarga walaupun saya bukan Om kamu lagi."

Entah kenapa tiba-tiba mataku menghangat. Oh, jangan sampe air mata ini keluar di depannya. Sungguh aku enggak mau kehilangannya. Gak mau! Tapi Om Arif berhak bahagia. Mungkin dengan bercerai, dia akan lebih bahagia.

Namun, bagaimana denganku ya Robb?

Air mata ini ternyata tidak bisa aku bendung lagi, dia terjun bebas ke pipi tanpa kendali. Aku benar-benar merasa patah hati kali ini.

"Sha, kok nangis?" tanya Om Arif.

Aku menutup muka. Tanpa peduli lagi aku menumpahkan tangisku di depan laki-laki itu.

"Ada apa, Sha? Kamu enggak mau saya cerai?" tanyanya.

Aku menggeleng kuat.

"Lalu?"

Aku masih menggeleng.

Apakah aku utarakan saja perasaan yang sangat menyiksa ini? Tidak! Aku tidak mau!

Tiba-tiba saja tangan ini ditarik. Sejenak aku merasa sekujur tubuh kaku bagai papan. Apa gerangan yang terjadi? Perlahan hawa hangat tubuh Om Arif mulai merambat mencairkan otot-ototku yang membeku. Dengan segenap hati, aku pun mulai meresapi bahwa sekarang aku tengah dipeluk.

Seperti mimpi rasanya. Pelukan itu dirasa sangat ajaib. Suasana hatiku seketika menjadi baik, dan tangisku pun terhenti.

Ya Robb, apakah rasa nyaman ini boleh aku miliki selamanya? Beberapa menit kemudian aku merasa pelukan itu mulai melonggar, kemudian terlepas.

Om Arif tersenyum. "Sudah jangan nangis lagi. Saya enggak tau alasan kamu nangis sekarang, tapi saya akan sangat senang kalau kamu mau jujur sama saya."

Deg! Jantungkku serasa tertonjok lagi. Jujur? Maksudnya apa? Apakah dia sudah curiga aku menyukainya?

"Maaf Om, aku nangis mungkin cuma kebawa suasana aja."

"Sha, kamu itu enggak pinter berbohong. Malam ini, kalau kamu mau jujur, saya pun akan jujur sama kamu."

Aku mendongak menatap wajahnya. Ada apa sebenarnya malam ini?

Aku memberanikan diri menatap ke matanya, berharap dari sana aku mendapat jawaban apapun itu.

"Sha, saya__suka sama kamu."

Suara itu seperti echo yang terus berulang-ulang di telinga. Beberapa detik aku memastikan diri bahwa sekarang bukan di alam mimpi. Kalian jangan tanya gimana deg-degannya aku saat itu.

"Entah sejak kapan perasaan ini muncul, apakah sejak Lisda berubah? Atau sejak saya berniat menjodohkanmu dengan teman saya? Entahlah, saat itu saya merasa sakit hati. Saya kok, cemburu? Tapi, saya berusaha menampik semuanya, Sha. Tapi lama kelamaan saya malah tersiksa."

Ya Allah, aku enggak tau harus bicara apa sekarang. Semuanya sangat mengejutkan.

"Sha, saya harap kamu juga bisa jujur, karena entah kenapa saya merasa bahwa kamu juga mempunyai perasaan yang sama."

Seperti telah tertangkap basah. Aku tidak bisa meloloskan diri, sudah terkepung, dan tidak ada yang bisa aku lakukan selain menyerahkan diri.

Perlahan sekali aku menganggukan kepala. Dan aku lihat Om Arif tersenyum lega. Aku baru lihat senyuman seperti itu di bibirnya.

***

Malam semakin larut, hujan masih menyisakan gerimis. Di ruangan yang sepi, ada dua anak manusia bukan mahram yang saling mencinta, tidak ada yang bersorak selain setan.

Entah di mana otakku saat itu. Aku kasihan melihat Om Arif meringkuk di lantai yang dingin dan kotor, akhirnya aku menyuruhnya pindah ke kasur denganku.

Setan tambah bersorak. Disaat tidak ada jarak lagi di antara kami, setan-setan itu mulai beraksi dengan beringas. Dan__akhirnya dosa zina pun kami lakukan.

Om Arif seperti telah mendambanya, karena mungkin telah sekian lama tidak mendapatkan hak itu dari Tante Lisda.

Setelahnya, kami hanya terdiam penuh penyesalan. Entah bagaimana kedepannya, aku tidak tahu.

***

Cerita ini, kisah nyata seseorang.