WebNovelMORAI17.65%

Sebuah Rencana

"Siapa kau?!" Wanita berkulit putih susu itu terlonjak kaget saat melihat wanita asing menyelinap kedalam rumahnya.

Yang ditanyai malah memberikan senyuman misterius, lalu berjalan mendekat si empunya rumah sambil berkata

"Perkenalkan namaku Louisa" dengan sopan mengulurkan tangan mengajak berkenalan wanita yang memiliki wajah datar itu.

Si cantik yang tadi terlonjak kini malah memperlihatkan wajah malasnya sambil menepis tangan si tamu tak diundang.

"Ck! Jika kau warga baru disini yang mencari tumpangan tempat tinggal, lupakan saja. Jangan pernah berharap aku akan mebiarkanmu tinggal disini. Apapun alasannya kau dibuang ke bumi sialan ini, aku tidak peduli. Pergi dan carilah tempat tinggal sendiri."

Louisa malah tertawa mendengar jawaban penyihir cantik bertubuh mungil dihadapannya ini. Kalian masih ingatkan bagaimana bar-barnya Louisa terhadap Xena, namun lihatlah ada yang lebih bar-bar dari dirinya. Wanita cantik ini memang berkata datar tanpa ekspresi malah terkesan sangat dingin, namun kalimat yang terlontar sangatlah kasar dan tidak sopan.

"Jadi ini caramu menyambut seorang tamu?" Louisa masih terkekeh geli.

"Lebih tepatnya menyambut tamu tak diundang sepetimu." Jawaban itu membuat Louisa semakin terbahak.

"Pergilah, atau ak-"

Zlimb!

Kalimat itu terputus ketika tiba-tiba Louisa berubah menjadi sosok pria tinggi nan tampan berwajah tak kalah dingin dari si tuan rumah.

"YAKK! JUNIUS!! APA-APAAN KAU?!"

Detik selanjutnya tawa keduanya pecah "HAHAHAHAHA"

"Kau benar-benar sialan!" tangan mungil si wanita mencoba memukuli tubuh tinggi-kekar pria tampan itu.

"Hey-hey tenanglah, Jadira." Keduanya berhenti tertawa saat Junius berhasil mengenggam tangan Jadira untuk berhenti memukulinya.

"Dengarkan aku, Louisa berhasil!" raut puas itu terpancar dari senyum lebar milik Junius.

"Ck! Persetan dengan wanita sialan itu. Kenapa kau harus menyamar menjadi wanita sepertinya, huh? Dandanannya saja seperti tante-tante kesepian." Jadira mengerucutkan bibirnya sebal, Junius yang mendengar itu kembali memecahkan tawanya.

"Tapi Louisa itu keren, ia sangat membantu kita"

"..."

"Baiklah aku tidak akan pernah menyamar menjadi Louisa lagi." Junius berusaha meredakan tawanya.

Ya, Louisa adalah sosok Junius yang menyamar. Wanita bernama Louisa itu tidak pernah ada di dunia, itu hanyalah sosok fiksi karangan Junius.

"Jadi bagaimana?" Jadira bertanya sedikit antusias.

"Hmm begitulah, aku berhasil membuatnya malu ditempat umum."

"Lalu? Hanya itu?" Jadira tampak tidak puas dengan jawaban Junius.

"Seharusnya aku berhasil mebuatnya dipecat, namun jika-"

"Maksudmu kau gagal membuatnya dipecat?" wanita bermata cantik itu tak suka dengan jawaban si pria.

"Seharusnya tidak, namun..." Junius menjeda kalimatnya, menatap ragu pada Jadira.

"Namun apa?"

Raut keraguan tergambar jelas di wajah Junius, namun ia tetap melanjutkan kalimatnya "Seperti yang kita tahu jika selama ini teman-teman dan atasannya sangat puas dengan kinerja Xena. Kau pasti mengerti apa maksudku, mereka akan membantu wanita itu, tak mungkin mereka membiarkan salah satu arsitek kebanggan mereka dipecat hanya kar-"

Zlimb!

Jadira menghilang begitu saja sebelum Junius menyelesaikan kalimatnya. Ya, Junius tau, Jadira marah padanya.

Zlimb!

"Jadira, dengarkan aku dulu" Junius menyusul Jadira ke kamarnya

"Mendengarkan kegagalanmu, begitu?"

"Siapa bilang aku gagal? Dengar, Xena dipecat ataupun tidak, tetap saja membuat kita mendapat keuntungan. Jika ia dipecat maka kita tidak perlu repot-repot menyingkirkannya lagi, namun jika ia tetap dipertahankan maka inilah saatnya bermain-main." Senyum licik menguar dari wajah tegas milik Junius.

Jadira nampak sedang mencerna omongan Junius, di detik berikutnya senyum miring itu terbentuk dari bibir cantiknya. "Sesuai dengan namamu, kau memang geniuos."

"I see."

*

Tuk! Tuk! Tuk!

Perpaduan bunyi sepatu dan ubin itu menggema, membuat penasaran siapa saja yang mendengarnya. Seluruh mata tertuju pada dua orang yang baru saja datang dan berjalan dengan angkuh. Ada seorang karyawan yang dengan sopan menunjukkan arah kemana mereka harus melangkah.

Mereka bertiga berhenti tepat didepan sebuah pintu berlabelkan 'Meeting Room', si karyawan sopan itu mengetuk dan membuka pintu tersebut lalu izin undur diri. Setelah pintu terbuka, nampak empat orang yang tengah menunggu tamu special tersebut berdiri sopan untuk menyambut, kedua tamu melangkahkan kaki masuk dengan elegant.

"Selamat pagi, semua. Saya ucapkan selamat datang untuk Tuan Junius dan Nona Jadira. Kami merasa sangat terhormat bisa bekerja sama dengan orang hebat seperti kalian. Sebagai gantinya kami mengutus team terbaik dari Be-High Architect Office yang akan melakukan kolaborasi ide dengan kalian."

Tuan Rudy selaku direktur utama membuka rapat pagi itu. Semua orang nampak serius dan mungkin... sedikit tegang.

Entah mengapa Ezra merasakan atmosphere yang tak biasa pada rapat hari ini, tak seperti rapat dengan klien mereka lainnya. Entahlah, mungkin teman-temannya merasa sedikit khawatir karena harus bekerja sama dengan orang perfectionist seperti Junius.

Setelah selesai membicarakan hal yang ingin ia sampaikan, Tuan Rudy pamit undur diri dan membiarkan mereka berlima untuk bertukar ide secara santai.

Semua berjalan baik, ide hebat dari lima kepala itu berakhir dengan indah ketika dituangkan dalam bentuk sketsa pada kertas putih. Suasananya juga terasa lebih santai dari sebelumnya, namun ketegangan kembali terasa ketika dua diantara mereka mendebatkan bentuk bangunan yang sedang mereka rancang.

"Aku tidak setuju dengan idemu yang ini, nona Jadira." Semua mata memandang pada Harnell, setelah itu Xena dan Ezra juga saling pandang.

Mencoba tersenyum elegant, Jadira merespon perkataan Harnell "Apa alasanmu, tuan Harnell?"

"Akan sangat lucu dan tidak cocok jika kau menyatukan konsep classic dan minimalist didalam satu ruangan."

"Menurutku dari perpaduan itulah kita bisa mendapatkan kesan unik."

"Kalau kau menginginkan keunikan pada bangunan itu, kau bisa memilih design lain."

"Tapi aku tak mau yang lain, aku hanya menginginkan perpaduan classic dan minimalist."

"Percayalah yang akan kau dapat adalah kesan aneh."

"Tidak. Belum tentu orang lain yang melihat akan menganggap itu aneh, itu adalah seni."

"Kurasa kau wanita pintar yang tak membutuhkan penjelasan berkali-kali. Aku selalu memberikan alasan padamu mengapa kedua konsep itu tak dapat disatukan, tapi kau memang tak pernah berubah, selalu memaksakan kehendakmu sendiri. Memaksakan hal yang tak bisa disatukan."

"Kenapa kita tak mencobanya lebih dulu? Dari situ kita bisa tau bagaimana hasilnya."

"Ck." Harnell tersenyum jengah,

"Jika kau tetap menginginkan seperti itu, carilah arsitek lain dan lakukan dengan mereka. Aku tak mau berurusan dengan klien pemaksa sepertimu, nona Jadira Morai." Seletah mengucapkan itu, seorang Harnell La Fen berdiri dan berencana untuk mengangkat kaki dari ruangan itu.

Apa-apaan ini, mengapa menjadi seperti ini. Bahkan mereka baru memulai rapat ini 30 menit yang lalu. Ezra dan Xena menatap kaget pada Harnell, kemudian mereka saling pandang penuh tanya karena Harnell tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.

"Kau memang tak pernah berubah, tuan Harnell La Fen yang terhormat. Lebih memilih mundur tanpa mau mencobanya lebih dulu." Perkataan Jadira membuat langkah kaki pria itu terhenti, memutar badan dan menanggapi ucapan si klien.

"Aku tak mau membuang waktuku untuk hal yang sia-sia."

Jadira bangun dari duduknya, menyusul Harnell yang berdiri diambang pintu. Menatap pria itu dengan raut wajah yang sulit diartikan lalu berkata "Kau tidak pernah tau jika apa yang kau anggap sia-sia itu bisa menghasilkan sesuatu yang berharga."

"Hal berharga seperti apa yang kau maksud, Jadira?"

"Sama berharganya seperti nyawamu"

Harnell tertawa renyah "Hahaha, bahkan kau masih saja sering membicarakan omong kosong, berhentilah mengatakan hal-hal seperti itu."

Raut wajah Jadira berubah menjadi semakin serius, matanya sedikit berkaca-kaca mewakili keadaan luka di hatinya yang sedikit tersentil "Aku tidak sedang berbicara omong kosong. Kau saja yang tak mengerti yang sebenarnya"

"Karena kau tidak memberitahuku."

"Kau yang tidak mau tau."

"Aku tak perlu tau karena itu hanya berharga bagimu, tidak bagiku." Ucapan Harnell barusan kembali menohok Jadira, wanita cantik itu menatap tak percaya pada pria didepannya.

Jadira hendak melanjutkan debatnya dengan Harnell, namun sepertinya Junius tak mengizinkan itu. "Ada apa dengan kalian, kita bisa membicarakannya secara baik-baik, kan?"

"Benar, Nell. Mari kita lanjutkan kembali rapat ini. Kita bisa mencari solusinya dulu, kan." Ezra juga mencoba mencairkan suasana aneh ini.

Ezra memang bingung dan tak mengerti situasi macam apa ini, namun Xena jauh lebih bingung. Sungguh sedari tadi ia tak mengerti apa yang dibicarakan oleh Harnell dan Jadira. Mengapa mereka terkesan mendebatkan sesuatu diluar topik dari yang seharusnya mereka bicarakan.

Ada apa ini sebenarnya? Xena benar-benar tak paham. Xena merasa ada yang tidak beres disini, tapi wanita berkulit putih pucat itu mencoba bersikap professional.

Xena bangkit dari duduknya hendak menyusul Harnell dan mencoba membujuk pria itu.

"Benar kata Ezra, kita bisa mencari solusinya. Ayok kita lanjutkan kembali, Nell." Xena meraih tangannya, namun lelaki itu segera menepisnya "Aku tidak bisa."

"Kau tidak mau, bukan tidak bisa." Jadira langsung menyambar perkataan Harnell.

"Jadira.." Junius mengingatkan.

"Ya, aku tidak mau. Kalau begitu jangan paksa aku." Harnell benar-benar jengah, ia benar-benar ingin hilang dari ruangan itu.

Tangannya memutar gagang pintu, namun sial pintu itu terkunci. Siapa yang mengunci pintu yang tak memiliki kunci itu.

Nell menatap Jadira kesal "Berhentilah bermain-main dan cepat buka pintunya." Benar, Jadiralah yang mengunci pintu itu menggunakan sihirinya. Tunggu, bagaimana Harnell bisa mengetahui jika itu ulah Jadira?

"Berhentilah bermain-main dan mari lanjutkan rapat ini." ucap Jadira dan wanita itu memilih kembali duduk di kursinya.

"Tuan Rudy mengatakan bahwa kalian adalah team terbaik di kantor ini, bisa kalian tunjukkan profesionalitas kalian?" kembali memberi sedikit jeda sebelum melanjutkan ucapannya

"Jangan membuat perusahaan kalian malu hanya karena sikap kekanakan arsitek berbakat kebanggannya."

"Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini." Ezra mewakili permintaan maaf itu.

"Tak perlu meminta maaf pada klien sepertinya, Zra." HArnell kembali pada kursinya, begitu juga dengan Xena.

"Memang bukan Ezra yan seharusnya meminta maaf. Tapi kau, tuan Harnell." Jadira menyindir.

"Oh ayolah kita selesaikan rapat ini dengan benar, berhenti mendebatkan hal yan tak perlu diperdebatkan, Jadira." Junius membuka suara.

Xena berdeham sebelum mengambil alih pembicaraan "Ekhem.. baiklah mari kita segera lanjutkan rapat ini. Bagaimana jika kita membahas design untuk kafetaria terlebih dahulu?"

"Ya, aku setuju." Junius menyahuti.